Berita  

Menelisik Alasan Fashion ‘Reject’ yang Ilegal Jadi Bisnis Besar di Indonesia

menelisik-alasan-fashion-‘reject’-yang-ilegal-jadi-bisnis-besar-di-indonesia

Mendung mulai menggantung jelang maghrib, namun kesibukkan salah satu toko kawasan tengah Kota Bandung itu seakan menandai hari baru mulai. Ukuran tokonya 3 x 3 meter, serupa kamar kos yang hanya memuat satu tempat tidur. Tapi itu jelas bukan kamar kos, karena wujudnya lebih menyerupai gudang pakaian dan sepatu.

Sebagian pakaian digantung rak, kebanyakan jaket tebal dan hoodie dengan berbagai merek, model, warna, dan bahan. Sementara baju-baju dengan bahan yang lebih tipis ditumpuk di sisi rak, sepanjang dinding ruangan mungil tersebut.  


Ada juga celana joger, hot pants, sport bra, legging, yang dijejalkan dalam plastik-plastik transparan dan digeletakan di lantai. Semuanya adalah produk garmen dari merek-merek fashion ternama dunia, di antaranya Columbia, Champion, Tommy Hilfiger, GAP, The North Face, Old Navy, Pull&Bear, dan banyak lagi lainnya. Di bawah rak, terdapat tumpukan tas dengan berbagai model, seperti travel bag atau daypack. Semuanya juga keluaran merek-merek terkenal.

Pameran merek itu belum termasuk pemandangan dinding ruangan yang dilapisi kayu diubah menjadi rak sepatu, memajang berbagai model, ukuran, dan merek yang bisa bikin sneakerhead manapun tergiur. Kalian mudah menemukan koleksi Adidas, Under Armour, Nike, Asics, Karrimor, hingga New Balance. Semuanya adalah sepatu “asli”, bukan tiruan. Kenapa diberi tanda kurung? Karena mayoritas barang dalam toko tersebut adalah puncak gunung es perputaran ekonomi unik dari limbah industri garmen dan tekstil di negara ini.

Pemilik toko sekaligus gudang mungil tersebut biasa dijuluki Capung. Dia meminta nama aslinya tidak ditulis untuk keamanan dan privasi. Matanya tak berhenti memandangi layar ponselnya. Hujan turun amat lebat setelah maghrib, tapi Capung tak peduli. Isi layar ponselnya lebih penting ketimbang cuaca Kota Bandung yang tidak menentu selama pertengahan Februari 2022 ketika kami berkunjung.

pakaian_sisa_ekspor_11.jpg
Seperti ini pemandangan kios mungil milik capung yang menjual sepatu hingga hoodie reject. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Kedua jempol Capung bergerak cepat di layar ponselnya, membalas beberapa pesan yang masuk. Berkali-kali juga dia mengarahkan asisten tokonya, Ogie, mengemas barang yang akan dikirim ke pembeli.

“Setiap hari pasti kirim barang,” katanya kepada VICE. Sore itu, dia dan Ogie sedang bersiap mengirim beberapa pasang sepatu dan pakaian untuk pelanggan dari luar kota, bahkan di luar pulau. Mereka juga beberapa kali mendapat kiriman paket dari supplier.

Sudah hampir enam tahun Capung membuka toko sekaligus gudang fashion serba ada yang mungil itu di Bandung. Jarang sekali ada pelanggan yang datang, sebab mayoritas transaksi terjadi via online.

Capung memulai usahanya pada 2011, semasa dia memulai hobi mengoleksi sneakers bermerek. Buat Capung memiliki sepatu produksi terbatas dari Adidas atau Nike Air Jordan adalah kebanggaan tersendiri. Namun, cintanya pada beberapa sneakers tertentu kerap terpentok modal. 

Sneakers merek ternama lazimnya dipatok dengan harga di atas Rp1 juta. Harga akan semakin mahal ketika seri atau modelnya sudah langka, seperti misalnya Adidas Beckenbauer, SL 72, atau Dragon. 

“Yang jadi masalah kan barang bermerek itu harganya selangit, ya. Kalau beli di outlet [resmi] udah jelas budgetnya mepet,” kata Capung. 

Akhirnya, mengandalkan sense of fashion-nya, Capung berburu barang-barang incarannya ke Pasar Taman Puring, surga bagi pecinta fashion dengan budget minimal.

