Berita  

Memalsukan Ijazah Tidak Sesulit yang Kalian Pikirkan, Aku Membuktikannya Sendiri

memalsukan-ijazah-tidak-sesulit-yang-kalian-pikirkan,-aku-membuktikannya-sendiri

Beberapa dari kalian mungkin pernah memalsukan tanda tangan orang lain demi tugas sekolah—misal memalsukan tanda tangan ustaz saat ada tugas merangkum isi ceramah salat tarawih. Daripada ribet mencari orang yang dibutuhkan tanda tangannya, lebih baik kalian memalsukannya supaya tugas cepat selesai.

Chris* pun seperti itu. Sewaktu sekolah dulu, dia memalsukan tanda tangan ibunya agar tidak kena marah. Chris rupanya cukup jago melakukan hal tersebut, sehingga terpikir mencari keuntungan dari bakat culasnya. Sejak itu, dia membantu siswa sekolah dan anak muda lolos dari banyak hal dengan dokumen palsu mereka. Dari sertifikat sampai gelar, Chris telah memalsukan semuanya.


Meski kini Chris memiliki pekerjaan bagus, dia kadang-kadang masih menerima tawaran untuk memalsukan dokumen. Namun, risiko yang dihadapi sangat tinggi. Di Prancis, negara tempat dia bermukim, Chris berisiko dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda €45.000 (Rp782 juta) jika aksinya tertangkap basah.

VICE dan Chris membahas lika-lika profesi pemalsu dokumen, lewat cuplikan wawancara yang bisa kalian baca berikut:

VICE: Sejak kapan kamu mulai memalsukan dokumen?
Chris:
Sejak aku masih 13 tahun. Aku sering bolos sekolah dan tidak mau ketahuan, makanya sering pakai Photoshop untuk memalsukan [tanda tangan ibu]. Aku dulu penyelundup narkoba dan kenal banyak orang di Île-de-France [pinggiran kota Paris]. Ketika orang mendengar tentang bakatku, semakin banyak yang menggunakan jasa ini.

Dokumen apa saja yang kamu palsukan? Apa triknya supaya tidak ketahuan?
Aku cuma menerima tawaran orang-orang yang sudah kenal, seperti kenalan dari penyelundupan narkoba, teman, atau temannya mereka. Aku akan merahasiakan nama. Jika ada yang ketahuan memalsukan dokumen, mereka beralasan membelinya dari orang tak dikenal. Semua percakapan kami terjamin keamanannya, dan aku akan menghapusnya setelah pekerjaan selesai. Polisi takkan menemukan bukti kalau sampai tertangkap. Aku sih biasanya memalsukan berkas sepele untuk menghindari masalah.

Bukankah ijazah gelar sarjana termasuk dokumen penting?
Tidak juga. Itu lebih seperti SKCK, kontrak kerja atau kontrak sewa-menyewa. Dokumen semacam itu seringkali tidak diawasi aparat dengan ketat, berbeda dari sertifikat tanah misalnya, dan memiliki implikasi hukum yang juga sama sekali berbeda.

Dari mana biasanya orang mengetahui dan menggunakan jasamu?
Sebagian besar menghubungiku lewat aplikasi pesan pribadi, tapi terkadang aku yang menawarkan jasa. Contohnya seperti dengan kenalan yang tak kunjung mendapat pekerjaan setelah menyelesaikan pelatihan marketing. Aku merasa kasihan dan tahu dia sebenarnya punya duit, jadi aku memalsukan gelar Master manajemen untuknya. Aku menyuruhnya memasukkan namaku di referensi CV kalau-kalau perusahaan ingin bertanya tentang pengalaman magangnya. Sekarang dia menjabat posisi manajer proyek di perusahaan energi ternama Eropa.

Apa permintaan paling aneh yang pernah kamu terima?
Aku pernah bikin ijazah SMP palsu. Kedengarannya sepele, tapi klienku adalah orang Sudan yang pindah ke Prancis. Dia harus mengikuti tes bahasa Prancis B1 untuk memperoleh kewarganegaraan Sudan. Kalian tidak perlu melakukannya jika punya bukti ijazah SMP [Prancis].

Berapa tarif hargamu dibandingkan dengan penipu di dark web?
Kalian tidak bisa membuat perbandingan. Tarifnya tidak tetap karena tergantung tingkat kesulitannya. Ijazah SMP dihargai €200 (Rp3,4 juta), sedangkan gelar Master €1.700 (Rp29,5 juta). Gelar sarjana cukup rumit — kalian harus mencari stempel kampus, tanda tangan Direktur Pendidikan, nomor matrikulasi unik, dan rumus hukum. Aku pernah hampir melakukan kesalahan satu kali. Aku tidak sadar rektor sebuah universitas sudah diganti. Jadilah aku harus membuat ulang dokumennya dan mencari template baru dengan tanda tangan yang benar.

Jadi kamu tidak membuatnya dari awal?
Tentu tidak. Aku meminta bantuan kenalan yang bersekolah di sana. Aku meminta mereka memindai ijazahnya dengan alasan proyek fotografi atau riset. Aku akan mencari di internet jika tidak berhasil mendapatkannya dari kenalan. Banyak orang di luar sana yang mengunggah gelarnya untuk membuktikan keahlian mereka. Orang biasanya tidak curiga sama sekali saat minta pindaian ijazahnya. Mereka malah senang bisa memamerkan gelarnya di universitas ternama.

Dari ceritamu, pemalsuan dokumen terdengar mudah dilakukan. Bagaimana perekrut dapat memastikan kualifikasinya asli?
Inilah yang bikin jengkel. Sering kali mereka tidak memeriksa keasliannya. Beberapa bahkan tidak meminta salinan ijazah sama sekali. Mereka sudah puas dengan CV-nya. Aku paham alasannya, sih. Mustahil bagi mereka untuk mengecek seluruh dokumen pelamar. Mereka mungkin tidak terpikir orang akan berbohong.

Kalian mungkin akan menghadapi masalah jika perekrut menyadari isi CV kalian palsu, tapi polisi tidak punya waktu atau sumber daya untuk melacak setiap kasus penipuan — mereka lebih berfokus pada jaringan besar yang terorganisir. Aku bukan pemain besar, jadi aku cukup aman. Sekarang aku juga sudah jarang memalsukan dokumen karena sekarang statusku pekerja lepas di sebuah perusahaan swasta. Pekerjaan ini bagus dan aku tidak mau mempertaruhkan segalanya.

Selama ini, saya menganggap pemalsu dokumen lebih mirip pengrajin daripada desainer grafis.
Memang seperti itu 20 tahun lalu, tapi kita sekarang tak lagi memerlukan versi asli. Semuanya telah difotokopi. Kalian hanya membutuhkan keterampilan mengedit foto.

Menurutmu, ada berapa banyak pemalsu kecil-kecilan sepertimu di luar sana?
Entah ya. Dalam pengedaran narkoba, setiap orang punya perannya sendiri tergantung keahlian mereka. Pasti ada saja yang bertugas memalsukan dokumen di dalamnya. Yang tidak disadari orang-orang adalah kalian tidak perlu menjadi profesional [untuk memalsukan dokumen]. Kalian hanya perlu tahu cara mengoperasikan Photoshop atau InDesign. Selalu ada yang seperti itu di antara kita.

*Nama narasumber telah diubah karena ada implikasi hukum dari wawancara ini

Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.