Klub Sepak Bola Liga 3 Persikota Tangerang kini punya punya pemilik saham baru: Prilly Latuconsina. Tanpa mengungkap nominalnya, aktris berusia 25 tahun ini memutuskan untuk merogoh kocek demi membeli klub bola kota kelahirannya tersebut. Targetnya, tahun depan ia bisa melihat klub tersebut bertanding di Liga 2 dan promosi ke Liga 1 di kemudian hari.
Kehadiran Prilly di persepakbolaan Indonesia menambah deretan selebritas yang memutuskan berbisnis lewat kepemilikan klub.
Tahun lalu, Raffi Ahmad mengakuisisi klub Cilegon United dan mengubah namanya menjadi Rans Cilegon FC. YouTuber Atta Halilintar juga mengakuisisi PSG Pati yang kemudian berganti nama menjadi AHHA PS Pati FC. Sementara, putra Presiden Joko Widodo yakni Kaesang Pangarep juga menjadi salah satu pemilik saham Persis Solo.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa sebetulnya alasan selebritas memutuskan untuk berjibaku dalam bisnis sepak bola?
Potensi bisnis bola
Bisnis persepakbolaan Indonesia masih memiliki peluang kuat untuk dikembangkan.
Menurut peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Mohamad D. Revindo, kerugian akibat mandeknya Liga Indonesia akibat pandemi ditaksir antara Rp 2,7 triliun hingga Rp 3 triliun dalam satu tahun. Logikanya, nilai tahunan industri sepak bola Indonesia berkisar di angka tersebut.
Namun, menurut Revindo, angka ini masih memiliki potensi untuk meningkat hingga tiga atau empat kali lipat jika liga sepak bola di Indonesia dikelola lebih menarik. Revindo membandingkan bagaimana slot iklan pada tayangan sepak bola di Indonesia dihargai Rp 42 juta. Sementara, pada liga Inggris, satu slot iklan ditakar mencapai Rp 130 juta.
Potensi peningkatan valuasi ini mungkin dilakukan mengingat antusiasme yang tinggi dari pecinta sepak bola tanah air. Penelitian yang dilakukan Nielsen Sport pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penikmat tontonan sepak bola tertinggi kedua di dunia setelah Nigeria. Sekitar 77% populasi Indonesia menunjukan kecintaannya pada olahraga permainan ini, terutama ketika Tim Nasional Indonesia turun lapangan.
Sepak bola di Indonesia, menurut Revindo, sudah menjadi industri yang menghidupi hingga 24.000 orang.
“Dari sepak bola ini, berkembang industri-industri sampingan misalnya merchandise (pernak-pernik klub) dan jersey (seragam klub),” ujar Revindo dalam siaran podcast SuarAkademia yang dilakukannya bersama The Conversation Indonesia.
“Kondisi pandemi ini membuat harga klub menjadi murah. Inilah waktu yang tepat bagi seleb untuk membeli klub bola,” imbuhnya.
Kepedulian terhadap bola membangun citra positif untuk seleb
Menurut pengamat ekonomi dari UI, Fithra Faisal Hastiadi, akar kecintaan sepak bola di Indonesia salah satunya berasal dari fanatisme.
Namun, menurut Fithra, suporter ini umumnya lebih menekankan pada asal kesukuannya saja dan tidak dapat membentuk basis massa di luar daerahnya.
Terkait, dengan antusiasme dan fanatisme yang tinggi di persepakbolaan Indonesia, Revindo melihat adanya dua tren yang mendorong selebritas masuk ke dalam bisnis si kulit bundar.
Pertama, popularitas nasional yang sudah kuat akan dipadukan dengan basis suporter yang bersifat kewilayahan bisa saja nantinya digunakan untuk kepentingan politik, seperti pemilihan kepala daerah, baik oleh sang artis ataupun kandidat yang didukung.
Selebritas Indonesia memang cukup banyak yang banting setir ke dunia pemerintahan, seperti aktor Deddy Mizwar dan penyanyi Pasha Ungu.
“Kedua, citra kepedulian terhadap sepak bola sebagai olah raga rakyat dan aktivitas positif generasi muda juga memberikan dimensi citra yang berbeda bagi selebritas, bahwa mereka punya perhatian untuk banyak hal di luar urusan entertainment [hiburan],” ujar Revindo.
Menurut Revindo, dengan puluhan juta pengikut di Instagram, misalnya, Raffi Ahmad telah memulai langkah tersebut dan mengumpulkan potensi basis massa untuk Rans Cilegon FC dari berbagai daerah.
“Biaya awal yang dikeluarkan untuk membeli itu tidak ada apa-apanya. Raffi Ahmad membeli Rans Cilegon itu dia sudah mengundang sponsor, yang datang dalam hitungan bulan ke depan, balik modal itu. Siapa yang tidak mau sponsor klub yang pemiliknya punya follower 51 juta?” ujar Revindo.
Artikel ini ditulis oleh Anggi Lubis, editor Bisnis dan Ekonomi di The Conversation Indonesia, dengan mewawancarai Fithra Faisal Hastiadi dan Mohamad D. Revindo, dari LPEM FEB Universitas Indonesia
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.