Pemerintah mulai menerbitkan peraturan-peraturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja yang menciptakan gelombang protes pada tahun lalu. Pada awal Februari lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan peraturan tersebut, limbah yang dimaksud yaitu fly ash dan bottom ash (FABA). Fly ash sendiri merupakan abu hasil pembakaran batu bara yang terbang dan mengisi udara, sementara bottom ash sifatnya mengendap di tanah. Keduanya ada karena proses pembakaran batu bara baik seperti lewat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sebelumnya, dalam PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, FABA dinyatakan sebagai B3. Konsekuensinya adalah FABA harus dikelola secara khusus, sesuai aturan, sebab jika tidak maka akan sangat berisiko terhadap lingkungan dan makhluk hidup. Aturan terbaru mencatat FABA yang berasal dari PLTU dan aktivitas lain yang memanfaatkan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri dinyatakan sebagai non B3.
Sebanyak 16 asosiasi yang menjadi satu dalam wadah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan kepada pemerintah, pada Juni 2020, agar FABA tidak lagi dikategorikan sebagai limbah berbahaya dan beracun. Ini bertepatan dengan waktu pembahasan Undang-undang Cipta Kerja oleh DPR RI.
“Ke-16 asosiasi yang tergabung dalam Apindo tersebut sepakat untuk mengusulkan delisting FABA karena berdasarkan hasil ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo Haryadi B. Sukamdani.
Setiap tahun, kata Haryadi, Indonesia menghasilkan FABA sekitar 10 hingga 15 juta ton. Dia menyebut di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Jepang, uji karakteristik memperlihatkan keduanya tidak tergolong berbahaya atau beracun.
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, menilai keputusan pemerintah mengeluarkan limbah batu bara dari kategori B3 sebagai sebuah kemunduran. “Karena dikeluarkan dari daftar limbah B3 oleh turunan peraturan Omnibus Law, maka ini menjadi sebuah langkah mundur norma hukum di Indonesia,” kata dia saat dihubungi VICE.
“FABA memiliki kandungan zat beracun yang berbahaya, apalagi dari satu PLTU saja jumlah FABA yang dihasilkan bisa berton-ton, dan apabila tidak diregulasi dengan ketat, mereka bisa melakukan pembuangan sesukanya yang justru berbahaya bagi masyarakat sekitar,” jelasnya.
Dia mengkhawatirkan para pelaku industri yang memanfaatkan batu bara bisa saja bandel dan membuang limbah di lahan kosong. “Karena sifatnya debu halus, maka bisa menimbulkan polusi yang sangat berbahaya,” imbuhnya.
Menurut Greenpeace Indonesia, kebijakan baru ini memperlihatkan juga lobi-lobi para pengusaha berhasil mengubah posisi pemerintah. “Lagi-lagi, penerapan UU Ciptaker memang ditujukan untuk mempermudah dan melegalkan tindak destruktif dari industri batu bara dan industri ekstraktif dan sama sekali melemahkan perlindungan terhadap masyarakat,” kata Hindun.
Karena menjadi topik hangat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pernyataan yang menyebut walau bukan lagi B3, tapi pengelolaan FABA tetap tidak sembarangan. “Mereka tetap harus mengelola [sesuai] standar, kemudian bagaimana pengangkutan dan lain-lain itu harus mereka lakukan dengan baik,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati.
Salah satu yang ditekankan oleh KLHK adalah FABA berpotensi untuk diolah kembali untuk material bangunan dan infrastruktur lainnya. Ia beralasan oleh karena itulah tidak selamanya limbah tersebut bersifat buruk. “Fly ash dan bottom ash dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tanah,” kata dia.
Hindun sepakat bahwa memang ada potensi lain dari FABA yang disebut sebagai “good reuse”. Hanya saja, ini tidak bisa serta-merta terjadi tanpa pengawasan yang ketat oleh pemerintah lewat regulasi-regulasi khusus. Apalagi karena ada kandungan mercury dan arsenik di dalamnya yang sangat berbahaya.
“Iya, betul, bisa [diolah kembali]. Tetapi kalau tidak diregulasi dengan baik dan ketat, tidak selamanya ‘good reuse’ ini bisa diterapkan oleh semua industri dan PLTU,” tegasnya. “Bahkan akan lebih memudahkan bagi para pelaku industri untuk membuang dengan metode yang tidak aman dan membahayakan masyarakat.”
Dengan alasan-alasan inilah Greenpeace Indonesia tidak setuju dengan pemerintah dan telah menyatakan protes. Hindun menyebut pihaknya berniat untuk meminta keterangan dari pemerintah yang lebih jelas mengenai keputusan tersebut. Dia mengatakan: “Langkah selanjutnya adalah mengajukan FOI (freedom of information) request ke KLHK.”