Suasana pantai di Gampong (Desa) Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh menjadi hiruk pikuk, pada Minggu (6/3) dini hari waktu setempat. Ratusan orang dalam kondisi basah kuyup bergerombol di tepian pantai. Tak jauh dari bibir pantai, satu kapal motor kayu dengan bobot 30GT mengapung. Bentuk kapal itu tak seragam dengan milik nelayan setempat.
Keberadaan orang-orang yang merapat ke pantai itu dipergoki warga Gampong Alue Buya Pasie, yang malam itu sedang mencari kepiting. Temuan itu buru-buru diteruskan ke aparatur desa.
“Jumpanya sekitar jam 3 [dini hari]. Jadi [warga] melapor kepada kami sekitar jam 4 [dini hari]. Dia mengintip-ngintip siapa dan mencari tahu,” kata Geuchik (Kepala Desa) Gampong Alue Buya Pasie, Muslim Abdul Majid, saat dihubungi VICE.
Tak lama kemudian, datanglah personel TNI, polisi, serta perangkat desa ke area pantai. Setelah diperiksa, mereka semua imigran etnis Rohingya asal Myanmar yang terdampar di pesisir Bireuen. Total jumlahnya 114 orang, terdiri 58 laki-laki, 21 perempuan, dan 35 anak-anak.
Para imigran itu atas inisiatif warga dibawa ke menasah Gampong Alue Buya Pasie. Paginya, mereka didata, serta kondisi kesehatannya dicek tim medis. Mereka sekaligus melakoni tes usap antigen hingga vaksin, guna mencegah penyebaran Covid-19.
Hasil pendataan kepolisian, 74 imigran di rombongan ini telah memiliki kartu pengungsi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Selain itu, 30 orang juga sudah memiliki kartu vaksin. Temuan tersebut menjadi bukti bahwa sebagian dari mereka pernah mendapatkan bantuan dari lembaga internasional berupa kebutuhan dasar bagi para pencari suaka.
Sembari menunuggu waktu pemindahan, para pengungsi untuk waktu darurat ini ditempatkan di kompleks menasah (balai desa) Alue Buya Pasie. Laki-kaki di tempatkan dalam bangunan menasah, sedangkan pengungsi perempuan di balai pengajian, dan beberapa di rumah tak jauh dari menasah.
Para pengungsi itu mengaku telah berlayar selama lebih kurang 25 hari. Pemerintah lantas berencana mengirim mereka ke Kota Lhokseumawe. Di sana terdapat kompleks shelter rujukan untuk menampung imigran Rohingya yang sudah lima tahun terakhir kerap terdampar ke perairan Aceh.
Keputusan itu diambil usai Bupati Bireuen, Muzakkar A Gani dan Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, berkoordinasi. Namun ada satu syarat, semua harus telah menjalani tes rapid antigen dan divaksin.
“Kalau sudah selesai, berita acaranya beserta para imigran Rohingya akan digeser ke BLK Lhokseumawe,” kata Kapolres Lhokseumawe, AKBP Eko Hartanto.
Masalahnya, rencana evakuasi yang sekilas bakal mulus itu tak kunjung berlangsung hingga dua pekan lamanya. Warga desa sendiri beranggapan ratusan pengungsi Rohingya itu seharusnya dipindah tiga hari sejak mereka ditampung pertama kali.
Bibit konflik mulai muncul. Menasah dan balai pengajian merupakan pusat aktivitas warga, termasuk untuk ibadah. Warga pun mulai merasa kasihan pada para pengungsi, mengingat fasilitas kamar mandi dan WC di balai mereka sebetulnya tidak layak jika digunakan untuk beramai-ramai dalam satu waktu.
“Mereka tidur di atas keramik langsung. Kan tidak mungkin [seterusnya begitu],” ujar Muslim. Kondisi itu sudah dia sampaikan dalam rapat bersama perwakilan lembaga terkait yang menangani pengungsi Rohingya.
Ketidakpastian memicu masalah lain. Para pengungsi Rohingya itu mengalami kejenuhan. Tiga orang mencoba kabur, pada Minggu (20/3) malam. Mereka ditemukan dan dibawa kembali ke penampungan, pada Senin (21/3) pagi.
Sejak upaya kabur itu beredar di penampungan sementara, suasana mulai kurang terkendali. Mayoritas pengungsi mengemas barang-barang, berusaha keluar dari tempat penampungan dan meninggalkan desa. Upaya ini ditahan oleh pihak UNHCR dan International Organization of Migration (IOM).
Beredarlah kabar, bahwa para pengungsi diusir warga Alue Buya Pasie. Ada kabar bila warga mendengar pemerintah daerah mengeluarkan dua surat perintah terkait pemindahan pengungsi, yang menjadi dasar agar para pengungsi segera hengkang.
Kabar yang beredar makin miring. Ada kasak-kusuk pengungsi tidak cakap menjaga kebersihan serta melanggar aturan desa, kurangnya perhatian pihak UNHCR maupun IOM terhadap kondisi warga setempat, hingga dugaan adanya pemukulan terhadap salah seorang dari tiga imigran yang kabur sebelumnya oleh warga Alue Buya Pasie.
