Pada 15 Februari 2022, mantan presiden Honduras Juan Orlando Hernández, yang baru beberapa pekan lengser dari jabatannya, ditangkap polisi di Kota Tegucigalpa. Aparat Honduras mendapat surat permintaan ekstradisi dari Kejaksaan Agung Amerika Serikat.
Hernández terlibat dakwaan kejahatan terkait aktivitas kartel di wilayah AS, sehingga permintaan ekstradisi tersebut diajukan. Pemerintah Honduras diyakini akan mengabulkan permintaan tersebut, dan mengirim sang mantan presiden untuk diadili di Pengadilan Distrik New York.
Video merekam proses penangkapan Hernández menyebar di media sosial. Dia tidak melawan saat ditahan, dan diseret menuju mobil tahanan sembari menggunakan topi dan masker.
Menurut temuan jaksa, Hernández sejak lama sudah menjalin hubungan baik dengan beberapa petinggi kartel narkoba Amerika Latin. Dia pun pernah dikutip mengaku tidak merasa ada masalah bila “orang kulit putih selalu mengonsumsi narkoba.”
Hernández, uniknya, beberapa kali memberi bantuan dan akses bagi aparat Amerika Serikat melakukan operasi penangkapan kartel di negaranya. VICE World News mendapat salinan dokumen dari Pengadilan Distrik New York, bahwa Badan Narkotika AS (DEA) sempat menganggapnya sebagai “sekutu”. Namun, dari temuan intelijen, dia bermain dua kaki. Di satu sisi memasok info ke aparat internasional, tapi di sisi lain tetap membantu kartel secara leluasa melakukan penyelundupan kokain ke wilayah Negeri Paman Sam.
Selama menjabat sebagai presiden, Hernández sudah berulangkali dituduh oleh lawan politiknya kalau dia menjalin hubungan baik dengan kartel. Dia selalu membantah tuduhan menerima suap, atau mendapat untung dari jaringan penyelundupan kokain yang melintasi Honduras. Seandainya tidak ditangkap, Hernández diyakini akan berusaha kabur untuk menghindari ekstradisi.
Jaringan kartel disinyalir DEA memanfaatkan wilayah perbatasan Honduras-Guatemala, untuk menyelundupkan lebih dari 500 ton kokain dari wilayah Amerika Selatan. Pemerintahan Hernández, menurut jaksa di AS, tutup mata pada operasi kartel, membiarkan para pengedar “melakukan kekerasan secara kejam tanpa khawatir diproses hukum.”
Sosok bos kartel yang disebut akrab dengan Hernández adalah Víctor Hugo Díaz Morales, alias “El Rojo,” penyelundup kenamaan asal Honduras yang ditangkap pada 2017. El Rojo pernah memberi suap senilai US$40 ribu untuk Hernández pada 2005. Saat itu Hernández masih berstatus sebagai anggota parlemen, dan dekat dengan para petinggi militer Honduras. Suap itu disinyalir untuk dibagi-bagikan ke tentara, supaya anak buah El Rojo tidak ditangkap bila kepergok menyelundupkan narkoba.
Díaz Morales juga diduga merupakan salah satu donatur utama Hernández ketika maju menjadi capres pada 2009. Kala itu, sang bos kartel memberi dana US$100 ribu untuk biaya kampanye Hernández. Saat menjabat sebagai presiden, Hernández menyetujui kerja sama ekstradisi antara Honduras dengan Amerika Serikat. Namun, di balik persetujuan itu, jaksa New York menganggap Hernández berusaha melindungi anggota kartel yang dekat dengannya, dan membiarkan jaringan kartel musuh yang diekstradisi ke Amerika.
Hernández berhasil kembali terpilih sebagai presiden pada 2017, lagi-lagi berkat sokongan dana dari kartel. Dari informasi terpisah, mantan presiden Honduras itu turut menerima suap jutaan Dollar dari Joaquín “El Chapo” Guzmán pada 2013, supaya kartel Sinaloa bebas beroperasi di negaranya. Atas sepak terjang tersebut, jaksa menuding Hernández menjalankan “negara layaknya sponsor kartel narkoba”, karena banyak aktivitas eksekutif Honduras dijalankan demi memuluskan kegiatan penyelundupan narkoba.
Adik sang presiden, Antonio “Tony” Hernández, sudah lebih dulu diekstradisi ke AS pada 2019 karena kasus penyelundupan narkoba. Tony divonis hukuman penjara seumur hidup tahun lalu. Meski adiknya ditangkap, Hernández disinyalir tetap menjalin kontak dengan petinggi kartel.
Senator Amerika Serikat, Patrick Leahy, mengecam pemerintahnya sendiri karena selama ini menjalin hubungan baik dengan Hernández, padahal seharusnya sadar bila sang presiden terlibat aktif dengan jaringan kartel narkoba lintas negara.
“Juan Orlando Hernández punya kesempatan untuk melayani rakyat Honduras, tapi dia memilih untuk memperkaya diri sendiri dan kroninya dari jaringan kartel. Akibatnya korupsi, kejahatan, pembunuhan, dan kemiskinan terus saja subur di Honduras,” ujar Leahy dalam keterangan tertulis pada VICE.
“Selama delapan tahun kepemimpinannya sebagai presiden Honduras, dia beraksi tanpa impunitas. Citra Amerika Serikat jelas tercoreng, karena selama itu pula pemerintahan AS memperlakukan Hernández layaknya mitra yang baik bagi negara kita.”