Suatu hari di musim dingin berpuluh-puluh tahun lalu, kiriman wol sehalus awan tiba di rumah Mushtaq Beigh di Srinagar, yang sekarang menjadi wilayah persatuan Jammu dan Kashmir di India. Helai demi helainya diputar hingga terbentuk benang yang kemudian ditenun menjadi shahtoosh.
Sejak kecil, Beige telah diajari orang tuanya untuk membuat syal mewah shahtoosh. Dia masih ingat saat pertama kali merasakan benang tipis di tangannya.
“Benangnya setipis rambut di kepalamu,” kenang pengrajin dan pedagang selendang yang kini berusia 58. “Hanya tangan paling halus dan lembut yang bisa menenunnya.”
Sementara dunia sudah mengetahui reputasi pasmina Kashmir yang indah dan menguntungkan di India, hanya segelintir orang yang bisa menikmati kehangatan shahtoosh. “Pasmina tidak ada apa-apanya di hadapan shahtoosh,” ujar Beigh. Serat pasmina memiliki ketebalan sekitar 12 mikron, sedangkan setiap helai benang shahtoosh hanya setebal 10 mikron. Ketebalan rambut manusia kira-kira 70 mikron. “Takkan ada yang bisa menandingi shahtoosh.”
Shahtoosh, yang dalam bahasa Persia berarti “raja wol alami”, terbuat dari bulu spesies terancam punah yang dikategorikan sebagai Grade A atau diberi perlindungan tertinggi. Binatang itu adalah Antelop Tibet — lebih dikenal dengan nama lokal chiru — yang umumnya ditemukan pada habitat dengan suhu di bawah nol di daerah Changtang, Tibet.
Syal tersebut mungkin jarang diketahui sekarang karena produksinya telah dilarang sejak 1975. Larangan itu dipicu temuan mengkhawatirkan terkait pembantaian chiru dalam jumlah besar.
Namun, terlepas dari hukuman berat yang mengintai para pelanggar, petugas perbatasan dan pengawas satwa liar masih menyita ratusan item shahtoosh, termasuk syal, di seluruh dunia setiap tahunnya. Pakar mengatakan pasar gelap shahtoosh tetap berkembang pesat dan mengancam populasi chiru yang semakin berkurang.
Berbagai studi menemukan satu syal atau selendang shahtoosh membutuhkan setidaknya bulu empat ekor chiru. Binatang ini tidak dapat dijinakkan, sehingga harus dibunuh dan dikuliti untuk mendapatkan wolnya. National Geographic melaporkan pada 2019, permintaan global akan shahtoosh memusnahkan 90 persen populasi antelop Tibet, yang jumlahnya jutaan puluhan tahun lalu. Laporan tahun 2020 di surat kabar yang dikelola pemerintah Tiongkok menunjukkan angka itu sekarang mencapai sekitar 200.000 ekor. Namun, jumlah tersebut muncul setelah spesies terancam punah, dan dipuji-puji sebagai suatu keberhasilan dari upaya yang berdedikasi. Di gurun tetangga Trans-Himalaya di Ladakh, India, populasi chiru mencapai sekitar 300 ekor.
Beigh merupakan generasi keempat pengrajin shahtoosh di Kashmir, tapi terpaksa beralih profesi sebagai penenun pasmina sejak larang diberlakukan.
Shahtoosh dulu dianggap sebagai simbol kekayaan karena hanya kalangan kelas atas yang mampu membelinya. Satu potong syal bisa dihargai setinggi langit, melebihi $20.000 (setara Rp286 juta). Shahtoosh telah menghias bahu kaisar Mughal seperti Akbar dan Shah Jahan, serta dihadiahkan ke ratu dan raja di seluruh dunia.
Tapi kini, memiliki atau menjual produk shahtoosh dapat mengantarkanmu ke penjara dan memberikanmu hukuman denda sebesar $5.421 (Rp78 juta) di Swiss atau $100.000 (Rp1,4 miliar) di Amerika Serikat. Di India, dendanya hanya $66 (Rp945 ribu). “Shahtoosh pernah dan masih menjadi simbol kelas. Hanya aristokrat yang mampu membelinya,” terang Ananda Banerjee, ahli konservasi satwa liar yang mendalami perdagangan shahtoosh di India. “Bahkan sekarang pun, beberapa pasmina dianggap shahtoosh, atau tiruannya sering ditemukan di pasar jalanan. Shahtoosh asli tingkatannya beda, baik dalam hal wol maupun pengerjaannya.”
