Oleh : Sofyan Mohammad*
LIPUTAN4.COM, Tuban- Bumi Wali adalah julukan Tuban yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari jejak masa lalu yang kini terdapat banyak makam ulama. Salah satunya adalah makam Kanjeng Sunan Bonang (Kelurahan Kutorejo, sebelah barat Masjid Agung Tuban) makam Syeh Maulana Ibrahim Asmaraqandi, Sunan Bejagung maupun makam para ulama lainnya yang tersebar di beberapa titik bumi Tuban.
Tuban terletak dipesisir pantai utara sehingga sudah terkenal sejak jaman singosari. Konon dikisahkan pada tahun 1292 pasukan Mongolia (tentara Tatar) yang hendak menghukum Raja Singosari mendarat di pantai Tuban. Dari Tuban pula sisa-sisa tentara tar tar meninggalkan Pulau Jawa untuk kembali ke negerinya. Dalam beberapa catatan sejarah sejak abad ke 15 dan 16, kapal-kapal dagang sudah ramai mendarat di pelabuhan Tuban. Namun karena adanya pendangkalan oleh endapan lumpur sehingga setelah abad ke-16, pelabuhan Tuban tidak lagi menjadi kota pelabuhan ramai lagi penting di Tanah Jawa.
Kota Tuban tidak bisa dilepaskan dengan sosok legendaris yaitu Ronggolawe hingga sebagian masyarakat Tuban berbangga menyebut Tuban sebagai Bumi Ronggolawe. Ronggolawe sendiri dianggap sebagai sosok yang sangat berjasa bagi Kerajaan Majapahit. Para sejarawan menyebut Ronggolawe adalah putra dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Sumenep di Madura. Nama Rangga Lawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya berkaitan dengan jasanya memberikan 27 ekor kuda Sumbawa sebagai kendaraan perang bagi Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang Raja Kadiri. Anasir lain menyebut arti Rangga berarti kuda dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti “benang” atau dapat juga bermakna “kekuasaan” atau kemenangan.
Dikisahkan Ranggalawe dan ayahnya pada tahun 1292 ikut membantu Raden Wijaya membuka hutan Tarik di dekat Sungai Brantas yang kelak menjadi lokasi berdirinya Kerajaan Majapahit. Dalam proses tersebut dikisahkan Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Setelah pembukaan hutan selesai tiba tiba pasukan mongol mendarat dipelabuhan Tuban untuk menyerang kerajaan Singosari. Namun saat itu Singosari sudah runtuh oleh pemberontakanJayakatwang seorang bupati Gelanggelang yang pada tahun 1292 sehingga kerajaan bergeser ke Kerajaan Kadiri. Hal ini tidak dipahami oleh pasukan Mongol. Dengan siasat yang cerdik Raden Wijaya justru membantu tentara tar tar untuk menyerang Kediri pada tahun 1293. Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol tersebut Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur hingga Ranggalawe dengan tanganya sendiri berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan
Setelah Prabu Jayatkatwang menyerah sebagai tanda keruntuhan Kerajaan Kadiri dan pasukan tar tar dapat di pukul mundur untuk kembali ke negara asalnya. Melalui drama penyerangan yang penuh siasat selanjutnya Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit sekaligus sebagai Raja pertama. Kerajaan Mahapahit berpusat di hutan tarik yang telah di babat dan kini diyakini terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Dalam Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, disebutkan nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Ronggolawe setelah menjadi Adipati Tuban dengan gelar Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.
Dalam beberapa literasi sejarah disebutkan awal awal berdirinya Kerajaan Majapahit telah diterpa dengan pemberontakan oleh para punggawa Kerajaan. Seperti diperankan dalam film kolosal Tutur Tinular maupun Saur Sepuh pemberontakan demi pemberontakan terjadi karena menyangkut pembagian kekuasaan yang dianggap tidak adil terhadap perwira perwira yang berjasa terhadap pendirian majapahit. Drama dan intrik kala itu melibatkan sosok yang bernama Dyah Halayudha yang digambarkan sebagai seorang yang lihai untuk melakukan manuver politik adu domba.
