Berita  

Mendalami Kasus Panah Maut, Membuatku Belajar Akar Kultur Tawuran Makassar

mendalami-kasus-panah-maut,-membuatku-belajar-akar-kultur-tawuran-makassar

Kabar tidak menyenangkan seliweran tiap hari, namun dari sekian berita buruk, warga Kota Makassar akrab dengan laporan menyangkut serangan panah. Seorang bayi satu tahun di ibu kota Sulawesi Selatan itu terkena panah di pipinya, ketika sedang digendong sambil naik motor. Peristiwa itu terjadi 1 Februari 2022 di Jalan Galangan Kapal. Yang agak melegakan, bayi itu selamat walau panah yang menancap di pipinya membuat ia didera lima jahitan. Polisi sudah menangkap 6 terduga pelaku, sementara satu orang masih buron. Yang masih misterius, tidak jelas motif apa yang mendorong 7 pria dewasa tega menyakiti seorang bayi pakai panah.

Bagaimanapun, ini hanya sebuah berita di satu hari yang biasa di Makassar. Kekerasan seakan jadi wajah kota ini di media massa nasional, kamu akan menyadarinya jika rutin membaca berita. Aku bertanya pada dua teman tentang hal yang pertama terlintas di pikiran mereka ketika mendengar nama Makassar. Satu menjawab coto, satu menjawab tawuran mahasiswa.


Eksploitasi berita kekerasan di Makassar pernah disorot Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulsel. Mereka yakin citra miring kota itu terkait tawuran disebabkan rekrutmen wartawan di Makassar didominasi desk kriminal, dengan alasan jenis berita ini lebih laku. Namun, angka kekerasan di Makassar memang relatif tinggi. Menurut laporan Statistik Kriminal 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), diambil dari data semua polda di Indonesia, Sulsel merupakan provinsi nomor 4 dengan jumlah pembunuhan tertinggi di Indonesia. Sulsel juga tertinggi nomor 2 dalam hal kejahatan berakibat luka fisik.

Lebih dari sebulan setelah bayi itu terkena panah, kasus yang mirip muncul lagi dari Makassar. Kali ini seekor kucing liar terpanah di leher. Warga yang menemukan hewan malang itu melapor ke Damkar, kemudian Damkar Makassar membawanya ke pusat kesehatan hewan (puskeswan). Syukurlah, kucingnya selamat, meski aku semakin bertanya-tanya: Kenapa dari Makassar kerap sekali muncul kasus pemanahan?

Pertanyaan itu menggangguku usai aku membaca serangkaian berita serupa. Misalnya pada 12 Maret, tiga hari sebelum kucing itu mengalami nasib sialnya, seorang pemuda 17 tahun tewas di Makassar, lagi-lagi karena serangan panah. Sebuah panah menancap di dada kiri korban saat ia ikut tawuran pemuda di Kecamatan Bontoala.

Sepanjang Januari-Maret 2022, empat kasus pemanahan lain terjadi di Kota Makassar. Pada 27 Januari, seorang difabel berusia 37 tahun tewas karena dipanah di bagian perut. Pada 6 Maret, seorang anak 5 tahun dipanah kepalanya oleh bocah SMP. Sementara pada 12 Maret terjadi dua pemanahan dalam satu hari, memakan dua korban.

Pendek kata, rentang waktu 1,5 bulan saja, sudah ada tujuh korban panah jatuh di Makassar. Dua di antaranya tewas. Bahkan ini bukan fenomena baru karena korban panah berjatuhan setiap tahun (aku mengetahuinya dari internet). Korbannya mulai dari perempuan, tukang parkir, tentara, hingga wakapolres. Tak sedikit korban yang akhirnya meninggal.

Di kota lain, panah mungkin alat olahraga atau senjata hiasan rumah. Namun, di Makassar, ia adalah senjata mematikan. 

Misteri panah mematikan

Adalah panah yang membuatku penasaran, bukan kekerasannya. Aku bisa angkat bahu sambil bilang, yah, bagaimana lagi, kultur kekerasan bukan menu eksklusif yang cuma ada di Makassar. Orang Indonesia bahkan punya kamus stereotip kekerasan berbagai daerah. Lampung dan Sumatera Selatan dikenal dengan begalnya. Khusus Lampung, juga ditambah “evolusi begal menjadi bajak laut”.

