Dalam novel eposnya Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer memotret salah satu kesalahan terbesar penduduk nusantara: memunggungi laut. Perubahan arah peradaban di akhir Abad 14 itu terbukti menjauhkan negeri ini dari potensi kemahsyuran, dan membiarkan bangsa lain menguasai lautan. Kejayaan Majapahit dan Sriwijaya lewat kekuatan maritimnya berakhir sebatas dongeng pengantar tidur, sebab mata penguasa terpaku pada daratan. Ratusan tahun setelah kapal terakhir di pelabuhan Tuban karam dalam cerita Pram, Arka Kinari angkat jangkar, menciptakan epos baru soal hidup di lautan.
Arka Kinari adalah proyek pelayaran yang digagas pasangan musisi eksperimental, Nova Ruth dan Grey Filastine. Dengan kapal jenis sekunar (dua tiang) sepanjang 18 meter, Arka Kinari menyusuri laut sambil melakukan siar musikal tentang krisis lingkungan, budaya maritim, serta merekonstruksi jalur rempah.
Pertunjukan mereka digelar di atas air dengan menyulap dek kapal sebagai panggung pentas musik, sementara layar menjadi latar visual sinematik menggambarkan ramalan tentang kehidupan masa depan. Penonton dapat menikmati pentas mereka dari pelabuhan. Nova dan Filastine seakan mengajak pendengar ke masa lalu, saat pelabuhan masih menjadi pusat keramaian dan ruang pertukaran budaya utama manusia.
“Karya-karya kami bahas isu lingkungan, tapi demand untuk tur ke berbagai negara mengharuskan kami terbang pakai pesawat, itu kan ironis. Maka kami memutuskan slowing down, tur lewat laut,” kata Nova Ruth ketika dihubungi VICE via zoom. Ide tur lambat dan ramah lingkungan ini diwujudkan dengan membeli kapal klasik bernama Mariarosa di Rotterdam, Belanda, pada 2019. Ruth dan Filastine menyulapnya jadi Arka Kinari yang memakai panel surya dan tangkapan angin untuk kebutuhan energi.
Mereka berangkat dari Rotterdam pada Agustus 2019, melewati rute dengan memutari Terusan Suez, menyusuri tepian benua Amerika, menyeberangi Samudra Pasifik, hingga akhirnya masuk perairan Indonesia pada September 2020. Waktu tempuh yang harusnya sembilan bulan molor jadi setahun karena pandemi.
“Sebetulnya ada rute yang lebih pendek, tiga bulan lewat Terusan Suez, tapi kami takut bajak laut,” sambung Nova tergelak menceritakan salah satu ketakutannya, ia melanjutkan, “Jangan salah, bajak laut sekarang itu enggak kayak bajak laut Bugis dulu, mereka bawa senjata”.
Untuk awal proyek ini, Indonesia jadi fokus audiens Arka Kinari tak semata karena negara ini adalah tanah kelahiran Nova. Namun justru karena kesadaran Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang sayangnya sekaligus berstatus negara penghasil sampah laut terbesar, dan sangat terancam krisis iklim.
Saat ini, Arka Kinari bersandar di pantai Mertasari, Bali untuk pemeliharaan kapal. Tiap akhir pekan, Arka Kinari membuka kafe apung bernama LegiPait on Boat supaya publik bisa mencicipi pengalaman pelayaran mereka. “April [2021] kayaknya akan berlayar lagi ke daerah timur. Aku, Grey (Filastine), dan kru sudah merasakan kebutuhan berada di tengah laut,” cerita Nova, yang saat wawancara dengan VICE pada 5 Februari 2021, selesai melakukan sea trial untuk persiapan kembali mengangkat sauh.
Filastine & Nova dikenal sebagai musisi yang getol mengusung tema-tema krisis iklim dan cerita apokaliptik lewat eksplorasi musik. Mereka mengawinkan bebunyian tradisional, lirik multi-bahasa, dan dentum elektronik yang kaya. Metode eksperimental juga telah akrab dengan mereka.