Pasar Taman Puring terletak di kawasan Mayestik, Jakarta Selatan, kerap diserbu penggemar merek-merek fashion kenamaan karena harga jualnya miring. Hampir seluruh merek ternama dapat ditemukan di sana, mulai dari barang tiruan, atau yang orisinal namun dijual oleh pemilik lamanya, serta barang asli, tapi hadir lewat jalur produk ‘reject’. 

“Makanya untuk belanja butuh sense of fashion, supaya tidak tertipu membeli barang palsu. Material, jahitan, sampai bau lem yang digunakan merek original biasanya beda,” urainya.

Tanpa dia sangka, kebiasaan berburu sneakers-sneakers itulah yang membuka jalan lelaki kelahiran 39 tahun itu merintis karir jadi pengusaha. Satu hari, mendadak Capung membutuhkan uang. Sayang, isi rekeningnya tidak mencukupi hingga dia teringat memiliki belasan sneakers bermerek. Ide untuk menjual salah satu koleksinya pun muncul. “Waktu itu pasang penawaran di [Forum] KasKus lengkap sama fotonya, ternyata banyak yang repsons dan akhirnya laku,” kata Capung.

Dari situ, Capung mulai tertarik untuk bisnis online, khusus sneakers. Harga yang ditawarkan pun beragam tergantung dari model dan juga merek, dengan margin keuntungan seringkali hanya Rp100 ribu per pasang.

Melihat pasarnya mulai terbentuk, Capung kian giat berjualan. Dari yang semula hanya menjual sepatu, Capung mulai menjual pakaian bermerek. Tiga tahun, Capung mengawali bisnis jual beli barang-barang bermerek di Jakarta sembari tetap menjadi karyawan sebuah perusahaan. Sampai akhirnya dia memilih keluar dari zona nyaman, resign dari pekerjaannya, dan hijrah ke Bandung melebarkan bisnis. 

“Bandung adalah pasar terbesar ketika awal saya jualan di KasKus,” ungkapnya.

Capung mulanya tidak pernah mengetahui muasal barang-barang yang dia jual. Hijrah ke Bandung membuatnya lebih memahami bagaimana rantai ekonomi produk fashion “asli” ini berjalan.



Indonesia merupakan salah satu pusat industri manufaktur fashion terbesar di Asia Tenggara, setelah Thailand dan Vietnam. Kementerian Perindustrian mencatat, terdapat 323 perusahaan garmen serta tekstil yang terdaftar di negara ini.

Dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang diimbangi dengan mutu kerja, membuat berbagai perusahaan mode dunia memercayakan produksi pakaian, tas dan sepatunya ke pabrik garmen di Indonesia.

Sesuai ketentuan, barang-barang yang diproduksi harus melewati proses Quality Control (QC). Hasil produksi yang lolos QC akan dikirim kembali kepada buyer, sementara hasil produksi yang tidak lolos atau “reject”, yang berarti wajib dimusnahkan. 

Alih-alih dimusnahkan barang-barang reject tersebut kembali dipasarkan, dan Capung adalah salah satu pembelinya. Meski dia mengaku sebagai ‘tangan kedua’ alias reseller, dan tidak tahu dari pabrik mana barang-barang jualannya berasal, tapi dia paham bila praktik jual beli yang dilakukannya berpotensi melanggar hukum. Barang yang dia jual tidak diniatkan beredar di Indonesia, serta seharusnya sudah dimusnahkan.

pakaian_sisa_ekspor_15.jpg
Sejumlah hoodie reject diproduksi di Jabar yang seharusnya dihancurkan, justru dipajang salah satu toko pakaian online di Bandung. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Namun usaha tersebut terus dia lakoni, mengingat besarnya permintaan untuk barang-barang bermerek dengan harga miring di Indonesia. “Apalagi karakter orang Indonesia kan serba ‘sayang’. Sayang bajunya masih bisa dipakai, sayang sepatunya masih bagus. Daripada dibakar, mending dijual lagi,” imbuh Capung, sembari tertawa.

Memahami risiko itu, Capung memilih untuk membeli barang dalam jumlah sedikit dari beberapa suplier. Dia juga memutuskan untuk tidak membuka cabang untuk tokonya.

