Saya sudah membayangkan akan berjumpa dengan monyet saat mengunjungi sebuah kuil di Thailand akhir November lalu. Namun, yang tak pernah terlintas di benakku adalah seberapa banyak monyet yang akan saya temui. Juga tak pernah terpikirkan oleh saya betapa rakusnya primata yang ada di sana.
Saya betul-betul terperangah menyaksikan pemandangan di depan mata begitu melangkah masuk ke kuil. Pasukan kera ekor panjang dengan ganas rebutan makanan yang tersaji di atas meja panjang, sedangkan monyet lain terlihat asyik mengunyah buah-buahan yang ada di tangan kecilnya. Tak satu pun orang berusaha mengusir monyet dari atas meja karena semua hidangan itu disajikan khusus untuk hewan berbulu cokelat keabu-abuan.
Hari itu, saya menyambangi kota Lopburi di kawasan tengah Thailand dengan maksud menghadiri Festival Prasmanan Monyet yang digelar setiap akhir November. Perayaan yang sudah berlangsung sejak 1989 ditujukan sebagai persembahan untuk ribuan monyet yang notabene menguasai kota itu.
Setiap tahunnya, pesta makan itu sukses menarik wisatawan dari dalam maupun luar negeri ke Lopburi yang penasaran melihat tamu undangan yang tidak biasa. Tapi bagi Yongyuth Kitwatanusont, festival ini caranya memperkenalkan kampung halaman ke dunia. “Saya ingin turis asing melihat pesona yang dimiliki Lopburi,” ungkap sang penyelenggara saat diwawancarai VICE.
Itulah sebabnya, panitia selalu totalitas mempersiapkan jamuan untuk primata yang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat lokal. “Tahun ini, kami menghidangkan sekitar 2.000 kilogram buah-buahan dan sayur-mayur. Totalnya ada ratusan meja,” lanjutnya.
Menurut Yongyuth, jumlah monyet yang meramaikan festival naik lebih dari 10 kali lipat selama 33 tahun terakhir. “Cuma ada 300 ekor monyet saat kami mengadakan festival untuk pertama kalinya. Tapi sekarang ada kira-kira 4.000 ekor.”
Dia mengatakan, sejauh ini tak pernah terjadi kecelakaan serius yang disebabkan oleh kawanan monyet. Para pengunjung manusia paling cuma lecet-lecet karena tidak sengaja tercakar. Selama acara berlangsung, tim medis disebar di sekitar kuil untuk memberikan pertolongan pertama kalau ada pengunjung yang terluka.
Lokasi acaranya sendiri, yang bertempat di kuil tua Phra Prang Sam Yod, ibarat kandang monyet. Primata telah berkeliaran di daerah itu ratusan tahun lamanya.
Phra Prang Sam Yod dibangun pada abad ke-13 di kawasan hutan yang menjadi rumah berbagai macam makhluk hidup, terutama monyet. Dan sejak saat itu, monyet hidup berdampingan dengan manusia, bahkan setelah desa tempat kuil berada tumbuh menjadi kota yang kini bernama Lopburi.
Penduduk setempat masih percaya primata yang berkeliaran di Lopburi keturunan langsung Hanoman, titisan dewa berwujud kera putih yang berasal dari wiracarita Ramakien, versi lokal Ramayana India.
Menurut epos itu, Hanoman diangkat menjadi raja setelah membantu dewa Phra Ram (Dewa Rama) mengalahkan musuhnya, raja iblis Thotsakan (Rahwana). Hanoman lalu membawa pasukan kera ke desa Lavo, sekarang Lopburi, untuk menjaga keamanan daerah itu. Karena kepercayaan inilah monyet sangat dihormati di sana.
Festival Prasmanan Monyet awalnya diadakan secara kecil-kecilan untuk merayakan kesuksesan perusahaan Yongyuth. Tapi siapa sangka, acaranya menjadi sorotan media. “Saya tak pernah terpikir akan masuk berita di seluruh dunia, dan acaranya terus berlanjut sampai sekarang,” tuturnya.