Album Drapetomania (2017) yang bicara soal xenofobia misalnya, direkam di banyak tempat, dari sel tahanan deportasi, kapal layar, hingga desa terpencil di Sahara. Intensitas mereka untuk melakukan perjalanan dan tampil di panggung-panggung altenatif memang membuat nama mereka tak terlalu santer di industri musik arus utama, tapi karya mereka tak perlu diragukan. Maka sebetulnya tidak mengagetkan ketika mereka mewujudkan Arka Kinari sebagai manifestasi dari visi dan pendekatan yang telah mereka lakukan sepanjang karier kreatif mereka.
”Kami sadar sudah terlambat untuk ambisius dengan industri musik, jadi Arka Kinari itu jawaban atas pertanyaan tentang proses berkarya kami sendiri,” ujar Nova. Dari karya-karya yang mengutuki peradaban yang destruktif, Arka Kinari jadi fase lanjutan tentang kemungkinan hidup selaras alam dan berkelanjutan.
Kegelisahan mereka soal format pertunjukan yang sesuai isi pesan terjawab di pentas audio-visual teatrikal utuh berdurasi 70 menit di atas kapal. Merangkum visi mereka tentang krisis iklim, peradaban yang akan kembali ke gaya hidup nomaden, dan menawarkan gagasan laut sebagai kunci umat manusia selamat dari kiamat iklim. Arka Kinari sejak awal dirancang menjadi bagian dari kampanye ini.
“Kalau gerakan isu lingkungan itu catur, kami seniman harusnya jadi pion di barisan paling depan. Dan harus disadari sifatnya memang temporer, ketika gerakannya berhasil harus siap dilupakan. Aku juga percaya pada dasarnya perempuan itu lebih sensitif dengan kondisi alam. Ada alasan kenapa ada Ibu bumi, bukan bapak bumi. Kenapa bayi di dalam perut bisa mengapung karena air ketuban itu asin, seperti air laut. Laut itu ibu. Saya percaya sebetulnya perempuan bisa jadi medium alam membisikkan keresahannya. Jadi karena aku perempuan dan aku seniman, aku punya banyak sekali alasan untuk mengekspresikannya lewat seni,” papar Nova.
Ide soal berkarya dan hidup di laut pun sebetulnya telah lama bercokol di benak Nova dan Filastine. Nova yang masih punya darah Bugis, dan Filastine yang tumbuh besar di tepi laut, sama-sama menyimpan rasa penasaran terhadap budaya maritim. “Memang melihat laut itu susah, karena yang dipandang hamparan kosong. Tapi begitu masuk, aku sadar kita itu sering lupa kalau banyak sekali penghuni laut yang menjaga kita,” ujar Nova.
“One day kalau internet dunia down, kita akan kembali lagi memakai internet yang sebenarnya, yaitu laut. Laut itu penghubung,” tambahnya.
Perjalanan laut membuat tim Arka Kinari punya kesadaran lebih utuh dan nyata tetang ruang, jarak, dan waktu. “Rasanya berbeda kalau naik pesawat. Ketika naik kapal lalu sampai di pulau dengan budaya dan bahasa berbeda, itu gila banget herannya. Perasaan yang menakjubkan sekali, semua terasa lebih nyata,” ia melanjutkan,“Kalau kami tidak mengalami perasaan seperti itu, nggak akan ada karya-karya yang timbul dari keheranan itu”.
Secara personal, Nova juga merasa hidup di laut telah memperlambat laju dan mengembalikan hidupnya menjadi lebih esensial. “Makan cukup, tidur cukup, berkarya, sudah. Kami merasa lebih sehat hidup di laut karena tidak disibukkan dengan drama-drama daratan,” ia tertawa.
Selama berlayar, Nova mengaku lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan berbagai tugas lain bersama awak kapal ketimbang latihan. Arka Kinari dibantu oleh 30 lebih relawan secara bergantian. Mereka pun juga bertugas jadi kru, Nova sebagai koki dan Filastine sebagai deck hand. “Walau agak susah latihan, kami jadi belayar banyak soal tali-temali, membaca arah angin, dan mengenali karakter laut,” kata Nova.
“Soundnically, yang paling aku rindukan di tengah laut itu ketika mendengarkan nothing. Enggak ada suara, kosong, dan cuma diisi suara ombak, itu melegakan sekali,” tambahnya. Ketika kembali hidup di daratan, ia menyadari banyak cara pandang orang darat yang sangat berbeda dengan orang laut.
