Di bawah manajemen 88rising di Amerika Serikat (AS), berbagai musisi Indonesia termasuk Nicole Zefanya (NIKI), Brian Imanuel Soewarno (Rich Brian), dan Warren Hui (Warren Hue) tengah menjadi perbincangan publik Indonesia atas prestasinya tampil di Coachella, salah satu festival musik terbesar di dunia.
Hal ini merupakan prestasi fenomenal, dan sudah selayaknya kita sebagai masyarakat Indonesia turut bangga atas capaian mereka.
Para musisi di atas hanya segelintir dari banyak musisi Indonesia dari berbagai genre yang juga telah mendapat perhatian dunia. Sebut saja Mocca, Weird Genius, dan Budjana.
Dari sisi talenta dan produksi musik, Indonesia dapat dikatakan memiliki sumber daya yang amat memadai untuk memanfaatkan musik sebagai subsektor ekonomi kreatif, terutama di kancah global.
Dari sisi rantai nilai industri musik, Indonesia punya segudang talenta di semua lini – mulai dari kreasi, reproduksi, dan distribusi. Gerakan musik independen di dalam negeri juga terus berkembang. Sementara di sisi konsumsi, pasar industri musik Indonesia tumbuh pesat dengan munculnya festival musik dari berbagai macam genre.
Pasar musik dunia pun kini hampir menembus angka US$26 miliar (lebih dari Rp374 triliun) pada tahun 2021. Tentunya, hal ini merupakan kesempatan untuk pelaku industri musik di Indonesia. Melalui artikel ini, saya menjabarkan setidaknya tiga hal krusial yang bisa kita pelajari dari para musisi yang mendunia ini dan karya-karya mereka.
Membangun segmen pendengar
Musik merupakan sebuah bentuk ekspresi. Dalam berekspresi, kita sulit untuk secara objektif mengatakan suatu karya benar atau salah. Namun, dalam konteks industri, musisi seperti Niki dan Rich Brian memiliki segmen pendengar dari sisi demografi maupun psikografi – yang pada akhirnya juga mampu mengantarkan mereka ke panggung internasional seperti Coachella. Demikian halnya dengan musisi instrumental seperti Budjana maupun Alip BaTa.
Dengan identitas “Asian-ness” khas 88Rising, berbagai musisi di bawah label tersebut berhasil menjangkau komunitas Asia-Amerika, bahkan jutaan pendengar di Cina dan Indonesia. NIKI pun menggunakan identitas ini untuk menjangkau pecinta genre R&B (rhytm and blues), dan Rich Brian dengan genre hip-hop. Menurut Sean Miyashiro, sosok di balik label 88Rising, sebanyak 60 persen demografi pendengar musisi 88Rising di seluruh platform streaming merupakan warga atau keturunan Asia.
Para musisi 88Rising tersebut juga punya fokus besar pada relevansi dengan tradisi internet khas Generasi Z. Misalnya mengutamakan karya visual di media sosial, serta sangat terlibat dalam budaya meme di Youtube dan Instagram.
Segmen pendengar berkontribusi terhadap nilai ekonomi para artis di dalam industri musik. Memahami dan membangun segmen audiens yang pas menjadi kunci bagi musisi Indonesia.
Pentingnya tata kelola profesional
Terlepas pilihan musisi menempuh jalur label profesional ataupun independen, ketika karya mereka sudah masuk ke dalam industri, peran manajemen talenta yang profesional menjadi krusial.
Kesuksesan musisi Indonesia ini tidak lepas dari manajemen mereka, 88rising, yang mampu menggerakkan mesin bisnis untuk memanfaatkan keunikan talenta musisi, pasar pendengar, karya yang dihasilkan, dan juga aktivitas pemasaran yang dilakukan. Merujuk empat fase rantai nilai kreatif di atas, musisi dan manajemen mereka bertanggung jawab untuk memperhatikan keberlangsungan bisnis mereka dari fase kreasi hingga konsumsi.
Sean Miyashiro bahkan pernah menceritakan bagaimana sebelum 88Rising selesai menggarap lagu Rich Brian yang berjudul ‘Crisis’, mereka sudah memantapkan estetika visual maupun distribusinya di Youtube, Spotify, dan konser andalan label tersebut yakni Head in the Clouds (HITC).
88Rising juga gencar membangun momentum dan reputasi para musisinya di luar komunitas Asia-Amerika melalui kolaborasi dan ajang publisitas dengan artis hip-hop ternama lain, seperti kejutan dan prank Youtube antara Rich Brian dan Post Malone.
Bahkan, di salah satu pasar besar mereka yakni Cina – yang menyensor platform seperti Youtube dan Spotify – 88Rising bekerja sama dengan layanan alternatif dari perusahaan Tencent dan Alibaba. Mereka juga mendirikan kantor di Shanghai untuk melakukan pemasaran.
Mengomunikasikan dan membuat musik sampai diterima ke telinga pasar dan masyarakat merupakan pekerjaan yang berat. Sehingga, penting sekali memiliki tata kelola yang profesional dari hulu ke hilir di rantai nilai industri musik.
Membangun brand
Musisi di bawah 88rising membangun brand equity (nilai merek) dan brand extension (memanfaatkan merek untuk membangun produk baru). Secara sederhana, keduanya berarti persepsi citra yang dibayangkan oleh konsumen terhadap sebuah merek.
Sejalan dengan tata kelola yang profesional, setiap musisi dapat dan perlu membangun brand mereka masing-masing, yang sejatinya dapat menjadi modal untuk kelangsungan bisnis mereka.
Ketika menyebutkan seorang musisi, kita memiliki asosiasi dan mungkin nilai komersial dari brand tersebut – dari NIKI dengan representasi perempuan Asia hingga Brian dengan ceritanya sebagai orang Indonesia yang menembus industri hop-hop global.
Citra ini memiliki relevansi dengan nilai yang diusung produk lain di luar musik mereka, yang dapat mereka tawarkan kepada pendengar. Lihat saja kolaborasi 88Rising dengan Samsung, atau keterlibatan Rich Brian dan NIKI dalam daftar lagu dari film pahlawan super Asia-Amerika keluaran Marvel, ‘Shang-Chi’.
Berkolaborasi dengan Coachella, 88Rising bahkan merilis kumpulan NFT perdananya yang merayakan festival HITC mereka dan budaya musik Asia. Musik merupakan produk di masyarakat yang memiliki sisi estetika, kreatif, dan juga bisnis. Indonesia tidak pernah kekurangan talenta yang mampu menarik perhatian dunia dari segi musikalitas dan kreativitas.
Melihat geliat industri musik yang kembali bergairah pasca pandemi, sepertinya kita akan banyak melihat bintang-bintang baru di industri musik domestik maupun internasional dengan berbagai gaya dan keunikan mereka.
Saya sendiri tidak sabar untuk melihat bagaimana lanskap industri musik global dan Indonesia bergerak di era pascapandemi ke depan. Semoga semakin banyak musisi-musisi Indonesia yang mampu menunjukkan indahnya Indonesia dan memperkenalkan budaya kita di kancah dunia.
Harriman Samuel Saragih adalah Assistant Professor bidang inovasi bisnis di Monash University, Australia
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.