Begitu proses pembuatannya yang kejam diakui dunia, memamerkan shahtoosh bagaikan melakukan tindak kejahatan. Pada pertengahan 1990-an, New York Times melaporkan Hermès dan Yves Saint Laurent “diam-diam” menarik syal shahtoosh dari koleksinya.
Orang kaya dan berkuasa tak lepas dari pengawasan. Vanity Fair mengungkapkan ratusan “janda, ahli waris dan istri trofi” di AS menerima perintah dari pengadilan untuk menyerahkan produk shahtoosh milik mereka. Di belahan dunia lain, hasil penyelidikan menemukan perempuan kaya raya di Hong Kong melanggar undang-undang demi syal mahal mereka. Razia berlangsung secara dramatis di India pada 1999. Kala itu, kaum elit menghadiri acara lelang di sebuah hotel bintang lima. Shahtoosh menjadi salah satu barang yang dilelang. Polisi melakukan penggerebekan dan menangkap para juru lelang.
Pada 24 November, lima laki-laki Kashmir dihukum terkait kepemilikan shahtoosh. Mereka juga menjualnya di toko yang ada di hotel mewah di Ibu Kota New Delhi. Dari delapan syal yang disita, kemungkinan ada 32 ekor chiru yang mati untuk diambil bulunya.
Pelanggaran semacam ini bukan sekali dua kali terjadi. Sepanjang 2000-2014, Wildlife Protection Society of India (WPSI) menyita 738 syal, dua kurta (sejenis baju koko), dua selendang dan 461 kilogram wol shahtoosh. Razia yang terjadi di Nepal pada 2013 merampas 1.000 kilo shahtoosh, menjadikannya tangkapan terbesar di negara itu dan juga berarti sekitar 10.000 ekor chiru mati karenanya. Tumpukan wol akan dikirim ke India.
Penangkapan pedagang shahtoosh setiap tahunnya membuktikan kain berharga ini masih menjadi bagian dari perdagangan gelap, ilegal dan transnasional yang berkembang pesat.
Tito Joseph selaku manajer program WPSI, LSM yang menyediakan informasi intelijen seputar perdagangan ilegal shahtoosh kepada pemerintah, mengutarakan otoritas bea cukai India menyita sekitar 300 syal shahtoosh sepanjang Oktober 2018 – Juni 2019. Jumlahnya setara lebih dari seribu ekor chiru yang mati. “Ada jaringan mapan di balik perdagangan ilegal ini, yang mana produk tersebut dikirim dari India menuju negara-negara seperti Thailand, Swiss dan Dubai,” jelasnya. “Razia terus berlangsung bahkan setelah dilarang banyak negara.”
Dr Saket Badola, kepala jaringan pemantau perdagangan satwa liar global TRAFFIC untuk cabang India, menerangkan permintaan shahtoosh berasal dari pembeli elit di Asia Barat, Swiss, Hong Kong, Tiongkok, Inggris, Italia, AS dan Jepang — melalui jaringan pedagang dan penjual yang berpengalaman. “Ada indikasi kontak antara penjual dan pembeli kini beralih ke dunia maya, karena menyediakan platform yang jauh lebih aman dan luas untuk membangun koneksi,” tuturnya.
India tetap menjadi pusat tenun dan produksi shahtoosh. “Ada pembeli yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi syal ini. Ada juga yang siap meraup keuntungan besar dari situ,” ucap Jose Louies, yang meneliti perdagangan satwa liar untuk Wildlife Trust of India. Dia menambahkan penenun syal shahtoosh juga ditemukan di Kashmir. “Kontak kami [di sana] sudah memiliki bukti.”
Badola mengatakan meski belum terbukti, penyitaan shahtoosh yang tiada henti menjadi indikasi kuat bahwa infrastruktur tenun shahtoosh informal melanggengkan produksi gelapnya.
Seperti Beigh, sebagian besar penenun tradisional di Kashmir meninggalkan tradisi mereka akibat larangan tersebut. Presiden Kamar Dagang dan Industri Kashmir (KCCI) Sheikh Ashiq memperkirakan sekitar 20.000-25.000 pengrajin shahtoosh mulai membuat pasmina setelah larangan berlaku. “Di bidang apa pun pasti ada aktivitas ilegal. Mereka-mereka yang melakukan kegiatan ini merugikan semua orang, termasuk orang-orang yang mewarisi tradisi ini berabad-abad lamanya,” tutur Ashiq.
