Berita  

Masih Menjamur di Asia, Sudah Waktunya Tren Makeup Rasis Dihentikan

masih-menjamur-di-asia,-sudah-waktunya-tren-makeup-rasis-dihentikan

Mahasiswi hukum Francesca Famatiga menghabiskan akhir pekan bersama keluarganya bersantai di depan layar kaca. Ajang menyanyi Your Face Sounds Familiar Kids merupakan salah satu acara kesukaan mereka. Tayang di Filipina, acara ini menampilkan kontestan yang menirukan penyanyi terkenal. Selain bernyanyi semirip mungkin, mereka juga berdandan layaknya sang musisi. Suatu hari pada 2018, Famatiga menyaksikan penampilan yang sangat mengganggu pikirannya.

Tiga anak laki-laki membawakan lagu “One Sweet Day” dengan dandanan seperti Mariah Carey dan anggota Boyz II Men. Seorang anak mengenakan wig pirang panjang dan gaun pesta, sedangkan dua lainnya memakai jas putih dan jenggot palsu. Kedua anak menggelapkan warna kulit supaya mirip anggota Boyz II Men. Juri bertepuk tangan dan tertawa geli sepanjang pertunjukan.


“Wow,” ayah Famatiga berseru. “Mereka benar-benar mirip Boyz II Men!”

Hanya Famatiga yang terkejut melihat “blackface” atau riasan wajah hitam ditampilkan dengan entengnya di stasiun TV nasional. “Gak benar, nih,” batinnya sambil memperhatikan reaksi ayah ibu. Dari situlah dia terinspirasi menulis skripsi tentang acara bakat tersebut untuk meraih gelar S1 komunikasi.

“Mereka terhibur. Sama sekali tidak berpikir ada yang salah [dengan penampilan itu],” Famatiga memberi tahu VICE. “Di sisi lain, saya benar-benar terkejut. Saya bingung kenapa mereka tidak menganggapnya aneh.”

Namun, reaksi keluarganya mencerminkan sikap kebanyakan orang Filipina. Video yang diunggah ke YouTube telah ditonton lebih dari tujuh juta kali dan mengumpulkan ribuan komentar, sebagian besar menyukai penampilan mereka bertiga. Komentar yang mengkritik dan mempermasalahkan blackface dihapus.

“Mereka cuma berdandan seperti penyanyi aslinya. Tak perlu minta maaf,” seorang pengguna YouTube berkomentar. Yang lain mengklaim memaksakan pandangan kritis terhadap orang Filipina termasuk “kolonialisme budaya”. Katanya, merekalah yang seharusnya menerima permintaan maaf karena telah dipaksa mengikuti pandangan kritis itu.

Pihak acara tidak menanggapi permintaan VICE untuk berkomentar.

Tak seperti Barat yang telah mengecam blackface, bangsa Asia masih sering menggunakan riasan wajah tersebut. Banyak acara TV, drama, iklan dan konten media sosial yang menampilkan orang didandani hingga hitam legam.

Dari hasil risetnya, Famatiga menemukan masyarakat Filipina memiliki opini dan tingkat kesadaran yang berbeda-beda terkait hal itu.

“Banyak responden yang menganggap blackface bagian penting dari acara tersebut. Itulah yang menonjol dari penampilan panggung mereka selain menyanyi dan menari,” ungkapnya. “Mereka berpikir riasan tersebut melengkapi tiruannya. Jika kontestan menirukan orang kulit Hitam, maka riasan wajah hitam sangatlah penting. Begitu juga jika yang ditiru orang kulit putih. Mereka akan menggunakan riasan bernuansa putih.”

Famatiga melihat adanya perbedaan generasi. Anak muda Filipina menganggap blackface problematis, sedangkan generasi tua tidak pernah mempermasalahkannya. Kurangnya edukasi juga menjadi faktor.

“Kebanyakan orang Filipina belum memahami permasalahan blackface. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, karena saya pikir negara kita masih miskin dan mereka lebih mementingkan kebutuhan dasar. Kita belum belajar tentang sejarah orang kulit Hitam, dan kita perlu melakukan sesuatu untuk itu,” Famatiga berujar.

