Cuaca terik dan berdebu bakal menyambut siapapun yang berniat menyusuri deretan toko kain di kawasan Cigondewah. Wujud toko itu beragam, ada yang berupa ruko bertingkat, hingga kios sepetak yang kusam akibat rutin terkena debu jalanan. Kondisi jalan cukup sempit, terkadang kita harus berjalan kaki di tengah aspal yang ramai lalu lalang kendaraan roda dua maupun roda empat akibat ketiadaan trotoar. Seharusnya, kondisi macam ini sulit menerbitkan keinginan belanja. Nyatanya, pasar ini senantiasa ramai, bahkan di masa pandemi.
Pasar kain Cigondewah, berada di sebelah barat daya kota Bandung, merupakan salah satu pasar kain terbesar Jawa Barat, selain Pasar Baru dan Pasar Tegal Gubug di Cirebon. Reputasi Cigondewah mulai dikenal publik sejak awal dekade 1990’an, berkat persediaan kain yang tidak lazim. Di pasar ini, mayoritas konsumen sengaja berburu kain yang kerap dicap sebagai limbah pabrik.
Kain limbah, biasa dijuluki BS, adalah sisa buangan pabrik teksil dan garmen yang seharusnya dihancurkan karena ada cacat produksi, atau tak lolos standar ekspor. Namun, sebagian pegawai pabrik dan pedagang ritel secara kreatif menjual kembali kain macam itu. Kain BS diminati karena harganya sangat terjangkau, dapat dibeli dalam partai kecil secara meteran maupun kiloan, serta bisa juga dibeli dalam wujud roll (gulungan).
Kain BS sebetulnya punya reputasi miring. Melesatnya perkembangan industri fashion secara global berbanding lurus dengan semakin tercemarnya lingkungan. Pada 2015, setidaknya lebih dari 100 miliar potong pakaian diproduksi di seluruh dunia dalam satu tahun, merujuk penelitian Ellen McArthur Foundation. Sebanyak 12 persen total pakaian yang terproduksi tidak terjual, dan akhirnya menjadi limbah yang mencemari wilayah daratan dan laut.
Menurut penelitian terbaru, baru 1 persen dari total pakaian yang diproduksi di seluruh dunia dalam setahun berhasil didaur ulang. Sisanya, berupa limbah BS, terlanjur terbuang ke laut. Bahkan, ada tumpukan limbah kain yang ditemukan di pesisir Pulau Saparua, Maluku, yang relatif jauh dari pusat pabrik tekstil.
Maka, harus diakui, para pelaku pasar di Cigondewah secara tidak langsung mengurangi luapan limbah industri yang mengancam ekosistem Tanah Air.
Pada mulanya Cigondewah merupakan desa kecil dengan luas tak lebih dari 400 hektare. Seiring pemekaran Kota Bandung tahun 1982, wilayah ini dipecah menjadi dua, terpisah di bawah kendali administratif Kota Bandung (Cigondewah Kaler) dan Kabupaten Bandung (Cigondewah Hilir). Sebelum pasar kain mendefinisikan identitas Cigondewah kiwari, mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah bertani padi atau bercocok tanaman sayur mayur seperti kangkung, mentimun, tomat, hingga cabai merah.
Perkenalan awal masyarakat Cigondewah dengan bisnis kain dimulai dari munculnya beberapa pedagang karung goni lokal, yang dibutuhkan petani. Produksi karung goni itu berasal dari daur ulang limbah plastik pabrik. Para perintis bisnis daur ulang itu nantinya mengenal limbah lain, yakni sisa kain dari pabrik tekstil dan garmen.
Salah satunya adalah Haji Asep. Bersama mendiang Haji Bandi dan Haji Usin, Asep dikenal sebagai pionir perdagangan kain BS di Cigondewah. Saat masih menggeluti bisnis daur ulang plastik, dia melihat margin keuntungan penjualan ulang kain limbah tekstil jauh lebih menggiurkan. Terutama karena kain macam itu sebenarnya masih sangat layak digunakan konsumen dan permintaan pasarnya cenderung konstan.
“Dagang kain BS lebih untung daripada berdagang barang-barang bekas ataupun pengelolaan limbah pabrik lain yang didaur ulang,” ujarnya, saat ditemui VICE di kediamannya, daerah Cigondewah Kaler. “Tiap musim menjelang hari raya Idul Fitri atau saat tahun ajaran baru sekolah, penjualan [kain BS] bisa melonjak tiga atau empat kali lipat.”