Jamuan pesta tahun ini disajikan sebanyak empat kali. Dibantu sukarelawan, panitia sibuk memberikan sentuhan akhir pada belasan meja bundar yang telah dipersiapkan untuk menghidangkan makanan. Piring isi sayur dan buah-buahan berderet rapi dari ujung ke ujung. Butuh setidaknya tiga orang untuk menggotong satu meja dan meletakkannya di tengah jalan. Kawanan monyet menyerbu dalam hitungan detik, padahal meja belum selesai ditata. Tak sedikit pula yang serakah mengambil makanan yang terjatuh ke tanah dan kolong meja.
Saat saya terpukau menonton tiga ekor kera rebutan buah, saya merasa seekor monyet lompat ke bahu dan menggigiti tas ransel untuk mencuri makanan. Setelah bosan dan tidak menemukan apa yang diinginkan, monyet itu mencari target lain.
Saya sempat berteriak memperingatkan turis di dekatku untuk berhati-hati, tapi tidak ada gunanya. Sisa makanan dan sampah seketika terbang ke segala arah begitu kawanan monyet lapar menguasai meja tepat di depan kuil.
Tampaknya ada dua jenis pengunjung yang datang hari itu. Di salah satu sisi, terdapat orang-orang seperti Idan Sharon yang tidak takut diserbu kawanan monyet. Wisatawan asal Israel itu bahkan dengan senang hati menjadikan kepalanya sebagai tempat makan monyet. Sementara itu, kekasihnya, Katerina Petrov, mengajak monyet bermain sambil memberi makan.
“Saya sengaja meletakkan makanan di badan biar dinaiki monyet,” ujar Sharon yang kepalanya sedang dihinggapi monyet. Cakaran dan gigitan monyet tak mampu menghentikannya bersenang-senang. Saya khawatir mendengarnya, bagaimana kalau dia terinfeksi parah? Bagaimana jika dia tertular penyakit? Saya baru bisa tenang setelah mendengar penjelasannya.
“Kami memang sudah niat memberi makan langsung ke monyet, jadi kami divaksin sebelum berangkat,” terang Sharon. Dia kemudian mengirim detail vaksin yang keduanya lakukan sebelum terbang ke Thailand: dua vaksin rabies, dua kali suntik tetanus, suntik hepatitis dan lainnya.
Di sisi lain, ada pengunjung seperti Wanchana Daothewan yang menikmati pemandangan langka dari kejauhan. “Awalnya saya cuma melihat beberapa ekor monyet di jalanan. Saya baru merasa ketakutan setelah masuk area kuil dan melihat kawanan monyet,” ungkap wisatawan lokal itu.
“Saya pernah dengar saat masih kecil, ada banyak monyet di Lopburi. Saya tidak pernah membayangkan akan ada sebanyak ini,” ucapnya sambil tertawa.
Selanjutnya ada orang-orang macam Chanasin Sangrai, yang langganan datang ke festival ini bersama anak-anaknya.
“Anak-anak saya suka melihat monyet, dan minta datang ke sini setiap tahun,” kata lelaki yang berasal dari provinsi Chachoengsao, timur Bangkok. Saat ditanya bagaimana caranya memastikan anak-anaknya aman dari monyet, Chanasin membocorkan saran yang ia terima dari seorang pengunjung. “Saya sebenarnya agak takut, tapi saya selalu bawa karet gelang buat jaga-jaga. Katanya kita bisa menjepret monyet yang berusaha naik ke badan,” lanjutnya.
“Tapi aslinya monyet tidak seseram itu, kok.”
Saya berhasil melewati hari yang menegangkan dengan selamat. Tak sekali pun saya kena cakar atau digigit monyet. Saya sadar Festival Prasmanan Monyet lebih cocok untuk orang-orang bernyali besar, tapi saya tidak menyesal sama sekali telah datang ke acara tersebut. Walau menegangkan, ini pengalaman paling berkesan dalam hidup saya.
Bagi orang Thailand seperti saya, festival ini bagaikan kelanjutan dari kisah Hanoman yang berjaya di masa lalu. Monyet mendapat perlakuan spesial bak dewa.
Yang paling penting, kapan lagi kita bisa menyaksikan kawanan monyet berpesta pora?
Follow Teirra Kamolvattanavith di Twitter.