Arif pertama kali membeli orang utan di Facebook.
Postingan yang dia lihat pada 2015 mengiklankan sepasang anak orang utan dengan harga Rp8 juta. Arif lalu menjualnya lagi secara online hampir dua kali lipat dari harga asli. Dia meraup Rp15 juta dalam satu penjualan.
Arif berada di puncak karier kala itu. Dia sudah sering memperjualbelikan berbagai jenis burung dan reptil eksotis, tapi baginya, orang utan Sumatra yang terancam punah jauh lebih menggiurkan. Ada keuntungan yang sangat besar, meski risikonya juga tinggi.
Setelah malang melintang di bisnis ilegal ini, aktivitas Arif akhirnya terbongkar. Dia ditangkap dan diberi dua pilihan: masuk penjara atau menyamar sebagai penjual untuk membantu polisi dan lembaga konservasi.
Dia memutuskan bekerja sama dengan pihak berwajib. Arif setuju diwawancarai oleh VICE World News dengan syarat identitas dirahasiakan. Dia khawatir akan keselamatannya jika kedoknya terbongkar.
“Saya termasuk seller yang aktif dan nama saya cukup dikenal di berbagai grup jual beli hewan, baik hewan yang dilindungi maupun tidak dilindungi,” katanya. LSM mengonfirmasi partisipasinya kepada VICE World News.
World Wildlife Fund memperkirakan jumlah populasi orang utan Sumatra tinggal 14.500 ekor saja. Satu dari tiga spesies kera besar yang hidup di Indonesia ini terancam punah karena perburuan dan kehilangan habitat. Dengan rambut merah yang khas, sifat yang lembut, dan potensi yang bagus untuk wisata selfie, hewan ini menjadi target utama perdagangan satwa liar.
“Permintaan tinggi dari pasar gelap membuat perburuan dan perdagangannya masih tinggi,” kata Direktur Orangutan Information Center (OIC), Panut Hadisiswoyo kepada VICE World News. OIC menyebut ada berbagai alasan orang membeli dan memiliki orang utan, dua di antaranya untuk dijadikan hewan peliharaan dan pertunjukan.
Penyitaan orang utan di Sumut pada Maret lalu berlangsung ricuh. Ormas setempat tidak mau menyerahkan anak orang utan dan menyerang pihak berwajib dengan melempari batu. Kaca mobil polisi pecah karenanya.
“Miris ketika melihat masih banyak oknum masyarakat bahkan oknum tokoh masyarakat yang masih memiliki ambisi untuk memelihara satwa dilindungi dan terancam punah hanya untuk kesenangan dan status sosial,” ujar Panut.
Pakar menilai praktik perburuannya sangat kejam. Pemburu akan menembak induk orang utan, lalu mengambil anaknya yang masih kecil dan lemah.
Sebetulnya sudah ada undang-undang yang melarang perdagangan satwa dilindungi seperti orang utan. Para pelanggar terancam hukuman pidana maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp100 juta. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak oknum yang lolos dari pantauan. Berdasarkan data yang diterima VICE World News dari Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, sepanjang 2020, hanya dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perdagangan tiga ekor orang utan.
Sebelum memperdagangkan orang utan, Arif hanya menerima keuntungan Rp1,5 juta dari penjualan siamang di grup Facebook. Dia membelinya seharga Rp1 juta. Tergoda dengan keuntungan yang lebih besar, dia mulai berinteraksi dengan pedagang orang utan. Arif bertindak sebagai perantara dan mengatur penjualan ke pihak ketiga.
Pemburu akan menghubungi Arif melalui WhatsApp setiap ada hasil tangkapan baru. Nama dan foto asli hampir tidak pernah diungkapkan untuk menjaga kerahasiaan. Dia lalu mengirim paket berisi orang utan ke alamat pembeli pakai bus antar provinsi. Jalur pengiriman ini sebenarnya mudah dilacak, tapi jarang dipantau.
“Paket itu dikirim ke terminal. Saya tidak pernah mau barang [orang utan] itu dikirim ke rumah saya,” katanya. “Rekan saya pemburu hanya menuliskan nama dan tujuan pengiriman, dan paket itu hanya akan tiba ke terminal bus. Nanti seseorang suruhan pembeli akan menjemput paket itu dari terminal.”
Anak orang utan, yang umumnya berumur di bawah 10 bulan, dikemas dalam peti atau keranjang agar tidak ketahuan. Buah-buahan dan susu disiapkan supaya hewan selundupan tetap hidup selama dua hari perjalanan. Semua pembayaran dilakukan secara online.
“Selama ini proses pengiriman tidak pernah gagal, dan transaksi juga tidak pernah bermasalah, sehingga rekan-rekan saya pemburu senang menjual buruannya melalui saya,” kata Arif.
Orang utan juga dijual ke luar negeri. Pada Desember 2020, sembilan orang utan Sumatra yang ditangkap saat masih bayi berhasil dipulangkan dari Malaysia. Ada juga dua ekor yang diselamatkan dari Thailand. Banyak dari orang utan ini diyakini diselundupkan melalui jalur laut ke Malaysia.
Arif membeberkan perdagangan satwa liar memiliki banyak perantara, sehingga tidak mudah untuk menemukan pembeli utamanya. Kejahatan ini, katanya, sulit diberantas karena banyak pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk keterlibatan aparat. Tak jarang pemburu mendapatkan informasi bahwa akan dilakukan pemantauan di hutan, jadi sebelum mereka datang, pemburu menghilang dan polisi hutan tidak menemukan apa-apa lagi.
“Saya tidak pernah bertemu pembeli secara langsung, karena saya juga menjaga keamanan saya agar tidak ditangkap polisi,” tuturnya, lalu menambahkan penegakan hukum perlu ditingkatkan guna mengakhiri praktik ini.
Kebanyakan pemburu dulunya hidup sebagai petani, tapi akhirnya menangkapi orang utan karena tergiur uang. Bagaimana tidak, satu ekor orang utan bisa dijual hingga Rp13 juta. Menurut Arif, dia mungkin masih menjalani bisnis ini apabila tidak ketahuan polisi enam tahun lalu.
“Kami sudah lama memetakan pergerakan dia. Seandainya dia tidak mau [bekerjasama], mungkin dia sudah dipenjara sekarang,” kata Bobi Handoko, Direktur Sumatra Eco Project, lembaga independen yang fokus memantau kasus perdagangan satwa liar.
Sejumlah kasus perdagangan hewan telah terbongkar, termasuk orang utan dan satwa dilindungi lainnya. SUMECO mengutarakan, dalam setahun terakhir, setidaknya ada 10 ekor orang utan yang diselamatkan dari penyelundupan.
Setelah diminta bekerja sama dengan kelompok konservasi, Arif merenungkan betapa kejam perbuatannya dulu.
“Ya, kalau dipikir-pikir sangat kejam. Sekarang saya merasa sangat sedih bila ada anak orang utan dirampas dari induknya, kadang induknya harus dibunuh terlebih dahulu supaya bisa lepas dari pelukan anaknya yang masih bayi. Suatu kali saya sadar, kenapa saya sekejam ini?”
Follow Tonggo Simangunsong di Twitter.