Dengan omzet Rp3 juta–Rp5 juta per bulan, Capung mengaku cukup puas dengan usahanya sekarang. Warga Bandung Timur itu juga lebih memilih mengembangkan usahanya di bidang lain. “Kemarin baru membuka laundry sepatu. Saya pikir, sebagai penjual sepatu kenapa tidak sekalian membuka jasa untuk perawatan sepatunya sekalian,” katanya.

Capung hanya satu dari beberapa pedagang kecil yang menjalani jual beli pakaian, tas, dan sepatu yang seharusnya tidak untuk dijual kembali. Namun skala bisnisnya bahkan tak seberapa jika dibandingkan beberapa toko fashion di Bandung (biasa disebut factory outlet) yang menjual barang-barang bermerek, yang asal usul produksinya sulit dilacak. Paling tidak, bisa dipastikan bila mayoritas produk yang memuat merek ternama sebetulnya barang reject untuk pasar ekspor. Label kondisi reject QC seringkali masih tertempel di jaket atau sneakers tersebut.

VICE mendapati sebuah merek celana jeans yang dijual di factory outlet ternama Bandung dibanderol Rp150 ribu. Padahal, jika mengacu ke informasi situs resmi, harga celana jeans jenis tersebut seharusnya Rp400 ribu, hingga Rp2 juta. Modus serupa bisa ditemukan dari penjualan beberapa kemeja dari jaringan ritel fashion kenamaan dunia, yang biasanya cuma kita temukan di mal menengah atas Jakarta. Di sebuah Factory Outlet, kemeja dari merek niche ada yang dijual dengan kisaran harga Rp150 ribu sampai Rp200 ribu. Jauh lebih rendah dari harga yang dicantumkan di situs-situs resmi rumah mode dunia tersebut.

Salah satu factory outlet di Bandung yang menjual produk macam itu adalah Rumah Mode. Namun saat dikonfirmasi VICE, juru bicara FO tersebut enggan dimintai keterangan tentang muasal baju-baju bermerek yang mereka jual, dengan alasan termasuk “rahasia perusahaan”.

Bisnis Gelap yang Terlanjur Mengakar 

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah pabrik tekstil dan garmen terbanyak di Tanah Air. Ada lebih dari 180 pabrik dari sektor tersebut yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, tersebar di berbagai kota dan kabupaten.

Beberapa pabrik tersebut dipercaya oleh beberapa rumah mode dunia untuk memproduksi beragam produk fashion. Berdasarkan keterangan dari Iwang, pegawai gudang salah satu pabrik garmen di Jawa Barat, proses produksi satu model baju biasanya dilakukan per musim atau empat bulan sekali, menyesuaikan dengan kondisi iklim negara subtropis seperti Amerika dan Eropa.   

“Jumlah produksi baju tidak tetap, tentu saja mengikuti permintaan dari perusahaan pemegang merek,” kata lelaki berusia 46 tahun tersebut, yang meminta namanya tidak ditulis lengkap untuk artikel ini.

Terkadang, buyer mengirimkan desain berikut materialnya seperti benang, kancing, retsleting, dan kainnya. Sementara pabrik hanya menerima pekerjaan dengan skema CMT atau maklun. Artinya, pabrik hanya melakukan jasa pembuatan produk garmen mulai dari proses memotong kain, menjahit, hingga mengepak produk. 

Tidak jarang, buyer hanya mengirimkan desain dan memercayakan bahan kepada pabrik dengan spesifikasi tertentu. Material inilah yang juga menjadi salah satu penentu harga jual produk, termasuk harga jual produk reject.

“Harga jaket dan celana reject lebih mahal daripada hoodie, kaos, kemeja atau barang reject lainnya,” terang Iwang.

pakaian_jadi_1.jpg
Sejumlah jaket bulu angsa untuk ekspor yang dipajang di etalase pabrik garmen di Bandung, Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Iwang membenarkan adanya praktik jual beli barang reject di tempatnya bekerja. Bahkan praktik ilegal tersebut sudah dilakukan sejak 2005. Ketika itu, produk reject yang dijual hanya jenis jaket, mengingat pabrik tempatnya bekerja kerap memproduksi jaket outdoor merek ternama. Seiring dengan bertambahnya model pakaian yang diproduksi, maka varian produk reject pun bertambah. Mulai dari kemeja, kaos, berbagai model celana, hoodie, sweater, dan lainnya.

Namun product reject jumlahnya tidak pernah tetap. Ada kalanya bisa mencapai 500 pcs, hingga 2.000 pcs per model. Tak jarang juga jumlahnya cuma 100 pcs hingga 200 pcs per model.