Ikhwal pengusiran itu dibantah Muslim. Ia mengaku, pihaknya mengetahui terkait surat perintah pemindahan, namun tidak berniat mengusir para pengungsi dari tempat penampungan. “Itu bukan diusir. Mereka sudah bosan di sini. Sudah 16 hari di sini. Jadi mereka cuma makan, tidur, kan bosan mereka,” ucapnya.
Pernyataan Muslim didukung oleh Camat Jangka, Alfian. Dia mengatakan, pihak desa sebelumnya menyampaikan perihal pemindahan itu ke UNHCR dan IOM, agar para pengungsi dibawa ke tempat yang lebih layak lagi.
“Itu bukan pengusiran, dipindahkan ke luar batas daerah mereka, biar pihak lain yang untuk mengatur mereka itu,” kata Alfian, saat dihubungi VICE.
Meski membantah adanya pengusiran, narasumber VICE mengakui adanya pemukulan. Hal itu terjadi kemungkinan karena warga geram mereka nekat kabur, padahal keselamatan pengungsi sudah menjadi tanggung jawab penduduk desa. Relasi antara pengungsi dan warga diakui Muslim sudah tidak terbangun positif seperti saat mereka pertama mendarat. “Saya sudah meminta masuk ke tempat pengungsian, mereka tidak mau lagi.”
Hingga artikel ini dilansir, 114 pengungsi Rohingya itu tak kunjung dipindahkan. Padahal pemerintah kabupaten sudah berencana mengirim para pengungsi ke Pekanbaru, Riau, alternatif shelter penampungan lain.
“Ternyata mungkin di Pekanbaru belum ada kesiapan, dan kabarnya pihak sana sedang melakukan rapat dan hasilnya baru diberitahukan ke sini,” ucap Alfian.
Dihubungi terpisah, UNHCR mengaku terus menjalankan komunikasi dengan otoritas di Aceh. Termasuk mencari berbagai lokasi untuk mengatasi kondisi di lapangan. Juru bicara UNHCR untuk Indonesia, Mitra Suryono menyampaikan, beberapa lokasi sebelumnya telah diajukan untuk pemindahan, namun pihaknya masih menantikan keputusan akhir otoritas Negeri Serambi Makkah.
UNHCR sendiri tidak dapat langsung langsung memindahkan pengungsi kecuali ada persetujuan dari pemerintah.
“Akomodasi bagi pengungsi adalah sesuatu yang ditentukan oleh pihak otoritas, sementara UNHCR dan mitra kerja kami siap untuk melakukan proses pemindahan apabila sudah ada keputusan akhir,” kata Mitra Suryono saat dikonfirmasi VICE.
Saat ini prioritas UNHCR adalah kesehatan dan kondisi pengungsi. Pihaknya berharap mereka dapat direlokasi ke tempat yang layak untuk jangka waktu lebih panjang serta berkelanjutan sesegera mungkin. UNHCR mengakui, meski dilandasi niat baik, menasah bukan lokasi yang tepat untuk tempat tinggal sementara pengungsi dalam jumlah ratusan.
“Dalam beberapa hari ke depan kita perlu mendapatkan solusi karena konsidinya sudah semakin mendesak,” ujar Suryono.
Orang Rohingya, sebagaimana pengungsi lain yang tiba di Tanah Air, tidak memiliki izin bekerja. Pemerintah Indonesia pun tidak berkewajiban memberi mereka status kewarganegaraan. Ini lantaran pemerintah tidak meratifikasi Konvensi PBB Tentang Pengungsi. Indonesia hanya dapat menampung mereka sampai berhasil menemukan negara lain, lewat perantara UNHCR, yang bersedia memberi suaka atau kewarganegaraan pada para pengungsi.
Problemnya, Aceh kini menjadi salah satu wilayah yang serang didatangi pengungsi Rohingya. Sejak 2011 sampai 2022, diperkirakan ada lebih dari 1.800 pengungsi asal Myanmar yang mendarat di pesisir Provinsi Aceh. Gesekan dengan warga di Bireuen menjadi yang pertama kalinya sepanjang munculnya gelombang pengungsian Rohingya ke Negeri Serambi Makkah.
Birokrasi dan ping-pong antar pejabat membuat situasi menjadi serba salah di lapangan, serta berisiko memunculkan potensi konflik lebih besar. Ambil contoh rencana mengirim 114 pengungsi ke Riau dengan bus, yang diinisiasi pemkab Bireuen.
Wacana itu urung dilakukan karena UNHCR dan IOM tidak memberi lampu hijau. Kedua lembaga menyampaikan masih perlu menunggu hasil keputusan Pemerintah Kota Pekanbaru. “Ternyata tidak jadi, dengan alasan di Pekanbaru belum siap,” ujar Alfian.
Meski gelombang arus pengungsi Rohingya belum menunjukkan tren berakhir di Aceh, pemerintah masih saja kesulitan menyiapkan mekanisme penampungan sementara. Alhasil, para pengungsi itu terus terkatung-katung tanpa kepastian.
Muhammad Saifullah adalah jurnalis lepas yang tinggal di Banda Aceh, menuliskan laporan ini untuk VICE Indonesia