Semakin lama ngobrol dengan Nova, saya menyadari proyek ini membuat saya mempertanyakan kembali relasi manusia dan laut—juga alam, tak hanya secara ekologis tapi juga spiritual. Usaha menjaga lingkungan tak bisa lepas dari seni, tradisi, dan budaya yang menyertainya.
Setengah bercanda, Ruth lalu cerita soal mitos bahwa pelaut perempuan akan membawa sial untuk kapal di laut dan memprotesnya, “Orang-orang di Jawa takut sama mitos Nyai Roro Kidul, padahal kalau Nyai memang ada di laut, harusnya laut jadi safe space untuk perempuan dong,” katanya sambil tergelak.
Di Indonesia, sayangnya menurut Nova, diskusi soal tradisi maritim kebanyakan sekadar mengenang sejarah masa lalu. Hilmar Farid, Direktur Jendral Kebudayaan Kemendikbud, menyinggung problem serupa di Pidato Kebudayaanya tahun 2014. Hilmar mengkritik sejarah yang selama ini dipelajari sebagai cerita kosong alih-alih pembelajaran, dan ingin mengembalikan lagi kejayaan budaya maritim di Indonesia.
Kesamaan visi ini mempertemukan Arka Kinari dengan program Jalur Rempah dari Kemendibud, yang harusnya membawa mereka ke 20 titik pelabuhan di Indonesia untuk merekonstruksi rute perdagangan penting ini. Sayangnya, pandemi membuat rencana ini tertunda.
Dari target awal pentas di tiap pelabuhan, Arka Kinari baru mewujudkan 8 pentas, yaitu di Rotterdam, Tenerife, Puerto Angel (Meksiko), San Blas Island, Maroko, Sorong, Banda, dan Denpasar. Di Banda Neira, yang merupakan titik nol jalur rempah dunia, mereka singgah seminggu. Tak hanya tampil, Ruth dan Filastine juga memberi berkolaborasi dan lokakarya budaya maritim untuk anak-anak muda di sana.
“Masyarakat yang didatangi Arka Kinari mengalami dua shock, pertama karena lagi pandemi lalu tiba-tiba kami datang sebagai orang asing, lalu shock melihat pertunjukan multimedia di atas kapal yang belum pernah ada di Indonesia. Makanya idealnya memang kami tidak hanya datang dan tampil, tapi lebih lama supaya bisa interaksi dan menceritakan gagasan kami,” kata Nova. Di Banda Neira, mereka tampil di hadapan warga lokal yang berkumpul di tepi laut.
Datangnya pandemi di tengah proyek Arka Kinari ini memunculkan perasaan kontradiktif bagi Nova dan Filistine. Di satu sisi, mereka terpaksa menunda banyak rencana. Kapal Arka Kinari sempat tertahan selama sebulan di Guam dan dilarang berlabuh, karena negara-negara yang tiba-tiba menutup perbatasan. Ini berdampak banyak dari mulai jadwal, hingga logistik mereka. Di sisi lain, pandemi berefek baik pada lingkungan—hal yang selama ini mereka suarakan lewat karya-karyanya.
“Kami memutuskan jadi bagian dari alam. Memang sayang sekali korbannnya banyak, tapi di satu sisi buminya juga diberikan rehat sebentar. Lubang ozon menutup, hewan liar muncul lagi. Alam itu selalu tahu caranya menyeimbangkan dirinya. Pilihan kita, mau menjadi satu dengan alam atau jadi penontonnya saja,” kata Nova.
Kini, Arka Kinari sedang menyusun rute pelayaran selanjutnya dan barangkali menginspirasi beberapa orang untuk membeli kapal, alih-alih mobil atau rumah. “Tapi sayang sekali di Indonesia itu izin kepemilikan kapal pribadi tidak ada. Dan saking tidak populernya budaya maritim, semua fasilitas mahalnya minta ampun,” protesnya.
“Gimana mau jadi negara maritim kalau kesempatannya enggak ada. Kita ini mengingkari nenek moyang yang seorang pelaut,” tutupnya.
Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram