Volatilitas (atau bisa juga disebut gonjang-ganjing harga) dalam perdagangan saham global adalah realitas yang sudah diterima mayoritas pelaku pasar. Sangat wajar bila ada saham suatu perusahaan meroket dalam sehari, tapi langsung anjlok parah keesokan harinya. Namun, kini muncul narasi baru, seakan-akan volatilitas itu sangat rapuh, sehingga peristiwa sepele bisa menghapus keuntungan suatu perusahaan dalam nominal miliaran dollar.
Hal itu yang sedang banyak dibicarakan publik saat membingkai jatuhnya valuasi saham perusahaan Coca Cola pada 14 Juni 2021, yang dikaitkan aksi bitang sepakbola asal Portugal, Christiano Ronaldo. Dalam jumpa pers jelang pertandingan, Ronaldo sengaja menyingkirkan dua botol Coca Cola dari meja, lalu mengingatkan para jurnalis di ruangan agar pilih minum air putih saja. Media massa menyorot momen tersebut, yang lantas ditafsirkan sebagai publisitas buruk bagi Coca Cola. Padahal Coca Cola adalah sposor resmi kompetisi Piala Eropa/Euro 2020 (yang terpaksa baru digelar 2021 akibat pandemi).
Pemberitaan soal aksi Ronaldo makin dramatis, setelah disebut-sebut bila tindakan penyerang Juventus itu membuat valuasi saham Coca Cola anjlok parah. Dalam penutupan sesi perdagangan 12 Juni di bursa New York, saham Coca Cola nilainya masih US$56 per lembar. Tapi “gara-gara” tindakan Ronaldo, pada satu jam pertama sesi perdagangan 14 Juni, saham per lembar Coca Cola anjlok menjadi US$55. Alhasil, di headline banyak media tertulis seperti ini: “Sesudah Christiano Ronaldo memindah botol Coca Cola, perusahaan minuman berkabornasi itu kehilangan valuasi saham senilai US$4 miliar begitu saja.”
Dramatis, sekaligus menarik perhatian tentu saja. Masyarakat diajak percaya, bahwa tindakan seorang atlet ternama mengajak publik minum air putih (alih-alih minum soda yang dapat berfungsi menjadi pembersih toilet atau penghilang karat) berpotensi memicu kejatuhan jangka panjang sebuah korporasi besar.
Perbincangan di medsos kemudian merambah ke mana-mana. Mulai dari etis tidaknya seorang atlet “menjatuhkan” citra perusahaan yang menjadi sposor kompetisi yang dia ikuti’; kemudian muncul tudingan Ronaldo hipokrit karena bersedia jadi brand ambassador produk bermasalah lain; hingga benar tidaknya minuman soda tak layak dipasarkan untuk masyarakat karena minim kandungan gizi.
Satu hal yang jadi pemicu diskusi tindakan Ronaldo akhirnya terpinggirkan dan tak banyak dibahas lagi, yakni soal terhapusnya valuasi saham Coca Cola. Realitasnya, kejatuhan harga pada perdagangan 14 Juni tidak akan berdampak banyak pada Coca Cola. Raksasa industri minuman karbonasi tersebut nilai pangsa pasarnya masih US$237 miliar (bayangkan US$4 miliar terasa belum seujung kukunya), dan penurunan harga saham per lembar sebanyak 1,6 persen hampir pasti akan berbalik positif dalam perdagangan pekan depan (atau bahkan saat artikel ini dilansir). Sebab, banyak pemain saham yang pastinya tertarik “menyerok” saham Coca Cola yang sedang turun harga, dan berharap bisa meraih untung.
Kita sering mengira perdagangan saham dipengaruhi hal-hal yang emosional, atau irasional. Di satu sisi benar, tapi cara kerjanya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ambil contoh kasus naik turunnya saham Tesla sepanjang 2020. Elon Musk bikin beberapa twit blunder tahun lalu, yang membuat valuasi Tesla sempat anjlok US$14 miliar. Tapi, karena kinerja riil Tesla membaik, harga saham produsen mobil listrik itu sudah meningkat tiga kali lipat tahun ini.
Begitu pula dalam kasus Ronaldo menggeser botol Coca Cola. Sudah muncul analisis yang menunjukkan “insiden” itu tak terkait sama sekali dengan kejatuhan nilai saham per lembar Coca Cola di bursa. Sportico melansir analisis menarik, yang menunjukkan saham Coca Cola mulai diperdagangkan pukul 09.30 waktu setempat (dan langsung anjlok 0,9 persen), sementara jumpa pers Ronaldo di Eropa mulai pukul 09.45. Artinya, pemindahan botol itu bukan alasan investor menjual atau membeli saham Coca Cola di bursa.
Lantas, pesan moral apa yang bisa kita dapat dari insiden yang ternyata tak berkaitan itu? Bursa saham kadangkala irasional. Itu benar. Dan seringkali lebih terkait pada aktivitas para investornya, alih-alih kinerja riil suatu perusahaan. Beberapa bulan lalu, kita ingat, saham GameStop melonjak drastis karena meme. Coca Cola mungkin mengalami penurunan citra sesaat, tapi Christiano Ronaldo seorang bukan lah yang bertanggung jawab penuh atas terpangkasnya valuasi tersebut. Volatilitas saham, apalagi yang hasil gorengan, memang gila dari sononya. Itulah realitas perekonomian Abad 21, yang sedemikian rapuh.