Biasanya barang tidak lolos QC atau disebut reject, karena ada bagian jahitan yang tidak rapi, kancing yang hampir lepas, dan lainnya. Namun selebihnya, produk tersebut masih layak dikenakan.

Reject juga termasuk sample atau barang contoh yang dikembalikan buyer ke pabrik. Biasanya, sebelum proses produksi dimulai, pabrik akan mengirim contoh barang sesuai desain dari buyer. Jumlah sample bisa mencapai 1.000 hingga 2.000 pcs per model. 

“Produk sample dikirim ke perusahaan yang order, kalau lolos QC di sana barang tidak akan dikembalikan. Tapi jika tidak lolos, sample dikembalikan ke pabrik dan masuk ketegori reject,” ungkap Iwang.

Sebagai pegawai yang sudah bekerja lebih dari belasan tahun di pabrik garmen, Iwang paham bahwa sebenarnya barang-barang reject seharusnya dimusnahkan, dibakar atau dikubur karena statusnya limbah. Intinya barang-barang reject “haram” diperjualbelikan. 

Praktiknya, baju yang dilempar oleh bagian produksi ke gudang itu dikumpulkan ke supplier, dengan alasan mengganti kerugian pabrik dari barang-barang yang harusnya dimusnahkan. Keuntungan hasil jualan barang reject sebagian besar masuk kantong-kantong pribadi pegawai produksi dan gudang.

VICE mencoba mengkonfirmasi adanya praktik macam ini ke sebuah pabrik di selatan Kota Bandung. Pabrik tersebut menjadi mitra produksi untuk beberapa merek tersohor di dunia, seperti Calvin Klein dan DKNY. Juru bicara pabrik mengklaim tidak pernah terjadi praktik ilegal jual beli barang reject di tempatnya. 

pakaian_jadi_3.jpg
Tag Card salah satu pakaian untuk pasar ekspor di etalase pabrik garmen di Bandung, Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Menurut salah satu staf pabrik, pihaknya berupaya menekan jumlah barang reject seminim mungkin. Quality Control dilakukan amat ketat, mulai dari bahan yang digunakan, proses cutting, jahitan, sampai menjadi baju.

“Namun dalam prosesnya banyak faktor. Karena ada proses washing, embroidery, dan lainnya yang juga bisa memunculkan bagian defect dan reject,” ujarnya, mengakui bila pabriknya tetap menyimpan sebagian produk tak lolos ekspor.

Iwang menilai sah-sah saja bila pabrik membantah adanya bisnis bawah tangan produk fashion reject. Tapi, dia menjamin pelakunya di area Bandung ada banyak, dan mereka leluasa beraksi selama nyaris dua dekade tanpa risiko berurusan dengan aparat hukum.

Dari hasil bisnis barang gelap ini, Iwang pernah mengantongi keuntungan Rp80 juta hingga Rp100 juta per transaksi. Tergantung jumlah barang reject yang dilempar ke gudang oleh bagian produksi.

Harga jual dari barang reject juga beragam, tergantung model. Barang reject dengan harga jual tertinggi adalah jaket, mencapai Rp20 juta hingga Rp25 juta per karung, isinya bisa mencapai 100 setel. Sementara satu karung celana dijual seharga Rp15 juta hingga Rp20 juta, dan satu karung kemeja biasanya dijual Rp8 juta hingga Rp12 juta. 

“Sistem beli barang-barang reject ini biasanya take all per karung. Barang hanya diecer ke orang-orang dekat saja,” kata Iwang.

Selain barang-barang reject, sisa bahan produksi pakaian pun biasanya dijual karena kondisinya dianggap masih bagus hingga terlalu sayang untuk dibuang. “Pembeli barang-barang reject paling banyak dari Jakarta dan Bandung, beberapa dari Surabaya. Kalau kain sisa biasanya dijual ke bandar-bandar besar kain di Cigondewah, Bogor, dan Tangerang,” bebernya.

Dari pemain hulu seperti Iwang lah, kerajaan bisnis pengecer seperti Capung terbangun. Barang reject, suka tidak suka, merupakan salah satu penggerak roda bisnis fashion di Indonesia.


Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan berseri “Jejak Limbah Fashion Mewah

Mega Dwi Anggraeni dan Iqbal Kusumadirezza adalah jurnalis lepas yang bermukim di Bandung