Asep, bersama kompetitornya pada dekade 90’an, akhirnya terjun sepenuhnya menjadi “bandar kain”. Kesuksesan Asep mendorong masyarakat lainnya turut meramaikan bisnis kain di Cigondewah. Masa jaya Cigondewah pun dimulai. Permintaan kain BS konsisten tumbuh sepanjang kurun 2000-2015. Asep ingat, salah satu toko yang dia kelola pernah meraup omzet hingga Rp25 juta setiap harinya.
Omzet paling besar, menurut Asep, dihasilkan dari kain-kain sisa bahan-bahan jacket, jas hujan, hoodie (biasanya terdiri dari taslan balloon, polyester, gore tex, fleece) serta bahan kemeja dan celana seperti (misalnya drill, kanvas, katun organic, katun twill, atau polyamide).
“Tiap satu bulan saya dapat suplai kain sisa pabrik tekstil atau garmen mencapai 80 hingga 100 roll kain, dengan beragam jenis bahan.”
Ekosistem perdagangan kain limbah pabrik ini sudah terjalin dengan erat. Banyak sekali pabrik garmen di Jawa Barat, menurut pengakuan Asep, rutin mengirim kain BS ke para pedagang Cigondewah. Pabrik kesohor macam Indorama, Kahatex, Bajatek, Panasia, Shinta Indah Jaya, hingga Pulau Intan memutar kembali sisa kain produksi mereka ke pasar kain tenar di Bandung tersebut.
Tak semua pedagang menggeluti penjualan kain BS begitu saja ke konsumen. Saiful, pemain lain di Cigondewah, termasuk yang berusaha mengolah lagi kain BS maupun bahan sisa tekstil menjadi bahan jaket dan jas hujan. Secara tidak langsung, Saiful menjadi bagian dari mata rantai penting bisnis fashion Jawa Barat. Beragam merek pakaian outdoor lokal, maupun distro di Bandung yang memproduksi jaket, saat ini telah menjadi pelanggan setia di toko miliknya.
Saiful tak hanya mendapat kain sisa dari pabrik lokal. Beberapa bahan impor berasal dari Jepang dan Korea Selatan, berupa sisa produksi jaket outdoor dari merek ternama seperti Columbia, Patagonia, atau The North Face. Mayoritas limbah kain yang dia dapat berupa grade A, artinya tidak terdapat cacat potong saat produksi. “Dalam satu bulan bisa dapat bahan-bahan impor antara 30 roll hingga 40 roll kain,” urai Saiful.
Salah satu pembeli rutin kain-kain Cigondewah adalah Uus Sofyanda, pengusaha konveksi yang menjadi mitra beberapa merek outdoor lokal Jawa Barat. Pengusaha 38 tahun itu sudah rutin berbelanja kain di Cigondewah sejak 2008, bahkan sebelum dia memulai bisnis konveksi.
Menurutnya, Cigondewah adalah pasar terbaik untuk mendapat bahan jaket dan jas hujan dengan harga miring, bahkan dalam skala nasional. Ada banyak pilihan kain bahan gore tex maupun taslan balloon tersedia di Cigondewah, yang tidak harus berasal dari limbah impor.
”Kualitas bahan-bahan material kain sisa produk lokal ini tidak kalah dengan produk bahan impor,” ujar Uus. Satu-satunya keunggulan kaim limbah impor, buat Uus, adalah untuk jenis gore tex. Kain macam ini, jika awalnya diproduksi di luar negeri, memiliki bahan lapisan dalam tidak tembus air yang lebih rapat.
Asep, Saiful, atau Uus tidak menyadari mereka berada dalam jalinan industri yang unik. Mereka juga tak memiliki misi melindungi lingkungan, sekalipun praktik bisnis di Cigondewah merupakan penerapan prinsip reuse terhadap pakaian sisa yang dicap sebagai limbah berbahaya.
Namun Saiful, yang kini berusia 38 tahun, hanya percaya satu hal: dia ingin meniupkan nyawa baru pada bahan kain buangan menjadi bahan jaket. Yang dia lakukan pada akhurnya memberi nilai tambah pada bisnis kain BS, sekaligus menghidupkan geliat bisnis fashion ritel lokal.
“Bahan jaket selalu ada pembeli setiap harinya,” kata Saiful, dengan nada optimis.
Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan berseri “Jejak Limbah Fashion Mewah”
Iqbal Kusumadirezza adalah fotografer sekaligus jurnalis lepas yang bermukim di Bandung