Berita  

Menemui Komunitas Queer yang Terpaksa Menikah dengan Lawan Jenis

menemui-komunitas-queer-yang-terpaksa-menikah-dengan-lawan-jenis

Bersandar santai di sofa berwarna ungu plum, Sarah dan Bilal mulai membuka album yang telah berdebu. Pasangan suami istri ini tertawa geli saat mereka tiba di halaman yang terselip foto Bilal berpose menunggang kuda ke pesta pernikahannya. Dalam balutan busana pengantin serba putih, wajah lelaki itu tertutup tudung bunga.

“Dia bak pangeran tampan malam itu,” kenang Sarah saat berbicara pada VICE World News.


Di depan keluarga besar, keduanya sekilas tampak seperti pasangan sempurna. Sarah dan Bilal terlihat mesra. Mereka juga hidup mapan sebagai dokter di kawasan elit Pakistan.

Hanya saja, tidak banyak orang tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Pernikahan mereka tidak dilandaskan rasa cinta, melainkan suatu keharusan membahagiakan orang tua. Sarah sesungguhnya menyukai perempuan, sedangkan Bilal lebih tertarik pada laki-laki. Akan tetapi, walaupun hubungan mereka sebatas “perkawinan lavender”, keduanya berkomitmen menjadi suami istri hingga akhir hayat.

Nama-nama dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas para pasangan demi keselamatan mereka.

Di Pakistan, homoseksualitas masih dikriminalisasi di bawah hukum peninggalan kolonial yang diskriminatif. Komunitas LGBTQ sangat rentan mengalami persekusi karena orientasi seksual mereka.

Meski hukuman bagi pasangan homoseksual jarang ditegakkan, tak sedikit orang queer di Pakistan yang lebih memilih merahasiakan jati diri mereka sebenarnya. Semua ini dilakukan agar mereka terbebas dari penghinaan, kekerasan dan perjodohan. Mereka juga takut tak lagi diakui sebagai keluarga.

Perkawinan lavender menjadi opsi terakhir bagi sebagian orang queer. Selain untuk melindungi identitas, mereka menikah dengan lawan jenis guna memenuhi tuntutan agar segera berumah tangga.

“Orang tua sangat penting bagi kami berdua, tapi kami pasti tidak akan diakui sebagai anak jika mereka tahu kebenarannya. Pernikahan ini ada untuk membahagiakan keluarga besar kami,” Sarah menuturkan.

Pernikahan semacam ini telah terjadi di negara-negara tetangga, seperti India dan Tiongkok, serta di kalangan diaspora Asia Selatan, selama lebih dari satu dekade. Namun, menurut pakar hubungan, praktiknya mulai mengalami peningkatan di kalangan elit dan kelas menengah ke atas Pakistan. Sayangnya, belum ada angka pasti terkait praktik itu, mengingat masih kurangnya penelitian tentang komunitas gay, lesbian dan biseksual di negara tersebut.

Menurut psikolog klinis dan terapis hubungan Zunaira Arshad, perkawinan lavender lebih umum ditemukan di antara kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi di daerah perkotaan. Individu di sejumlah lingkaran elit bisa melela (coming out) ke teman terdekatnya, dan mengakses subkultur queer di acara tertutup atau media sosial. Jaringan inilah yang kemudian memperkenalkan mereka dengan orang-orang yang tertarik menikah demi status.

“Begitu kamu menginjak usia akhir 20-an, segala sesuatu yang terjadi di masyarakat pada akhirnya bermuara ke pernikahan,” Arshad menerangkan kepada VICE World News. “Orang tua ingin anaknya cepat menikah supaya bisa punya cucu, supaya mereka cepat berkeluarga.”

Orang tua Sarah dan Bilal sudah sering bertanya kapan mereka punya momongan. Sarah masih mau mempertimbangkan untuk memiliki keturunan, tapi lain ceritanya dengan sang suami.

“Rasanya tidak adil punya anak dalam hubungan ini,” ujar Bilal.

Tekanan dari keluarga besar untuk memiliki anak juga memengaruhi kehidupan percintaan mereka di luar pernikahan. Pacar Bilal, yang sudah jalan tujuh tahun, mengancam akan putus jika Bilal punya anak dengan Sarah. “Jika risikonya harus kehilangan dia, saya tidak tertarik punya anak.”

Sementara itu, sulit sekali bagi Sarah untuk menemukan pasangan yang menerima dia apa adanya. “Kamu tidak bisa secara terang-terangan mengakui dirimu menjalani kehidupan ganda di aplikasi kencan. Saya coba pakai nama samaran, tapi orang langsung ilfil begitu saya mengungkapkan status nikah,” katanya.

Nida sudah 14 tahun menikah dengan Jamil, dan putra mereka sekarang berusia 11 tahun.

Jamil hampir saja dijodohkan dengan kerabat jauh ketika usianya menginjak 23 tahun. “Saya tidak bisa membuatnya hidup sengsara karena diriku,” ucapnya kepada VICE World News. Putus asa, dia akhirnya meminta bantuan teman dekatnya untuk mencarikan perempuan queer yang bersedia menikah dengannya. Dia berkenalan dengan Nida beberapa bulan kemudian.

“Saya merasa sangat lega saat mendengar cerita Jamil karena ibu juga mulai mencurigai diriku. Kalau bukan karena Jamil, saya mungkin sudah dijodohkan dengan orang lain,” tutur Nida.

Namun, menyimpan rahasia besar seperti ini lambat laun menyiksa psikis semua pihak yang terlibat. Jamil didiagnosis menderita depresi dan gangguan kecemasan karena tertekan tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dia juga merasa bersalah kepada anaknya.

“Saya memiliki rasa bersalah yang sangat besar [kepada putra kami], dan dihantui pikiran ia akan membenci kami begitu mengetahui kebenarannya setelah dia beranjak dewasa,” ujar Jamil.

Psikolog Arshad menjelaskan, individu yang terikat perkawinan lavender lebih berisiko mengalami masalah kejiwaan karena adanya konflik batin yang muncul dari menyembunyikan identitas. Dia menambahkan, mereka lebih rentan terhadap depresi, gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat dan keinginan bunuh diri.

“Ikatan sosial bisa terbentuk karena kita berbagi kehidupan dengan orang lain. Jika kamu tidak membagikan bagian penting dari dirimu, maka itu akan berdampak buruk pada kesehatan mentalmu,” terangnya.

Masalahnya, komunitas queer di Pakistan tak punya pilihan selain perkawinan lavender. Bagi mereka, risiko kesehatan mental belum seberapa dibanding konsekuensi yang mungkin mereka terima apabila melela kepada keluarga.

“Menjalani kehidupan ini sangat melelahkan. Terkadang rasanya ingin menyerah saja,” Bilal berujar. “Tapi terlepas dari kekurangannya, pernikahan kami menjadi sumber kekuatan besar bagi kami berdua.”

Follow Rimal Farrukh di Twitter.