Mantan biksu di Myanmar selalu makan dengan lahap seolah-olah itu hari terakhirnya. Dia dan rekan prajuritnya siap mempertaruhkan nyawa demi rakyat. Ke mana-mana mereka membawa granat yang tersemat di seragam. Fungsinya bukan untuk menyerang musuh, melainkan untuk meledakkan diri sendiri kalau-kalau tertangkap tentara Myanmar.
“Kami tidak akan pernah menyerah. Mereka hanya akan mendapatkan jasad kami jika tertangkap. Kami akan berjuang hingga titik darah penghabisan,” lelaki 33 tahun itu memberi tahu VICE World News ketika dihubungi melalui telepon. Dia bersembunyi di belantara hutan Myanmar timur bersama pasukan perlawanan yang terbentuk setelah kudeta pada 1 Februari lalu.
Perjalanan hidupnya ditentukan berdasarkan nama yang dia pakai saat itu. Terlahir sebagai Kyaw Swar Htay, dia mengubah nama aslinya menjadi U Kaythara ketika mengabdikan diri pada Buddha. Dia harus memakai nama lain setelah melepas jubah biksu. Sekarang dia lebih akrab dipanggil George Michael di kalangan pejuang. Namanya yang mirip mendiang penyanyi pop hanya kebetulan semata.
Di masa lalu, jalur pegunungan yang berliku dan hutan lebat di Negara Bagian Karen (sekarang lebih dikenal sebagai Negara Bagian Kayin) adalah wilayah kekuasaan kelompok etnis bersenjata yang terlibat konflik dengan militer Myanmar. Namun, sejak kudeta menghancurkan demokrasi yang masih seumur jagung, seniman sampai mantan ratu kecantikan angkat senjata untuk menentang junta di daerah perbatasan dekat Thailand.
Aksi damai di sejumlah wilayah membuka jalan bagi metode perlawanan baru untuk menanggapi kekerasan militer yang meningkat. Dari situlah muncul Pasukan Pertahanan Myanmar yang bertempur di daerah terpencil dan perkotaan. Akhir bulan lalu, bentrokan antara kelompok sipil bersenjata dan militer pecah di jalanan Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. Negara itu bak medan perang. Ledakan dan tembakan menderu di segala penjuru.
Sementara banyak biksu turun ke jalan sebagai aksi solidaritas untuk rakyat Myanmar, sejumlah pemuka agama di negara mayoritas umat Buddha berpihak pada junta. Faktanya, ada sejarah panjang perlawanan biksu terhadap penindasan.
“Ada [biksu] yang bergabung dengan pasukan bersenjata melawan pemerintahan kolonial Inggris awal; Saya San adalah mantan biksu yang memimpin pemberontakan petani terhadap Inggris,” kata Richard Horsey, analis Myanmar untuk International Crisis Group. Pada 1990-an, biksu Buddha U Thuzana memimpin pasukan Democratic Karen Buddhist Army.
“Jadi tidak heran jika biksu memanggul senjata melawan rezim. Mayoritas penduduk Myanmar dari seluruh lapisan masyarakat menentang kudeta dan marah atas kekerasan rezim terhadap rakyat,” imbuhnya. “Ada tekad besar untuk mencegah militer mempertahankan kekuasaan, salah satunya dengan angkat senjata.”
U Gambira merupakan salah satu tokoh terkemuka selama Revolusi Saffron pada 2007, serangkaian aksi biksu melawan rezim militer yang pada akhirnya menghancurkan pemberontakan. Perasaannya campur aduk melihat tindakan Michael.
Gambira mendekam di penjara selama empat tahun atas keterlibatannya dalam demonstrasi. Penyiksaan yang diterima meninggalkan trauma mendalam. Dia tidak bisa kembali ke kehidupan normal setelah dibebaskan melalui amnesti pada 2012. Status Gambira sebagai tahanan politik membuatnya ditolak berbagai biara Buddha. Dia terpaksa meninggalkan kebikkhuan dan mencari suaka politik ke Australia.
Gambira “sedih” melihat Michael meninggalkan biara. Tapi di sisi lain, dia bangga dan menghargai keputusannya.
“Itu bukan keinginan pribadinya. Dia pergi demi rakyat dan negara,” ujarnya.
