Hasil Survei Global Penggunaan Narkoba pada 2020 menunjukkan peningkatan dalam menjadikan terapi psikedelik sebagai pengobatan alternatif gangguan mental. Ribuan orang menggunakan obat-obatan, seperti LSD, MDMA, psilocybin dan ketamin, untuk mengatasi masalah psikologis dan tekanan emosional.
Dari 110.000 responden di seluruh dunia, 6.500 di antaranya (kurang dari enam persen) mengaku pakai obat-obatan rekreasional untuk meningkatkan kesehatan mental mereka. Sejumlah orang mengonsumsi LSD atau magic mushroom dalam dosis kecil tanpa anjuran dokter, sedangkan yang lain pakai psikedelik di bawah pengawasan orang yang bukan tenaga profesional. Sementara kebanyakan diawasi oleh teman sendiri atau pasangan, ada beberapa yang menjalani terapi tidak diatur seperti retret psikedelik dan/atau bersama “grup penyembuhan tradisional”.
Temuan ini menunjukkan permintaan yang semakin meningkat, terlepas dari kenyataan bahwa pembuat kebijakan di seluruh dunia masih memperdebatkan pro kontra legalisasi obat-obatan macam LSD, MDMA dan psilocybin.
Pengobatan semacam ini “mungkin saja dilakukan di luar pengaturan medis”, ujar Dr Monica Barratt, profesor Universitas RMIT Australia yang melakukan survei.
Responden yang menjalani terapi dengan obat-obatan terlarang umumnya mengalami depresi, gangguan kecemasan dan masalah hubungan. Lalu ada juga yang menderita PTSD, merasa kehilangan atau berkabung, dan masalah lain yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat. Sebagaimana dijelaskan peneliti, “orang menggunakan psikedelik untuk menangani masalah kesehatan mental umum yang dapat diatasi dengan layanan medis tradisional.”
Alasan penggunaan LSD yang paling sering diutarakan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan mental (sekitar 52 persen), lalu menangani kecemasan atau masalah emosional tertentu. Alasan utama responden mengonsumsi magic mushroom yakni meningkatkan kesejahteraan secara umum, serta mengatasi kecemasan dan meredakan kondisi kejiwaan.
Lebih dari empat persen responden yang melakukan pengobatan mandiri dengan psikedelik mengatakan bahwa mereka datang ke UGD.
Peneliti mendesak agar berhati-hati bagi siapa saja yang tergoda mengatasi sendiri masalah kejiwaan dengan obat-obatan terlarang. Sementara itu, menurut Dr Barratt, tenaga profesional wajib mendukung mereka yang melakukan terapi alternatif—selama mereka dilatih dengan tepat.
“Dengan diberinya pelatihan terakreditasi kepada psikiater, psikolog dan pekerja sosial untuk melakukan sesi persiapan dan integrasi yang membantu pengguna terapi psikedelik dapat menjembatani kesenjangan tersebut,” dia menyatakan.
Secara keseluruhan, peneliti menyarankan agar wacana seputar regulasi dan penggunaan obat-obatan tertentu pada pengaturan klinis dapat dikembangkan secepat mungkin, guna memenuhi permintaan yang meningkat dari orang-orang yang tidak dapat mengakses pengobatan kesehatan mental tradisional.
“Semakin lama menunda perizinan perawatan klinis semacam ini, semakin besar pula risiko orang tergoda untuk mengakses obat-obatan dalam situasi yang berpotensi menimbulkan bahaya lebih besar,” terang peneliti. “Memang diperlukan lebih banyak data ilmiah, tapi data kami menunjukkan akan ada sekelompok besar orang yang tertarik terlibat dalam pengobatan ini jika tersedia [secara luas].”
Pengobatan alternatif semacam ini mungkin memiliki manfaat bagi kesehatan mental, tapi tidak direkomendasikan apabila dilakukan secara tidak terencana untuk mengatasi masalah kejiwaan yang lebih serius. “Hasil dan penyembuhan positif hanya dapat terjadi dengan persiapan holistik dan integrasi pengalaman psikedelik dalam lingkungan yang mendukung dengan akses ke sumber daya tambahan jika diperlukan,” mereka menyimpulkan.
Follow Gavin di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE World News