Pemberontakan yang cukup fenomenal adalah pemberontakan Ronggolawe. Dalam salah satu sekuel film Tutur Tinular telah diperankan jika Ranggalawe tidak puas karena merasa ia seharusnya mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Ranggalawe semakin kesal setelah Nambi diangkat sebagai Rakryan Patih, jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan di bawah Raja Mjapahit kala itu.
Menurut Ronggolawe posisi rakryan patih seharusnya diserahkan kepada Lembu Sora yang merupakan pamanya. Sebab Lembu Sora dinilai jauh lebih berjasa dibanding Nambi. Kala itu Lembu Sora ternyata tidak sepakat dan justru menasihati Ranggalawe agar memohon maaf kepada Raden Wijaya. Namun, Ranggalawe enggan dan memilih pulang ke Tuban untuk menunjukan protes dan sikap mbalelonya.
Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau “raja muda” di istana Daha. Kidung Ranggalawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ranggalawe terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang. Atas perintah Raden Wijaya, Patih Nambi yang ditemani oleh Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit menuju Tuban untuk menghukum Ranggalawe.
Ranggalawe telah mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya, maka dipersiapkanlah pasukan yang dipimpinya sendiri untuk menghalau yang ditempatkan di Sungai Tambak Beras. Terjadilah perang campuh yang sengit. Dikisahkan Ranggalawe sendiri berhasil menikam kuda yang ditunggangi Patih Nambi, namun Patih Nambi masih dapat selamat dari amukan Ronggolawe. Kebo Anabrang sebagai panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang. Hingga pasukan Majapahit dapat mengepung pasukan Ranggalawe dari tiga penjuru arah mata angin timur, barat, dan utara. Nampaknya siasat ini belum mampu mengungguli pasukan Ranggalawe.
Dikisahkan Kebo Anabrang memacu kudanya untuk saling kejar dengan Ranggalawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ranggalawe terjatuh dan tercebur ke mungai, melihat Ranggalawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu. Pertarungan satu lawan satu pun tak terelakkan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ranggalawe dan menenggelamkanya di air aliran sungai dan Ranggalawe pun sekarat hingga akhirnya meninggal dunia.
Kejadian itu disaksikan langsung oleh Lembu Sora yang memang berada di pihak Majapahit, tapi pada satu sisi Ranggalawe adalah keponakan tercintanya. Atas insiden tersebut Lembu Sora tak mampu menahan diri akhirnya Lembu Sora menikam Kebo Anabrang dari belakang hingga meninggal jatuh tersungkur di sungai Brantas. Kebo Anabrang dan Ranggalawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras yang darahnya mengenangi aliran sungai akibat duel dua ksatria pilih tanding tersebut.
Peristiwa itu menjadi babak akhir dari kisah hidup Ronggolawe yang tetap dikenang sebagai seorang pahlawan Majapahit dan seorang Ksatria yang legendaris meski hembusan nafas terakhirnya terjadi pada saat moment pilihan sikapnya yang mbalelo terhadap Majapahit. Kisah hidup Ranggalawe adalah bagian tidak terpisahkan dengan tanah Tuban. Meski Tuban sendiri dalam legendanya berawal dari sosok yang bernama Arya Dandang Wacono yang memulai babat alas di tanah tersebut.
Dikisahkan saat itu Aryo Dandang Wacono sedang mencangkul lahan di hutan bambu yang bernama Papringan. Namun tanah yang dicangkul tersebut mengeluarkan air yang sejuk dan segar walaupun terletak di tepi pantai. Mata air tersebut juga tidak mengandung garam. Akhirnya tanah yang dibuka oleh Raden Aryo Dandang Wacono tersebut dinamakan Tuban ‘me(tu) (ban) yu atau keluar air. Sejak saat itu wilayah tersebut dinamai Tuban.