Museum Nasional Sejarah dan Budaya Afrika-Amerika mengungkapkan, blackface pertama kali dipopulerkan dalam pertunjukan Minstrel Amerika pada abad ke-19. Komedian kulit putih sengaja menggelapkan kulit mereka untuk meniru budak kulit Hitam dan memperkuat stereotip terhadap ras tersebut.

Sosiolog dan dosen Universitas Filipina Ash Presto berharap, masyarakat Filipina segera menyadari blackface tidak sepatutnya dibiarkan karena melanggengkan supremasi kulit putih.

“Banyak orang Filipina melihat wajah hitam hanya sebagai kostum,” kata Presto. “Sayangnya, mereka tidak menyadari karakterisasi ini berawal dari diskriminasi terhadap orang kulit Hitam dan menggambarkan orang hanya berdasarkan warna kulit mereka.”

“Banyak pula yang belum memahami penindasan ini berasal dari supremasi kulit putih yang juga menimpa mereka, seperti yang ditunjukkan dalam kejahatan rasial berkelanjutan terhadap orang Asia di AS,” imbuhnya.

Ketidaktahuan ini juga terjadi di negara-negara Asia lain.

Video yang viral di Thailand tahun lalu mempertontonkan tentara berwajah hitam menari menyerupai pemanggul peti mati Ghana. Para penonton di sekitarnya bersorak-sorai, terpesona oleh gerakan tarian mereka. Akan tetapi, video tersebut memperoleh reaksi tajam di media sosial. Pengamat politik Thailand James Buchanan mengatakan, pengguna Twitter di Thailand “menganggap videonya memalukan”. Menurut Buchanan, tak banyak media lokal yang memberitakan masalah tersebut.

Pada Februari, Tiongkok dikecam dunia ketika para penampil Gala Festival Musim Semi 2021 menggunakan riasan wajah hitam di atas panggung. Disiarkan oleh lembaga penyiaran pemerintah CCTV, program spesial Tahun Baru Imlek ini kabarnya ditonton lebih dari 1,2 miliar orang di seluruh dunia. Penampil menggelapkan warna kulit dalam segmen “Nyanyian dan Tarian Afrika”.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok bersikeras tujuannya untuk menghormati budaya asing, sehingga tidak perlu dilihat sebagai masalah diplomatis.

“Jika ada yang ingin memanfaatkan program Gala Festival Musim Semi CCTV untuk membuat keributan atau menabur benih-benih perselisihan dalam hubungan Tiongkok dan negara-negara Afrika, mereka jelas memiliki motif tersembunyi,” begitulah pernyataan menteri kepada Reuters.

Keisha Brown, profesor dan peneliti sejarah Cina modern di Tennessee State University, menjelaskan ini bukan pertama kalinya Tiongkok menuai kontroversi karena melakukan “cultural appropriation” atau perampasan budaya. Gala Festival Musim Semi juga sudah beberapa kali dikritik akibat mempromosikan blackface.

“Kenapa mereka masih mewajarkan itu […] setelah perlakuan negara terhadap orang kulit Hitam, khususnya di Guangzhou, terkuak pada 2020?” tandas Brown.

Tahun lalu, imigran asal Afrika dilaporkan tidur di jalanan kota Guangzhou karena dituduh positif COVID-19 oleh penyewa rumah.

Brown berpendapat, pemerintah Tiongkok seharusnya belajar dari kesalahan mereka. “Sekarang kita punya banyak informasi, akses [dan] secara aktif terlibat di negara-negara… yang mayoritas populasinya berfokus pada diaspora kulit Hitam.”

Permasalahannya adalah menentang blackface terkadang bisa menyebabkan masalah yang lebih besar.

Sam Okyere adalah bintang TV kelahiran Ghana yang tinggal di Korea Selatan. Dia harus meminta maaf karena keluhannya terkait blackface telah menyinggung perasaan orang Korea. Pada saat itu, dia mengkritik foto sekelompok siswa yang meniru pemanggul peti Ghana di Korsel. Mereka berpose di depan peti kardus dengan pakaian serba hitam dan riasan wajah gelap.