Ketika diwawancarai oleh Radio Free Asia cabang Myanmar, Michael merenungkan jalan hidupnya yang berubah 180 derajat.
“Kami dilarang melakukan pembunuhan saat menjadi biksu Buddha, tapi sekarang kami berlatih untuk membunuh,” dia berbicara kepada Radio Free Asia. “Saya sendiri tidak tahu sanggup membunuh orang atau tidak dalam pertempuran.
“Saya dulu melarang orang melakukan pembunuhan, dan menahan diri sendiri agar tidak melakukan itu.” Tapi kini dia harus siap membunuh sesama manusia.
Bagi Michael dan anggota pasukan lain, tidak ada alasan untuk mundur. “Slogan kami adalah ‘Pukul mereka dengan tongkat begitu magasin kosong.’”
Michael lahir di Yangon sebagai putra bungsu dari dua bersaudara. Keluarganya pindah ke Hlaing Tharyar ketika dia masih kecil. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan bahagia, meski sang ayah meninggal saat dia baru 10 tahun. Bisnis keluarga juga berjalan lancar.
“Keluarga memanjakan saya,” kenang Michael.
Ibu Michael memintanya menjadi biksu begitu dia menginjak usia 20. Perasaan sang ibu yang menderita kanker jauh lebih tenang setelah melihat buah hatinya berpakaian saffron.
Rumah bagi para kelas pekerja dan pabrik garmen, Hlaing Tharyar termasuk wilayah termiskin di Yangon. Biara Michael terkenal akan kedermawanannya. Dia mengatakan telah menyediakan tempat berlindung bagi tunawisma, menyumbangkan makanan dan memberikan bantuan darurat seperti pemadam kebakaran dan ambulan.
Namun, seperti banyak penduduk sipil yang tidak memiliki pengalaman berperang, Michael trauma menyaksikan segala peristiwa mengerikan di depan matanya sejak militer menangkap Aung San Suu Kyi dan memutus akses internet, serta aksi damai yang berujung mematikan.
Michael angkat kaki dari biara di tahap awal penindasan brutal. Dia pindah ke rumah aman dan ikut berunjuk rasa. Dalam satu foto, dia tampak mengangkat kalung bunga berbentuk hati. Namun, situasi tak kunjung membaik. Dia mengambil langkah lain setelah menyaksikan pembantaian di Hlaing Tharyar pada Maret. Puluhan dilaporkan tewas saat itu.
“Saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya bergabung dengan gerakan perlawanan karena marah besar,” tuturnya.
Ketika Michael sedang bersiap untuk kabur ke wilayah timur pada Maret, dia mendapat kabar ibunya telah meninggal dunia. Dia melewatkan pemakaman ibunda karena harus pergi saat itu juga. Pasukan junta sudah mulai mencurigai gerak-gerik mantan biksu. “Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada ibu,” katanya. “Saya bahkan tidak tahu warna batu nisan ibu.”
Dia naik bus dan meninggalkan Yangon. Michael mengenakan jubah biksu agar lolos dari pengawasan tentara di pos pemeriksaan. Dia tiba di wilayah kekuasaan Karen National Union, salah satu organisasi etnis bersenjata di Myanmar, lima jam kemudian.
Dia berlatih bersama orang-orang yang juga baru tiba di sana. Setelah itu, dia mengaku diminta mengawasi kelompok garis depan dan melindungi pos-pos strategis.
Mereka bangun setiap pukul 5 pagi. Michael akan memeriksa kelengkapan amunisi sebelum latihan pagi. Mereka sarapan pukul 8 pagi, lalu lanjut latihan hingga makan siang. Setelah istirahat, mereka mengikuti kelas sampai sore. Selesai makan malam pukul 6 sore, mereka akan mencari tempat untuk tidur di sekitar hutan.
Mereka sengaja tidak tidur dalam kamp untuk menghindari potensi serangan udara, yang telah diluncurkan ke daerah itu untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun.
Michael menegaskan dirinya masih sama seperti dulu, hanya jalan hidupnya yang berubah. Dia kini bertekad membantu semua orang yang “memperjuangkan demokrasi dan kebenaran.”