Lalu carok di Madura. Generasi ‘90-an pasti lekat dengan memori perang antar-suku di Kalimantan Barat dan Tengah, atau geng-geng motor membawa pedang samurai di jalanan Bandung. Bahkan Jogja, yang oleh banyak orang dibayangkan sebagai tempat tenang dan damai, nyatanya selama puluhan tahun dihantui teror pembacokan di jalanan berjuluk ‘klitih’.

Mulanya aku salah mengira bahwa panah Makassar ini tak ubahnya panah seperti yang digunakan atlet Olimpiade. Seorang teman dari Makassar mengoreksi sambil menyebutkan nama lokalnya: busur. 

Busur dibuat dari paku besi yang matanya dipipihkan, jadi ukurannya pendek dan kecil saja. Bayangkan panah dart, seperti itulah bentuknya. Sisi belakang busur “didekorasi” dengan rumbai rafia. Senjata ini dilontarkan menggunakan ketapel.

“Ini berita lama, tapi gambar alatnya jelas,” si teman mengirimkan tautan artikel dari media online ini agar aku bisa membayangkan dengan akurat wujud senjata tersebut.

GettyImages-459190252.jpg
Dalam insiden ricuh mahasiswa dengan polisi, tampak seorang pemuda menggunakan ketapel yang biasa dipakai untuk melepas ‘busur’. Foto oleh Syachban Firmansyah/Anadolu/Getty

Dari mana asal-usul busur? Sejak kapan ia populer untuk tawuran? Itu pertanyaan yang muncul selanjutnya, dan coba kucari jawabannya pada Bripka Zulqadri (36), anggota Polsek Panakkukang. Ia tak bisa menyebut pasti sejak kapan busur marak dipakai di Makassar. Tapi ia ingat, sejak ia duduk di bangku SD, busur sudah lazim menjadi senjata tawuran. 

“Dulu itu, waktu belum ada istilah geng motor atau geng-geng lainnya, [busur] digunakan sebatas untuk tawuran antar kelompok atau antar lorong-lorong. Namun, sekarang makin berkembang. Selain banyak yang menggunakannya saat perang kelompok atau tawuran, juga banyak digunakan di jalanan untuk melakukan aksi kekerasan. Baik itu begal atau aksi pencurian dengan kekerasan. Dan yang menggunakan anak panah tersebut itu kebanyakan anak muda atau remaja belasan tahun,” kata Zulqadri kepada VICE.

Selain busur, peserta tawuran juga doyan menggunakan badik, ujar Zul. Badik adalah senjata khas orang Bugis, suku yang banyak berdiam di Makassar. Ia menduga, busur populer karena materialnya sederhana dan mudah dibuat sendiri. Alat ini juga efektif menimbulkan rasa takut. 

“Busur ini jika dilepaskan tidak tahu ke mana arahnya, jadi terkadang anggota [polisi] yg mendatangi TKP jadi takut-takut juga karena sudah ada beberapa anggota yang kena busur di lapangan,” ia mengenang.

Dua tahun lalu, Zul sempat jadi korban serangan senjata tajam, meski bukan busur. Kepala dan kakinya ditebas parang saat mengejar seorang pria yang baru saja menganiaya dua orang lain. 



Dari mana muasal busur dan sejak kapan ia populer masih belum terjawab. Mungkin Rahman*, bisa menjawabnya. Mahasiswa 24 tahun ini lahir dan besar di Makassar. Masa SMK-nya sepanjang 2013-2016 diisi dengan tawuran demi tawuran. Begitu kuliah, ia mengaku berhenti ikut perang. “Bosan,” katanya.

“[Tawuran itu] jarang ada tangan kosong,” ujar Rahman. “Saya pernah tidak sengaja wawancarai orang. Kalau menurut orang itu, [busur sudah dipakai di Makassar] sejak 1980-an.”

Cerita Rahman selanjutnya menyebut sejumlah senjata tawuran. “Biasa dalam matte lari, senjata yang dipakai busur dan badik untuk jarak dekat, atau jame’ atau pisau daging.” Kadang pedang samurai juga ikut keluar, bahkan pistol rakitan. Rahman pernah melihatnya. Tapi, menurutnya badik lebih populer daripada busur. Badik ini bisa dibeli, atau kadang mereka memakai milik orang tua. Spesial untuk busur, alat ini dibuat dengan tangan sendiri.