Joseph menyebut perdagangan ilegal shahtoosh memiliki tren baru, yang melibatkan produsen mencampur wol shahtoosh dengan pasmina dan jenis wol lainnya. “Pencampuran wol shahtoosh memungkinkan pedagang memanfaatkan celah hukum untuk meyakinkan pengadilan kalau barang mereka bukan shahtoosh,” terangnya. “Secara tidak resmi, mereka juga menekan pejabat satwa liar untuk membebaskan mereka.”
Jalur perdagangannya juga sudah berkembang. “Wol shahtoosh masih berasal dari Tibet, dan sebagian besar diubah menjadi produk di India,” lanjut Joseph. Namun, dia menambahkan wolnya kini dikirim melalui jalur lain, seperti Nepal atau Uttarakhand yang perbatasannya keropos. Sementara itu, menurut Louies, jalur keluar sekarang tersebar di beberapa bandara India, sehingga tak hanya melewati Delhi yang merupakan jalur keluar utama di masa lalu.
Bandara menjadi tempat utama penyitaan shahtoosh di India, imbuh Badola. “Kargo/kurir udara dengan cepat muncul sebagai moda penyelundupan pilihan,” ujarnya. “Mengklaim produk shahtoosh sebagai pasmina atau wol kasmir, atau menyembunyikannya dalam kiriman besar produk wol, telah menjadi praktik umum di kalangan penyelundup.”
Menurut Joseph, hal ini menjadi tantangan bagi penegak hukum, terutama mengingat keterbatasan tenaga untuk memeriksa kiriman satwa liar.
“Kami belum berhasil memutuskan rantai pasokan itu,” ucapnya. “Kami tak pernah melihat penenun atau pembawa wol ditangkap. Kami hanya menemukan penjual, yang posisinya di rantai pasokan tepat di atas pelanggan. Mungkin ada begitu banyak orang sebelum mereka, yang belum bisa kami bongkar karena keterbatasan sumber daya dan intelijen yang terkoordinasi dengan negara lain.”
Oktober lalu, pemerintah India mengumumkan akan laboratorium pemeriksa shahtoosh di bandara New Delhi dan Srinagar. Joseph menjelaskan, produk shahtoosh paling banyak terdeteksi di India, lalu disusul Swiss. Dalam investigasi National Geographic pada 2019, wartawan ditugaskan ke perbatasan Swiss-Italia dan menemukan lebih dari 800 produk shahtoosh sepanjang 2015-2018. Produk-produk itu milik pelancong dari Italia, Jerman, Inggris dan Timur Tengah. Hasil penyelidikan lebih lanjut mengungkap desain modern menunjukkan produknya baru ditenun dan bukan barang antik yang diwariskan.
Sayangnya, sulit untuk mengetahui seperti apa kondisi terkini chiru. Mayoritas populasi chiru hidup di Tiongkok, sehingga hanya bisa mengandalkan negara itu untuk melacak tren perburuan atau penyelundupannya. Namun, Louies menyatakan tidak ada kerja sama yang dilakukan antarnegara dalam upaya konservasi, terutama di pihak Tiongkok.
Wildlife Conservation Society (WCS), organisasi Tiongkok yang memantau perdagangan satwa ilegal, mengklaim telah mengambil langkah besar guna meningkatkan populasi chiru dan mengendalikan perburuan liar. VICE menghubungi WCS untuk mendapatkan data terbaru, tapi tidak menerima tanggapan hingga artikel ini diterbitkan.
Louies meragukan data milik Tiongkok, karena baginya “Tiongkok memiliki reputasi yang kurang baik dalam hal memberikan data akurat terkait perburuan atau perdagangan satwa liar.”
Upaya melestarikan spesies yang terancam punah berbenturan dengan penghidupan mantan penenun shahtoosh di Kashmir. Para pengrajin beranggapan mereka hanya mempertahankan seni tradisional.
Beberapa mantan penenun memberi tahu VICE, larangan shahtoosh telah menumpas tradisi yang dilestarikan selama berabad-abad dan mendorong para pengrajinnya ke jurang kemiskinan. Ashiq menerangkan syal shahtoosh merupakan barang mahar untuk pengantin perempuan. Setiap keluarga menyimpannya sebagai warisan. “Tidak pernah terbukti antelop Tibet dibunuh untuk membuat syal shahtoosh,” tukasnya. Organisasi Ashiq telah berupaya mengakhiri larangan penjualan shahtoosh.