“Saya sedih hal semacam ini masih ada di tahun 2020. Ini tidak lucu sama sekali! Dari sudut pandang orang kulit Hitam, ini sangat menghina. Saya mohon jangan lakukan ini lagi! Saya paham kalian ingin meniru budaya lain, tapi kenapa harus menggelapkan wajah?” keluh Okyere dalam postingan yang telah dihapus. “Hal ini harus dihentikan di Korea!!! Ketidaktahuan ini tidak boleh berlanjut!!!!!”

Okyere sontak diserang netizen yang membela siswa sekolah tersebut. Hujatan demi hujatan terus membanjiri akun medsos lelaki itu, sehingga dia meminta maaf untuk meredam amarah.

“Saya tidak punya niat mempermalukan para siswa. Saya sudah kelewatan mengutarakan pendapat, dan ingin meminta maaf karena telah mengunggah foto tanpa persetujuan mereka,” bunyi postingan Instagram Okyere. “Saya telah menerima banyak dukungan di Korea Selatan, dan saya yakin telah bertindak tidak bijaksana. Sekali lagi saya memohon maaf. Saya akan belajar untuk menjadi lebih bijaksana lagi.”

Gil-Soo Han, sosiolog dan guru besar studi media di Universitas Monash, menyebut kontroversi ini menyoroti ketidaktahuan beberapa warga Korsel tentang isu ras, yang sebagian dilanggengkan oleh masyarakat homogen dan nasionalisme yang kuat.

“Iklim sosial seperti itulah yang membuat banyak orang menganggap sepele [blackface]. Ketidaktahuan berperan di sini,” terangnya. “[Beberapa orang Korea berpikir] apa salahnya? Kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan.”

Survei yang dilaksanakan pada 2019 menunjukkan, tujuh dari 10 warga asing di Korea Selatan meyakini adanya rasisme di negara tersebut. Responden mengaku didiskriminasi karena tidak fasih berbahasa Korea dan bukan orang asli sana.

Penggambaran ras yang bermasalah juga menodai K-pop, yang kerap melakukan apropriasi budaya, tiruan rasis dan blackface. Pada 2017, girlband MAMAMOO dikritik habis-habisan setelah memakai riasan wajah hitam ketika mengcover “Uptown Funk” Bruno Mars.

“Kesuksesan K-pop dan K-drama membuat kesalahannya menonjol,” tutur Han. “Tak ada yang bisa lepas dari pengamatan netizen.”

Mau tak mau, industri hiburan Korsel harus beradaptasi dengan penggemarnya yang tersebar di seluruh dunia.

“Perilaku buruk dan diskriminatif semacam itu adalah bagian dari media, dan saya yakin kejadiannya lebih sering di masa lalu. Saat ini, K-pop dan K-drama memiliki banyak penonton global. Saya rasa, secara umum, mereka telah banyak belajar dari kesalahan dan cepat belajar,” lanjutnya.

Tantangannya sekarang adalah mendidik orang Korea agar terbiasa dengan budaya yang telah berubah.

“Dampak media sangat kuat, dan orang Korea belajar dengan cepat,” kata Han. “Orang Korea mungkin kurang memahami blackface, tapi mereka cepat belajar bahwa blackface tidak dapat dibenarkan.”

Walaupun dapat melestarikan stereotip negatif, budaya pop juga bisa mendorong nilai-nilai yang lebih inklusif. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengedukasi orang Filipina bahwa blackface sama sekali tidak oke, tapi Famatiga optimis penggambaran orang kulit berwarna yang lebih bertanggung jawab dan peka budaya di media akan sangat membantu.

“Kita tidak boleh berhenti belajar. Walaupun tidak ada kaitannya dengan orang Filipina, kita juga harus terlibat di dalamnya. Mereka juga manusia. Kita pasti tidak mau diperlakukan secara tidak manusiawi,” ujar Famatiga menutup pembicaraan.