Dalam Serat Babad Toeban yang berbahasa Jawa Kromo Inggil menyebitkan asal-usul Ronggolawe yaitu beliau adalah putra yang lahir dari Nyai Ageng Lanang Jaya yang merupakan putri pertama dari Ki Ageng Papringan dari Tuban. Disebutkan Ki ageng Lanang Jaya mempunyai dua orang putri, yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeso yang menurunkan Raden Arya Kebo Anabrang.
Sehingga patut diduga Ronggolawe sendiri terkait dengan Raden Dandang Wacono baik secara nasab maupun sanad. Sebab setelah tanah yang dicangkul oleh Raden Dandang Wacono mengeluarkan air yang menjadi cikal bakal penyebutan Tuban maka daerah tersebut didiami oleh Raden Dandang Wacono dengan berjuluk Ki Ageng Papringan. Sehingga kepopuleran Ronggolawe adalah meneruskan Ki Ageng Papringan yang sudah terlebih dahulu tersohor sebagai sesepuh Tuban. Karena hal tersebut dapat dipahami jika ketokohan seorang Ronggolawe sedemikian tertanam kuat dihati masyarakat Tuban kalau itu. Ronggolawe diriwayatkan sebagai seorang Kstatria pilih tanding, sakti, berwatak tegas dalam membela dan teguh dalam komitmen sebagai seorang Ksatria. Disisi lain juga memiliki sifat yang penuh welas asih dan penyayang terhadap yang lemah. Karena hal tersebut meski Ronggolawe telah meninggal dalam status sebagai pemberontak terhadap Majapahit namun masyarakat tetap menghormatinya bahkan sebagian juga menganggapnya sebagai seorang pahlawan. Kisah hidup Ranggalawe diabadikan dalam berbagai bentuk seperti tertulis dalam beberapa naskah dari keropak, daun lontar, dluwang yang hingga kini masih tersimpan di museum dan perpustakaan, bahkan terus disalin dalam tradisi filologi Jawa Kuno di Bali. Segala kisah hidup Ronggolawe masih menarik untuk dibahas hingga kini yang berarti Ronggolawe meninggalkan kisah keteladanan yang tak lekang oleh zaman.
Bentuk penghormatan terhadap Ronggolawe juga diabdikan dalam bentuk hari jadi Tuban yang jatuh pada tanggal 12 November yang merujuk pada acara wisuda pengukuhan Ronggolawe sebagai Bupati Tuban oleh Raden Wijaya, yakni pada 12 November 1293. Meskipun kursi adipati dijabat oleh Ronggolawe hanya sekitar 3 tahun saja, yaitu sejak dilantik pada tahun 1293 sampai dengan saat gugur memperjuangkan sikapnya di tahun 1296.
Meski Ronggolawe tewas dalam status mbalelo namun Raden Wijaya tetap merasa sangat perhatian dan menaruh hormat kepadanya sebab sepeninggal Ronggolawe, anak turunnya tetap diberi kekuasaan oleh Majapahit untuk tetap menjadi penguasa di tanah Tuban. Sepeninggal Ronggolawe jabatan Adipati atau penguasa Tuban dilanjutkan oleh putra Ronggolawe sendiri yaitu Raden Haryo Sirolawe mulai tahun 1295–1306.
Bentuk penghormatan terhadap Ronggolawe nampak juga dari adanya berbagai tetenger yang berada di Tuban. Merujuk pada waktu dan perjalanan hidup Ronggolawe yang tidak disebutkan sebagai orang yang beragama Islam. Sebab disebutkan jika pada saat Ronggolawe meninggal dunia maka jasadnya bersama dengan jasad Kebo Anabrang kemudian dikremasi dengan cara dibakar dalam suatu upacara kenegaraan Majapahit dan abunya dilarung ke laut Jawa. Namun faktanya pada saat ini di bumi Tuban ada tetenger berupa perkuburan yang pada batu nisannya yang disebutkan sebagai makam dari Ronggolawe.