Matte lari yang disebut Rahman adalah istilah untuk serangan menggunakan busur. Matte berarti ‘membusur’. “Biasanya sambil naik motor, membusur/memanah lalu lari. Kalau matte lari biasa enggak rame, dua-tiga motor saja tergantung orang yang mau ikut siapa.”

Matte lari biasanya kalau mau menyerang daerah yang jauh, harus pakai kendaraan. Motor paling sering. Intinya, [kalau menyerang daerah yang jauh] harus cepat lari supaya tidak gampang disergap warga yang diserang. Makanya agar tidak terlalu kentara, yang menyerang tidak boleh ramai,” Rahman menjelaskan.

Istilah lain adalah ma’ji lari. Ma’ji artinya ‘memukul’. Sebelum busur populer, yang dipakai bukan istilah matte lari, melainkan ma’ji lari. Konsepnya sama, menyerang secara kilat kemudian kabur. Di luar dua istilah teknis itu, Rahman dan kawan-kawan memakai kata “perang” untuk merujuk aktivitas tawuran atau bentrok antar anak muda.

Perang, solidaritas, dendam

Perang-perang yang melibatkan Rahman adalah perang-perang antar sekolah dan antar kampung. Ia beberapa kali ikut menyerang sekolah lain. Pemicu paling umum adalah teman satu sekolah yang dipukuli anak sekolah lain. Alasan baku hantam ini kerap kali personal.

“Pernah ada gara-gara persoalan cewek,” ujarnya. Atau, menurutnya, karena cowok-cowok tidak senang dengan orang dari sekolah lain berpacaran dengan teman kelas atau sekolahnya. Ada juga bentrokan dipicu hasil pertandingan futsal atau basket.

Ya nda terima lah temannya dipukul sama orang lain. Jika ada teman yang dipukuli sama orang sekolah lain, pasti kompak nyerang sekolah itu. Apalagi jika teman kelas, anak kelas lain saja dibela.”

“Misal teman yang dipukul ini tidak terlalu kamu kenal atau tidak akrab-akrab banget, sepanjang masih satu sekolah, tetap harus dibela ya?” aku bertanya.

“Biasanya dibela. Tetap intinya ada orang-orang yang mau bela. Apalagi jika orangnya [yang dipukuli itu dikenal] baik di pergaulan sekolah. Pasti rame yang bantu,” jawab Rahman. 

“Kadang kalau saya sendiri, ada teman saya yang dipukuli, dilukai, ini darah panas sendiri. Tidak bisa diam, harus dibalas. Sampai sekarang seperti ini.” Kasus teman dipukuli juga menjadi alasan dalam perang-perang antar kampung yang Rahman ikuti.

Syahrul*, alumnus salah satu kampus di Makassar, juga akan mengeluarkan busurnya jika dipanggil berperang. Baginya, fungsi busur ada dua. Pertama untuk perang, kedua untuk menangkap ikan. Masa kuliah pemuda 25 tahun itu sempat diisi sejumlah tawuran. Bedanya dengan Rahman, perang-perang yang melibatkan Syahrul adalah perang-perang mahasiswa antar kabupaten. Ini adalah jenis perang yang banyak merepotkan polisi di Makassar.

Tawuran atau perang antar mahasiswa di Makassar bisa dijelaskan oleh konteks seperti ini.  

Sejak masa kolonial, Makassar telah menjadi kota paling besar di Kawasan Timur Indonesia (KTI), biasa disebut Indonesia Timur saja. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Kepulauan Maluku, dan Papua. Makassar adalah bagian kawasan ini, meski secara zona waktu merupakan bagian Waktu Indonesia Bagian Tengah.

BPS mencatat pada 2021, setidaknya 192 perguruan tinggi, setara 6 persen kampus di Indonesia, berada di Sulsel. Angka yang luar biasa banyak, bahkan melebihi jumlah perguruan tinggi di “Kota Pelajar” Yogyakarta. Dari 192 kampus itu, sebagian besarnya berada di Makassar. Dengan kata lain Makassar adalah melting pot bagi 300 ribuan mahasiswa dari seantero Indonesia.

Mahasiswa-mahasiswa pendatang yang tiba di Makassar bisa bergabung dengan organisasi mahasiswa kedaerahan. Organisasi ini dibentuk pemda bersangkutan, umumnya menyediakan fasilitas asrama. Organisasi daerah inilah, biasa diakronimkan jadi organda, yang seringkali berkonflik satu sama lain. Inilah jenis konflik yang membuat Syahrul terlibat. Namun, ia tak mau menyebut nama organdanya. 

