Baru-baru ini publik dibuat heran dengan putusan Mahkamah Agung (MA), salah satu lembaga pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi di Indonesia, yang memangkas masa hukuman penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Edhy Prabowo, terpidana kasus korupsi berupa penerimaan suap terkait ekspor benih benur lobster yang menyebabkan kerugian negara hingga mencapai ratusan miliar rupiah.
Edhy mendapatkan diskon hukuman penjara dari yang awalnya sembilan tahun, yang diputuskan di tingkat banding, menjadi lima tahun penjara, yang ditetapkan oleh MA di tingkat kasasi. Edhy bukan satu-satunya koruptor di Indonesia yang menikmati diskon hukuman penjara.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2020, setidaknya ada 14 terpidana korupsi yang mendapatkan pemotongan hukuman oleh MA pada tingkat peninjauan kembali. Salah satunya adalah Anas Urbaningrum, Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terpidana kasus korupsi proyek Hambalang yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah. Anas mendapatkan potongan hukuman dari 14 tahun penjara, yang ditetapkan pada tingkat kasasi, menjadi delapan tahun penjara pada tingkat peninjauan kembali oleh MA.
Pemangkasan hukuman penjara terhadap koruptor yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan menyebabkan kerugian negara membuat publik mempertanyakan kembali komitmen lembaga peradilan dalam pemberantasan korupsi.
Penilaian subyektif hakim yang bermasalah
Dalam keterangan yang disampaikan pada konferensi pers, MA menyebutkan bahwa pengurangan masa hukuman penjara Edhy dilandasi oleh pertimbangan majelis kasasi yang menilai bahwa Edhy ketika menjabat sebagai Menteri KP telah bekerja dengan baik dan memenuhi harapan masyarakat, khususnya para nelayan.
Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa majelis kasasi tidak menggunakan penilaian yang obyektif. Pada dasarnya, menurut Asep Iwan Kurniawan, Pengamat Hukum Universitas Katolik Parahyangan, majelis kasasi tidak memiliki kewenangan untuk menilai kinerja seorang menteri. Jika pun ingin memasukkan penilaian terkait jabatan, seharusnya majelis kasasi menilai secara obyektif sesuai kewenangannya, yaitu menilai bahwa terpidana melakukan perbuatan pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara.
Merujuk pada Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), apabila seorang pejabat melakukan perbuatan pidana dengan kekuasaannya atau karena jabatannya, maka hukumannya dapat diperberat.
Selain itu, seorang Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Pontang Moerad, juga telah memperingatkan dalam bukunya yang berjudul Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, bahwa putusan yang didominasi oleh penilaian subyektif akan melahirkan putusan yang sewenang-wenang.
Transparansi setengah hati
Tidak semua putusan yang dihasilkan oleh badan peradilan dapat diakses melalui laman direktori putusan. Banyak sekali putusan yang tidak di-upload ke direktori tersebut, termasuk putusan kasasi Edhy.
Padahal sudah ada Keputusan Ketua MA Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi sebagai landasan untuk mempublikasi putusan badan peradilan untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk memperoleh informasi publik, sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
Persoalan transparansi tidak hanya mengenai publikasi putusan saja, melainkan juga mengenai mekanisme pengawasan terhadap hakim yang diduga melakukan penyimpangan perilaku.
Secara normatif, pedoman pengawasan atas dugaan penyimpangan perilaku hakim sudah diatur cukup komprehensif dalam Keputusan Ketua MA Republik Indonesia No. KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan.
Sayangnya, dalam praktiknya, proses dan hasil pengawasan serta penindakan terhadap hakim yang dilakukan oleh internal MA terkesan tertutup. Sama halnya dengan pengawasan yang dilakukan berdasarkan inisiatif internal MA, pengaduan yang diterima oleh Badan Pengawas MA dari publik pun acap kali tidak ditindaklanjuti.
Padahal, pengawasan ini tidak bertujuan untuk mengganggu independensi hakim, tapi untuk melihat sejauh mana hakim memeriksa dan memutus suatu perkara korupsi dengan independen.
Sesuai dengan argumen John L. Murray, Mantan Ketua MA Irlandia, bahwa independensi peradilan berfungsi untuk melindungi dan menjaga hak rakyat dalam memperoleh keadilan.
Lemahnya usulan Komisi Yudisial
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang telah diberikan oleh Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial (KY) memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim, termasuk yang bersumber dari laporan masyarakat.
Jika hasil pemeriksaan KY terhadap hakim menunjukkan bahwa hakim tersebut diduga melakukan pelanggaran, KY hanya berwenang mengusulkan penjatuhan sanksi, lalu usulan tersebut diserahkan kepada MA, sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011.
Usulan KY dapat dikatakan lemah karena pada akhirnya yang memberikan sanksi adalah MA sendiri. Salah satu contoh preseden lemahnya usulan KY, yaitu usulan penjatuhan sanksi terhadap Hakim Sarpin atas dugaan pelanggaran kode etik dalam memutus perkara praperadilan atas penetapan KPK terhadap status Budi Gunawan sebagai tersangka suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
Usulan tersebut berangkat dari laporan masyarakat sipil. KY kemudian menindaklanjuti dan menetapkan bahwa Hakim Sarpin telah melanggar kode etik dalam memutus perkara praperadilan BG.
Selanjutnya, usulan KY tersebut diserahkan kepada MA. Tetapi, MA menolak usulan tersebut dengan alasan materi objek pemeriksaan KY yang dituduhkan terhadap Hakim Sarpin sudah memasuki wilayah teknis yudisial, sementara teknis yudisial bukan termasuk objek pemeriksaan KY.
Kelemahan KY di atas adalah dampak dari lemahnya regulasi yang tidak memberikan kewenangan eksekusi hukuman terhadap hakim yang melakukan penyimpangan perilaku. Oleh sebab itu, perlu adanya penguatan terhadap kewenangan KY agar dapat menindak hakim yang diduga menyimpang.
Fakhris Lutfianto Hapsoro adalah pengajar hukum konstitusi di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.