Pemerintah DKI Jakarta kembali bermanuver untuk menangani pandemi Covid-19. Warga Ibu Kota yang ingin makan di warteg diwajibkan menunjukkan surat vaksin. Peraturan ini ada dalam Surat Keputusan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) Nomor 402 Tahun 2021.
Menurut SK itu, bukan hanya konsumen yang harus bisa membuktikan mereka sudah divaksin setidaknya dosis pertama, tetapi juga pemilik dan pelayan di rumah makan—tidak terkecuali warteg dan warung kaki lima. Pemerintah menilai ini adalah salah satu cara untuk menekan angka penularan virus serta mencegah kematian.
Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria mengatakan aturan tersebut sudah ada sejak minggu lalu dan meminta masyarakat patuh. “Semua ini semata-mata dimaksudkan untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warga,” tuturnya.
Riza meyakini ini bukan sebuah regulasi yang sulit untuk diikuti sebab dari total sekitar 8,5 juta warga di DKI Jakarta, sebanyak lebih dari 7,6 juta diantaranya sudah menerima suntikan vaksin.
“Sehingga kalau diwajibkan ya seyogyanya, seharusnya, tidak keberatan,” tegasnya. Langkah ini juga dianggap mampu memaksa orang yang belum divaksin untuk segera mendaftarkan diri.
Meski begitu, realita di lapangan sepertinya berbeda. Tia, salah satu pengelola sebuah warteg di Jakarta Barat, mengaku sama sekali tidak tahu soal keberadaan SK itu. Tidak ada sosialisasi maupun pemberitahuan yang disampaikan sehingga dia menolak ambil pusing.
“Enggak ada [pemberitahuan]. Di sini makan ya makan aja,” kata dia.
Masalah lain yang menjadi tanda tanya baginya adalah bagaimana cara memastikan aturan itu diikuti sebab tidak ada pengawasan. Walau disebut bersifat wajib, tapi faktanya pelaksanaannya diserahkan kepada para pemilik maupun pelanggan sendiri. Sedangkan pengusaha warteg melihat peraturan tersebut terlalu dibuat-buat.
Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni meminta agar pemerintah jangan malah menyusahkan para pemilik warung-warung kecil itu mengingat kondisi mereka sudah susah dalam 1,5 tahun terakhir. “Untuk kebijakan mengenai vaksin, saya pikir apa ya, ini lebih mengada-ada,” ujarnya.
Dia mencontohkan ada warga yang tidak bisa divaksin karena masalah kesehatan. Kalau kewajiban itu dijalankan, artinya pemerintah mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar. Bagi pengusaha warteg, ini berdampak pada menurunnya pemasukan.
“Ini posisi warteg sudah kolaps, terus dikasih kebijakan. Misalnya kan darahnya tinggi, kan enggak bisa divaksin. Ini bagaimana? Apa tidak boleh makan di warteg?” lanjutnya.
Tidak hanya tentang aturan wajib menunjukkan sertifikat vaksin yang dianggap nyeleneh. Perkara durasi makan selama maksimal 20 menit pun mendapatkan cibiran dari publik, apalagi ketika muncul wacana pelibatan aparat keamanan dan Satpol PP untuk menjamin itu berjalan.
Sejak digulirkan, banyak warteg yang merasa enggan menerapkan aturan itu sebab khawatir justru berdampak buruk bagi pemilik dan pembeli. “Misalkan gini, okelah kalau orang yang umurnya 50 tahun, makan masih lima menit. Tapi kan umur-umur yang 60-70 tahun kan nanti kalau tersedak, meninggal, nanti malah jadi rame,” kata Mukroni.
Pendapat Mukroni juga diamini oleh Tia yang menyebut pembatasan durasi makan selama 20 menit tidak realistis.
“Makan dikasih waktu, emangnya lagi lomba?” ucapnya. “Yang penting jaga jarak aja.”