Menurut Andi*, alumnus Universitas Hasanuddin yang tumbuh besar di Makassar, ikatan kedaerahan para mahasiswa dari berbagai daerah itu teramat kuat. Perasaan sebagai satu kelompok karena berasal dari kabupaten yang sama memicu solidaritas erat. Maka yang terjadi persis yang dialami Syahrul di SMK-nya: jika anggota organda dipukuli, teman-temannya akan kompak balas dendam.

“Misal saya anak Bone, kemudian dipukul anak Palopo. Nanti anak Bone akan merasa punya ikatan untuk maju semua,” kata Andi kepada VICE.

“Alasan [tawuran antar asrama] macem-macem. Bisa karena tersinggung, baku tunjuk, saling pukul. Nanti akan pulang ke asrama yang notabene basis organdanya untuk lapor ke teman. Ya kita datangi asramanya [pihak lawan].”

“Saya pernah lagi main di asrama, disuruh ngungsi karena akan [asrama itu akan] diserang. Disuruh bawa barang-barang yang penting. [Penyerangnya] sampai bakar asrama. Itu biasanya. [Asramanya] dibakar,” Andi mengisahkan.

“Kalau [sampai] lawan polisi, biasanya pas bentrok warga. Karena sudah emosi, siapa saja yang menghalangi, termasuk polisi, dihajar saja,” tambahnya.

Kata Andi, yang kini berusia 32 tahun, satu gesekan kecil bisa dengan mudah merembet jadi tawuran panas apabila asrama-asrama yang terlibat punya sejarah konflik di masa lalu. Pasalnya, masalah lama dianggap tidak pernah selesai. Dendam itu bahkan diwariskan tiap tahun, pada mahasiswa-mahasiswa yang baru bergabung dengan organda.

GettyImages-1171377009.jpg
Kasus bentrokan antara mahasiswa dengan aparat, terutama saat unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah, kerap menjadi pemberitaan media lokal Makassar memicu citra buruk kota tersebut. Foto oleh Hariandi Hafid/SOPA Images/LightRocket via Getty Images

Selain karena cekcok, perang yang melibatkan organda kadang terkait peristiwa politik, Andi mengatakan. “Dekat-dekat momen politik, pasti banyak keributan. Levelnya dari kampus, daerah, dan nasional. Bahkan pemilihan rektor dan ketua BEM juga rentan ribut,” ujarnya.

Ia mencontohkan momen pemilihan ketua organisasi ekstra kampus terbesar di Makassar. Apabila salah satu calon merasa bakal kalah, kadang organda digerakkan umembuat kericuhan, tujuannya demi membuat proses pemilihan deadlock. Momen penangguhan proses pemilihan akan jadi kesempatan calon yang terancam kalah guna melancarkan lobi politik di belakang layar.

Penelitian Misdar pada konflik mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh) yang terbit 2018, sempat menyimpulkan bahwa faktor dendam memperdalam konflik laten organda. Salah satu narasumber penelitian mengatakan, sejumlah fakultas, organda, dan organisasi lainnya dikenal punya sejarah dendam yang membuat konflik terus berulang di Unismuh. Ia mencontohkan ketidakakuran antara Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di kampus itu, serta perseteruan organda Palopo dan organda Jeneponto. Keduanya kabupaten di Sulsel.

Penelitian itu menyebut empat penyebab konflik mahasiswa di Unismuh, yakni konflik antar-individu, dendam personal atau kelompok, konflik kepentingan, diperburuk penegakan aturan yang tak berjalan efektif.

“Konflik yang terjadi secara berulang-ulang tersebut disebabkan adanya rasa solidaritas yang terbangun secara kelompok,” kata salah satu mahasiswa ketua organda yang diwawancarai dalam penelitian itu.

“Dalam proses itu [perekrutan] mahasiswa baru [untuk masuk ke organda, mereka] didoktrin untuk menjadikan kelompok lain sebagai lawan sehingga kemudian itu terpatri dalam diri mahasiswa baik secara kelompok maupun secara individu, dalam pikiran mereka,” ujar narasumber lain.

Salah satu narasumber yang pernah menjadi petinggi sebuah organda memberi tambahan aspek yang bisa menjelaskan perang antar asrama ini langgeng.

