Dalam video TikTok yang saya temukan tempo hari, seorang perempuan muda tampak melamun di atas kasur. Ekspresi wajahnya lesu, dan ada tulisan “officially rotting in my room season” (“sudah tiba saatnya mendekam di kamar”) terpampang di video.
Saya paham dia sebenarnya sedih dan murung karena suasana yang sendu di kala musim hujan — udara dingin dapat mendatangkan gejala depresi pada sejumlah orang. Namun, jika kita memperhatikan postingan media sosial sepanjang tahun ini, banyak anak muda mengeluh mereka telah “membusuk” di kamar. Yang menjadi pertanyaan, apa maksud “membusuk” di sini, dan bagaimana istilah itu menggambarkan kejiwaan kita?
Pada dasarnya, “rotting in my room/bed” tidak jauh berbeda dari “goblin mode”, bahasa gaul di internet untuk perilaku malas-malasan dan memanjakan diri. Dengan kata lain, anak muda sudah capek mengikuti gaya hidup tidak realistis yang melelahkan baik secara fisik maupun mental. Meski kata “membusuk” umumnya sekadar candaan belaka, istilah ini mulai beredar tepat ketika BeReal mencuri perhatian anak muda. Di aplikasi saingan Instagram, kebanyakan postingannya menyingkap rutinitas anak muda di balik layar. Faktanya, tak sedikit orang lebih suka mengurung diri di kamar sejak pandemi. “Rotting in my room/bed” pun menjadi ungkapan baru dalam perbincangan seputar isu kesehatan mental, seperti kesepian, depresi dan keinginan bunuh diri.
Jamie Cohen, lektor program studi media di CUNY Queens College, New York, menjelaskan, semakin ke sini orang semakin berani menyuarakan ketidaksenangan atas hal-hal yang mereka hadapi, seperti masalah kejiwaan yang menghantui generasi muda, pengalaman menggunakan medsos yang menyebalkan, hingga biaya hidup yang kian menggila.
“Meme ‘membusuk’ hanyalah bentuk ekspresi kesengsaraan mental yang disampaikan secara sinis, ironis dan apa adanya,” terang Jamie. “Meme adalah surplus budaya. Jadi ketika sudah tidak ada cara konvensional untuk mengekspresikan diri, kita akan menciptakan media reduktif di internet.”
Menurutnya, sikap Gen Z yang lebih terbuka soal kesehatan mental menjadi alasan maraknya postingan dan meme “membusuk”. Meski terdengar kasar, generasi sekarang tidak mempermasalahkan penggunaan istilah itu.
Hampir semua orang terjebak di dalam rumah selama lockdown dan pembatasan sosial yang tiada henti. Kurangnya aktivitas mendorong anak muda lari ke dunia maya untuk mencari hiburan, yang kemudian memicu siklus “busuk” seperti doomscrolling (terobsesi membaca dan mengikuti berita buruk) dan perundungan online. Penggunaan medsos berlebihan juga berdampak buruk bagi kesehatan mental anak-anak dan remaja. Realitas ini sungguh ironis.
Di satu sisi, jejaring sosial merupakan pendorong utama anak muda tak lagi takut mengekspresikan diri. Tapi di sisi lain, sumber masalah yang mereka bicarakan bersarang di platform-platform yang mereka gunakan untuk itu. “Saya rasa obrolan tentang membusuk adalah cara kita menyadari kita tidak sendirian, bahwa ada banyak orang di luar sana yang mengalami hal serupa,” tutur Jamie. “Obrolan ini mungkin akan terdengar tabu jika kita membicarakannya satu dekade lalu, ketika kita merasa FOMO (takut ketinggalan orang lain) kalau tidak memposting keseruan dalam hidup. Tapi sekarang sudah berbeda. Kita sering main medsos untuk melegakan pikiran.”
Di era informasi massal dan stimulasi sosial yang berlebihan, memilih untuk bermalas-malasan, atau “membusuk” di kamar, adalah reaksi terhadap kegilaan dunia. Karena alasan inilah tren hidup santai banyak diminati anak muda di Tiongkok, yang selama ini terkenal menjalani gaya hidup penuh persaingan.
Psikolog klinis Joshua Klapow mengutarakan, kita sudah muak dengan informasi panjang dan mudah terdistraksi di tengah serbuan informasi yang menyerang dari segala arah. “Banyak di antara kita yang sulit menghentikan kebiasaan nge-scroll medsos. Akan tetapi, kebiasaan ini bisa muncul karena otak kita ditarik oleh informasi yang terus berdatangan (tak peduli beritanya bagus, jelek, relevan atau tidak relevan dengan kehidupan kita),” lanjutnya.
Jennifer Reid, psikiater dan penyiar podcast The Reflective Doc di Philadelphia, berujar, seiring meningkatnya jumlah individu yang mengalami gangguan kecemasan, gejala depresi dan insomnia, bertambah banyak pula kisah-kisah sulitnya menavigasi kehidupan modern di internet. “Meme dan candaan online yang mampu menyatukan individu saat membahas tantangan kondisi manusia, dapat menjadi sumber kekuatan untuk meringankan [beban mental] dan meningkatkan kesadaran, serta menjadi pembawa perubahan,” jelasnya. Jennifer memandang lelucon dan gurauan sebagai senjata penting melawan sikap apatis dan keputusasaan. Tapi menurutnya, pada saat yang sama, kita perlu berupaya mematahkan stigma penyakit mental, memberantas informasi keliru tentang masalah kejiwaan, dan meningkatkan akses perawatan berkualitas tinggi yang terjangkau untuk semua orang.
Jennifer mengumpamakan kebiasaan mengecek medsos sepanjang waktu seperti “junk food” untuk otak. “Ibarat kita sedang makan, junk food menghilangkan lapar untuk sementara. Maka dari itu, penting bagi kita mengonsumsi makanan bergizi saat lapar,” tuturnya. Dalam menjalani hidup, aktivitas yang melibatkan interaksi dan hubungan sehat di dunia nyata adalah “makanan bergizi” untuk otak. Oleh karena itu, saat kita mengeluh telah membusuk di rumah, itu sama saja seperti mengatakan otak kita telah membusuk.
Joshua berharap orang-orang akan lebih memperhatikan kesehatan mental mereka di tahun baru. Walau tentunya ini sulit terwujud, mengingat kita kini dihantui ancaman resesi, perubahan iklim, dan hancurnya tatanan sosial. Dengan demikian, persoalannya tak lagi tentang “membebaskan diri” dari kebusukan, melainkan tentang upaya kolektif menghilangkan sumber kebusukan itu — para miliarder dan orang-orang berkuasa yang menjerumuskan kita ke jurang kebusukan. Selama kita belum berhasil melakukannya, keluhan demi keluhan akan terus bermunculan di aplikasi yang menimbulkan segala masalah busuk itu.