Beigh mengaku tidak pernah membunuh hewan untuk memperoleh wol. “Binatang itu harus hidup untuk memproduksi kehangatan pada wolnya,” dia mengklaim, merujuk pada fakta syal shahtoosh mampu memberikan kehangatan. Para penenun berujar chiru mengembara dari Tibet ke Ladakh di India selama musim dingin. “Selama di sini, binatang itu bergesekan dengan pasir dan semak-semak. Dari situlah bulunya rontok,” lanjut Beigh. “Orang-orang kami mengumpulkan dan menyerahkannya ke kami.”
Musadiq Shah selaku senior vice-president Organisasi Pasmina Kashmir yang merupakan pengrajin shahtoosh generasi keempat turut “menyesal” jika benar chiru dibantai di Tiongkok.
“Tapi sebagai orang Kashmir, kami mengumpulkan wol secara etis,” kata lelaki 56 tahun kepada VICE. “Kami tidak membutuhkan kulitnya, cukup bulunya saja. Prosesnya alami. Shahtoosh adalah bagian besar dari tradisi pemintalan kami. Sudah dilakukan lebih dari 700 tahun, dan tak ada yang bisa melakukannya selain kami.”
Menurut Ashiq, sebagian besar pekerja di industri ini adalah perempuan, yang tangan lembutnya sangat cocok untuk menenun syal shahtoosh. “Banyak sekali perempuan yang diberdayakan. Larangan ini sangat merugikan mereka,” ujarnya.
Riyaz Ahmed melakukan sensus pekerja shahtoosh di Jammu dan Kashmir untuk Wildlife Trust of India. Berdasarkan keterangannya, mereka hanya memperoleh wol dan tidak melacak langsung hewannya. “Shahtoosh bahkan bukan barang dagang utama sebelum 1970-an. Tapi semuanya berubah setelah diakui secara internasional,” jelasnya. “Harga Shahtoosh meroket sehingga mereka menghasilkan banyak uang dari situ.”
Para penenun yang diwawancarai olehnya mengaku wol yang mereka terima dari Tibet dulunya bersih. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka mulai melihat bercak darah menempel di bulu. Meski shahtoosh kini menjadi incaran pasar gelap, para penenun tetap berada dalam kesulitan. “Dalam perdagangan ilegal, ada tren pedagang menjual shahtoosh ke orang-orang yang kenal dekat dengan mereka,” imbuhnya.
Akan tetapi, sebagian besar pakar satwa liar menentang gagasan melegalkan perdagangan shahtoosh demi melindungi mata pencaharian para pengrajin.
Badola menegaskan kebanyakan klaim seputar pengadaan shahtoosh yang berlangsung etis tidak sejalan dengan fakta seekor hewan hampir mustahil menghasilkan 125-130 gram wol. Ditambah lagi, butuh setidaknya empat ekor chiru untuk memproduksi sehelai syal. Selain itu, tidak terdapat dedaunan di habitat chiru, sehingga argumen hewan itu bergesekan dengan semak-semak tidak masuk akal. “Penelitian ilmiah dengan jelas menunjukkan satu-satunya memperoleh wol dalam jumlah besar adalah dengan membunuh hewannya,” tandasnya.
Namun, kurangnya data tepat waktu dan wawasan pemantauan berarti hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk melacak perdagangan gelap. “Kami perlu melihat ke pasar dan hotspot. Kami sudah dapat informasi, tapi penting untuk memantau skalanya saat ini,” Ahmed menambahkan.
Dalam wawancara email, sekretariat Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah (CITES) — perjanjian internasional yang melarang penjualan shahtoosh — mengatakan akan menerbitkan dokumen tentang populasi chiru di pertemuan komite tetap yang ke-74. Acara itu dijadwalkan berlangsung antara 7 dan 11 Maret 2022. “Dokumen ini akan mencakup tren perdagangan ilegal terbaru pada spesimen antelop Tibet,” tuturnya tanpa merinci temuan. Laporan terakhir CITES tentang perdagangan shahtoosh diterbitkan pada 2019.
Follow Pallavi Pundir di Twitter.