“Konflik dalam perspektif masyarakat awam memang dianggap sesuatu yang tidak baik, namun kita harus memahami konflik juga memiliki sisi yang positif, salah satunya adalah disegani baik dalam kelompok internal kita sendiri maupun kelompok yang eksternal [kelompok lain]. Artinya akan memberikan nilai prestise kepada kita secara personal,” katanya, dikutip dari penelitian tersebut.

Teori warisan dendam yang membuat antar organisasi atau antar daerah menjadi langganan bentrok, dibenarkan oleh Rahman. Sejumlah wilayah dan organda yang berulang kali tawuran terpatri dalam pengetahuannya.

“Kalau daerah-daerah [tawuran antar warga], seperti Kandea, Maccini, Sukaria, Pampang, Barawaja, Ablam, Kelapa Tiga. Dari cerita teman-teman yang tinggal di situ, [penyebabnya] dendam lama, kebanyakan,” kata Rahman, menyebut beberapa nama kampung di Makassar. “Ini daerah yang sering perang sampai sekarang.”

“Tawuran organda di kampus biasanya Bone vs Palopo, Jeneponto vs Bulukumba. Dan biasanya bersekutu antar daerah juga,” tambah Rahman.

Harga diri setara nyawa

Tidak sulit menemukan berita perang organda lawan organda di internet. Untuk menyebut satu contoh saja, adalah bentrok mahasiswa Palopo vs mahasiswa Jeneponto pada Juli 2019. Polisi yang turun tangan menyita busur dan ketapelnya, papporo’, serta korek kayu.

Papporo’ itu senjata orang Palopo. Meriam mini. Senjata paling bahaya,” kata Rahman.

Bentuk papporo’ menyerupai meriam bambu, namun dalam seukuran pistol sehingga mudah dikokang. Senjata ini dirakit dari pipa besi dengan larasnya kadang lebih dari satu buah. Foto jelas senjata ini bisa dilihat di sini dan di sini.

Pada 2013, seorang ketua RW di Makassar mengatakan busur dan papporo’ adalah senjata yang bisa dengan mudah dibuat anak-anak muda di daerahnya. Senjata api rakitan ini jelas berbahaya. Korban meninggal akibat ditembak papporo sudah berjatuhan, tapi bukan hanya itu. Papporo’ juga pernah menewaskan perakitnya sendiri, seperti terjadi di 2017 dan 2019

Busur pun sama mematikannya. “Ujungnya biasanya dikasih air lemon, jeruk nipis, atau bahkan racun tikus,” kata Andi.

Senjata-senjata mengancam nyawa itu digunakan, menurut Andi, karena sebagian perang memang sangat serius. “Anak Teknik Unhas kalau berantem paling lempar-lempar batu, rusak-rusak barang. Tapi kalau organda, ini sudah soal hidup mati. Karena ada budaya siri’ atau harga diri.” Siri’ yang secara harfiah berarti ‘malu’ adalah adat Bugis tentang ajaran menjaga dan mempertahankan harga diri.  

Tapi tak semua perang bertujuan menghabisi nyawa lawan. “Ada cerita, teman saya bacok orang sampai mati. Sebenarnya tidak diniatkan, niatnya hanya menggertak. Tapi karena sudah emosi, kebablasan,” tambah Andi.

“Ya tergantung tujuan kita nyerang. Dengan tujuan menakut-nakuti saja, kadang dilukai sedikit, itu kalau saya. Teman biasa ada yang kelewatan atau terlalu marah jadi melukai,” ujar Rahman.

Sejak kuliah, Rahman pensiun ikut perang, kecuali sangat darurat. “Bosan,” ujarnya. “Polisi juga alasan kenapa saya malas ikut-ikut lagi.”

“Pernah ada teman saya ditembak polisi karena tawuran pada 2014. Tapi kalau ada teman dekat yang dipukuli atau dianiaya sama orang lain atau daerah lain, pasti turun bantu.” Ia turut merasa kegiatannya selama kuliah sangat padat sehingga tak punya waktu untuk tawuran.

Dari sekian berita tentang korban busur, aku masih penasaran mengapa ada kucing yang ikut jadi korban. Aku menanyakannya kepada Rahman, yang lalu menjawab sambil tertawa.

“Hahaha, itu anak-anak iseng. Enggak ada musuh, jadi seperti latihan-latihan saja, menurut saya.”

*Narasumber meminta namanya disamarkan untuk alasan keamanan diri.


Mahisa Cempaka adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta