Pada Maret 2021, Katadata Insight Center (KIC) merilis hasil survei online mengenai kesediaan divaksinasi. Survei tersebut diikuti oleh 5.963 responden dengan rentang usia 19-38 di 34 provinsi. Laporan itu mengungkapkan semakin muda usianya, semakin besar keraguan mereka terhadap vaksin. Dari 29,6 persen kaum Gen Z yang terlibat dalam survei, separuhnya menolak untuk disuntik vaksin.
Kemudian pada akhir Juni, Lembaga Survei Indonesia menemukan sekitar 80 persen responden belum menerima vaksin. Walaupun 61,4 persen mengaku bersedia divaksin, 36,4 persen sisanya enggan mengikuti program vaksinasi karena takut dengan efek samping. Melihat data ini, kita bisa menyimpulkan perjalanan menuju kekebalan kelompok (herd immunity) masih sangat panjang.
Keraguan anak muda terhadap vaksin bukan tanpa alasan. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh London School of Economics pada 2020, kaum Gen Z “cenderung kurang percaya pada pemilu dan pemerintah” sejak pandemi Covid-19. Selain pemerintah yang dinilai tak transparan dalam menangani pandemi, generasi muda kesulitan menemukan informasi akurat tentang keamanan vaksin. Hoaks yang semakin liar penyebarannya meningkatkan ketakutan masyarakat terhadap vaksin.
“Setiap orang berhak memilih [mau vaksin atau tidak], tapi pada akhirnya kebanyakan orang memutuskan untuk divaksin,” Dr. Parth Patel memberi tahu majalah i-D. “Secara umum, argumen untuk mendapatkan [vaksin] lebih besar daripada argumen yang menentangnya.”
Dr. Patel menghabiskan paruh pertama 2020 sebagai dokter junior IGD, tapi kemudian pindah ke UCL untuk mempelajari pandemi di Inggris, Virus Watch. Penelitiannya berkutat pada kesenjangan sosial dan faktor ekonomi yang memengaruhi masyarakat selama pandemi. Dia juga bekerja untuk think tank IPPR, yang mengedepankan penelitian dan edukasi publik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kami menghubungi Dr. Patel untuk mematahkan beberapa klaim yang salah tentang vaksin. Dia juga menganjurkan publik untuk rajin mencari informasi yang tepat di media digital tepercaya (seperti BBC News).
“Saya masih muda dan sehat. Gejalanya tidak buruk kalau kena COVID-19”
Memang benar kemungkinan anak muda sakit parah akibat Covid-19 cukup rendah. Akan tetapi, terinfeksi virus corona tak sebatas masuk rumah sakit atau meninggal. Masih ada risiko mengembangkan gejala pasca COVID yang belum kita ketahui. Kita takkan pernah tahu apa dampaknya [bagi kesehatan], seberapa umum atau parah kondisi tersebut. Kalian perlu mempertimbangkan ini jika masih ragu mau vaksin atau tidak.
Selain untuk diri sendiri, vaksin juga melindungi orang di sekitar kalian. Vaksin adalah cara terbaik mengakhiri pandemi.
“Efek samping vaksin mengancam jiwa”
Bisa dimaklumi kenapa ada yang berpikiran seperti itu. Jenis pengobatan ini masih baru, dan banyak informasi yang seliweran tentang keamanan vaksin. Alhasil, sulit menentukan mana yang akurat dan tidak. Padahal, bukti ilmiahnya sudah jelas — ada ratusan percobaan di seluruh dunia yang menunjukkan vaksin sangat aman dan tidak berakibat fatal.
Memang ada efek sampingnya, tapi paling hanya tangan pegal, sakit kepala dan mudah lelah. Vaksin hampir tidak mungkin membahayakan kesehatan. Peluangnya secara signifikan lebih rendah dengan vaksin dibandingkan dengan terkena Covid.
“Vaksin bisa menyebabkan kemandulan”
Karena masih baru, sangat sulit bagi kita untuk menemukan informasi akurat tentang vaksin. Mengingat kecemasan yang tinggi di masyarakat, kita jadi tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan salah. Tak ada satu pun bukti vaksin memengaruhi kesuburan. Selain tidak ada bukti empiris, secara teori tidak ada alasan itu bisa terjadi. Tak ada dasar biologis yang menunjukkan hubungan vaksin dengan kesuburan.
“Produksi vaksin terlalu cepat. Bagaimana kalau tidak aman?”
Betul sekali produksi vaksin berlangsung sangat cepat; itu keajaiban sains. Daripada mengkhawatirkan hal semacam ini, lebih baik kita berpikir positif apa pun bisa terjadi jika kita serius melakukannya dan memiliki misi yang kuat, serta mengerahkan seluruh sumber daya dan perhatian. Kita bisa menyelesaikan tantangan paling sulit dengan bantuan sains dan teknologi.