Masyarakat Tiongkok sudah akrab dengan pola kerja ‘“996”, artinya, mulai kerja dari jam 09.00 pagi dan baru berakhir jam 21.00, selama enam hari berturut-turut. Jutaan pekerja di Cina terbiasa tidak menikmati libur hari Sabtu. Kultur kerja itu kemungkinan bisa berubah, setelah Mahkamah Agung Tiongkok menyatakan bahwa jam kerja macam itu melanggar beberapa pasal Hukum Ketenagakerjaan.
Pada 26 Agustus 2021, Mahkamah Agung merilis yurisprudensi dan tafsir hakim mengenai beberapa sengketa perindustrian. Dalam salah satu kasus yang menyita perhatian, hakim agung Tiongkok menghukum dendam dan kewajiban ganti rugi kepada sebuah perusahaan yang memecat karyawan karena tidak bersedia menjalani pola kerja “996”.
Menurut MA, hukum ketenagakerjaan Tiongkok secara spesifik mengatur toleransi beban kerja lembur tiap pekerja dalam sebulan adalah 36 jam. Karenanya, perusahaan yang menerapkan sistem “996” disebut hakim melanggar hukum dan menjalankan praktik ilegal.
Dalam kasus serupa yang juga dikaji Mahkamah Agung, sebuah perusahaan teknologi di Shenzen diwajibkan tetap membayar upah lembur pada karyawan yang sudah mengikuti “program ksatria”. Program ini adalah perjanjian khusus di mana karyawan membuat surat bersedia tidak diupah tiap lembur, demi mendukung target perusahaan (tentu atas “paksaan” manajemen). Praktik ini menurut pengadilan juga ilegal.
Raksasa teknologi Tiongkok, Huawei, di masa lalu pernah menjalankan “program ksatria” kepada para karyawannya. Tiap karyawan yang bersedia menjalani program tersebut mendapat gaji sedikit lebih besar, tapi tidak bisa cuti sama sekali, tidak menikmati hari libur, dan tidak lagi dibayar tiap kali lembur.
“Bekerja keras itu tidak salah, namun jangan sampai mendorong karyawan bekerja keras tanpa ada kesadaran dari perusahaan untuk memenuhi tanggung jawabnya,” demikian kesimpulan Mahkamah Agung Tiongkok.
Dalam catatan dokumen tersebut, MA Tiongkok meminta semua perusahaan tidak main-main dengan aturan soal upah lembur dan menghormati hak libur. “Jika kasus sengketa lembur dan libur terus terjadi, maka stabilitas sosial di Tiongkok bisa terganggu,” demikian kesimpulan MA.
Netizen Tiongkok menyambut sinis dokumen dari MA. Mereka menilai, pemerintah hanya ingin terlihat garang di atas kertas, mengingat praktik “996” terlanjur mengakar di berbagai industri. “Udah deh, kita ga usah bahas isu ini kalau belum ada penegakan hukum yang serius soal aturan ketenagakerjaan,” demikian komentar salah satu pengguna Weibo, medsos di Tiongkok yang mirip Twitter.
Netizen lain menyorot, bahwa pelanggaran jam kerja macam itu malah sering dilakukan oleh perusahaan BUMN Tiongkok, yang tentunya dimiliki saham mayoritasnya oleh negara.
Praktik “996” sudah pernah mendapat penolakan massif oleh karyawan sektor teknologi pada 2019. Kala itu, para insinyur IT, programmer, dan berbagai pekerja IT lainnya menggalang unjuk rasa simbolis di Internet, untuk menekan praktik jam kerja tidak manusiawi.
Adapun konglomerat tajir macam Jack Ma, selaku pendiri grup Alibaba, mengklaim pola kerja “996” harus dilakukan supaya bangsa Tiongkok makmur. Jack Ma menyebut kerja gila-gilaan macam itu bisa mendorong anak muda sukses.
Konflik sosial dan kritik masyarakat belakangan semakin tajam pada perusahaan yang memaksa pekerja lembur berlebihan. Ada dua insiden yang menyulut amarah Tiongkok terhadap jam kerja kurang manusiawi. Contohnya, saat perusahaan startup e-commerce Pinduoduo disorot ketika salah satu pegawainya meninggal kelelahan karena bekerja sampai tengah malam nyaris tiap hari. Sementara kasus lain yang ramai adalah aksi bunuh diri kurir startup antar makanan di salah satu kota besar Cina, yang menuntut jasa lemburnya dibayar.
Follow Viola Zhou di Twitter.