Dikomplek pemakaman yang terletak di Dukuh Kajongan, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban berjarak sekitar 400 M dari Makam Kanjeng Sunan Bonang. Berjejer beberapa nisan makam yaitu : Raden Arya Ranggalawe, Raden Arya Siralawe, Raden Arya Sirawenang, Raden Arya Lena, Raden Arya Panular/Arya Dikara.
Raden Arya Teja (Permulaan agama Islam), Raden Ayu Arya Teja, Nyai Ageng Manila, ibunda Sunan Bonang, Nyai Ageng Rondo Kuto (saudara Sunan Bonang tunggal bapa), Kyai Ageng Ngadusi, Nyai Ageng Marwati, Nyai Ageng Ghusniyah, Nyai Ageng Wanapala dan Kyai Ageng Batulare.
Letak pusara Makam Ronggolawe berada di dalam naungan sebuah cungkup dengan di hijabi kain motif kelambu berwarna putih. Nisan makam Ronggolawe berada di bagian tengah dan diapit oleh makam para adipati Tuban lainnya.
Keberadaan makam Ronggolawe tersebut adalah bagian dari bentuk penghormatan masyarakat Tuban terhadap sosok legendaris Ronggolawe. Meski belum ada sumber yang pasti menyebutkan apakah yang terkubur dibawah nisan tersebut benar benar jasad Ronggolawe, pusaka peninggalanya atau hanya petikasanya saja. Wallahu alam bishowab (Hanya Allah SWT yang Maha Tahu).
Terlepas dari apa yang sebenarnya terkubur dibalik nisan tersebut yang pasti hal tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap beliau yang meninggalkan jejak keteladanan bagi generasi berikutnya. Pusara makam tersebut adalah semacam tetenger untuk napak tilas sebagai sebuah “memorabilia” atau sesuatu yang sangat dikenang. Tetenger tersebut sebagai media untuk mempertautkan kejadian dan kisah hidup masa lalu. Jika tidak ada tetenger semacam ini segala kisah masa lalu akan hilang dan tak terlacak sehingga generasi berikutnya sudah tidak akan mampu belajar dari kejadian masa lalu.
Memoralibia tentang Ronggolawe juga tampak dalam lambang Kabupaten Tuban yaitu patung kuda yang dua kakinya diangkat yang memiliki makna filosofi adanya perjuangan dan heroisme. Patung kuda dengan model tersebut juga sebagai pralambang sungkawa. Patung kuda itu sendiri menggambarkan kuda kesayangan milik Ronggolawe yaitu Kuda yang bernama Nila Ambara.
Dengan berziarah mengunjungi makam Ronggolawe di Komplek makam Kanjongan di Tuban maka adalah bagian ritualitas komunikasi batin untuk memasuki labirin masa lalu. Dalam kajian Futurolog menyebutkan dengan peduli pada masa lalu maka berarti telah menyelamatkan masa depan. Seperti jargon Bung Karno dengan adagium Jas Merah (Jangan sekali-kali mengabaikan sejarah), atau seperti kata George Santayana, “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
Dengan bertadabur di komplek Makam Kanjongan di Tuban adalah bagian perenungan tentang sejarah masa lalu sekaligus merenungkan kebijaksanaan Ilahi atas segala pencipta -Nya yang semuanya akan musnah kecuali Wajah -Nya.
Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah
Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب)
Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”
———————————————————————————-
Tulisan ini diramu dari wawancara dengan Juru Kunci Makam dan dengan referensi bacaan yaitu :
1. Agung Kriswanto, Pararton Terjemahan dan Alih Bahasa. Publiser. 2009.
2. Edy Sedyawati Dkk. Tuban: Kota Pelabuhan Di Jalan Sutra. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional : Jakarta., 1997
3. Gamal Komandoko, Legenda Ken Arok dan Ken Dedes, Narasi. 2008
4. Soeparmo, R. Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban. S.L. : s.n., 1983
5. Wikipedia.
———————————————————————————-
Penulis adalah pehobi wisata ziarah disela sela angon wedus di desa.
Berita dengan Judul: Memorabilia Keteladanan Ronggolawe pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni