Berita  

Lembu Sora Kesatria Majapahit Yang Gugur Di Pelataran Istana, Dia Ikut Membangunnya

lembu-sora-kesatria-majapahit-yang-gugur-di-pelataran-istana,-dia-ikut-membangunnya

 

Oleh : Sofyan Mohammad**
—————————————————————


LIPUTAN4.COM, Tuban – Lembu Sora menjadi salah satu sosok yang menarik untuk diteladani. Kisah kepahlawanannya dalam rangka ikut mendirikan kerajaan Majapahit tercatat secara abadi dalam berbagai tulisan hingga epos wira carita.

Lembu Sora adalah bala setia bagi Raden Wijaya sejak masih mengabdi pada Prabu Kertanegara di Singhosari. Lembu Sora dikisahkan sebagai seorang Kstaria yang pilih tanding dalam berbagai hal. Mulai dari olah kanungaranya hingga berbagai gagasan dalam memainkan siasat peperangan.

Lembu Sora dicitrakan sebagai seorang yang loyal pada pimpinan dan sangat mencintai negerinya. Perjalanan hidupnya dilalui sejak era Singhosari dan berakhir sebagai seorang Ksatria yang gugur di pelataran Kraton yang dia ikut susah payah membangunya.

Kematiannya justru bertolak dari sifat jujur dalam mempertahankan integritasnya sebagai seorang perwira. Memang tragis segala kejujuran dan integritasnya justru dimanfaatkan secara picik oleh politisi busuk semacam Mahapati Dyah Halayudha yang haus kekuasaan namun minus kompetensi selain hanya taktik adu domba. Demikian dunia politik dan kekuasaan sering hanya dikuasai oleh orang yang licik hingga senang menjadikan seorang yang jujur dan berintegtitas untuk menjadi tumbal bagi kepentinganya.

Lembu Sora dikisahkan masih bersaudara dengan Arya Wiraraja atau Banyak Wide dan termasuk paman dari Ronggolawe. Demikian Lembu Sora juga masih berkerabat dengan Kebo Anabrang. Dalam beberapa karya sastra, Lembu Sora juga disebut dengan nama Mpu Sora, Ken Sora, Andaka Sora, atau kadang disingkat Sora saja. Kidung Sorandaka merupakan karya sastra yang menceritakan “peristiwa” Sora.

*Kesetian Lembu Sora pada Raden Wijaya*

Pararaton mengisahkan Lembu Sora ikut mengawal langsung Raden Wijaya sewaktu menghindari kejaran pasukan Jayakatwang pada tahun 1292. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan, Lembu Sora dengan setia menyediakan perutnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat keduanya beristirahat. Lembu Sora juga bersedia menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Lembu Sora digambarkan sangat serius melindungi keselamatan Raden Wijaya dan keluarganya dari kejaran tentara Kediri.

Dikisahkan pada tahun 1292 Raden Wijaya dibantu pasukan tar tar Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam pertempuran tersebut, Lembu Sora bertugas menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh patih Kadiri yang bernama Kebo Mundarang. Dalam teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa Raden Wijaya sangat mempercayai Lembu Sora. Dedikasi Lembu Sora terlihat sejak pertempuran melawan serbuan Jayakatwang Adipati Gelang-gelang ke Singasari.

Lembu Sora yang memberi saran yang cerdik agar serangan balik dilakukan pada malam hari terhadap tentara Gelanggelang yang menduduki Singhasari. Pada serangan itu, Raden Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Tribhuwana yang sebelumnya tertahan oleh pasukan musuh. Lembu Sora juga yang menahan Raden Wijaya ketika bersikeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara yang masih tertinggal di pura dalam situasi kecamuk perang.

Bahkan Lembu Sora adalah orang yang pertama menasehati Raden Wijaya agar mau mengungsi ke Madura Timur guna meminta bantuan dan perlindungan kepada Arya Wiraraja. Lembu Sora menyebut bila tetap melakukan perlawanan kepada pasukan lawan, ibarat bunuh diri, sebab menyadari jika pasukan dan kekuatan yang dimiliki sama sekali tidak seimbang apabila dibandingkan dengan kekuatan Kediri waktu itu.

Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaannya, baik dalam taktik peperangan hingga berbagai langkah persiapan mendirikan Majapahit, termasuk inisiatif untuk memanfaatkan pasukan tar tar Mongol untuk mengempur Jayakatwang di Kediri. Semua ketulusan Lembu Sora telah menjadikanya sebagai orang dekat dengan Raden Wijaya Raja pertama Kerajaan Majapahit. Tak heran pula Raden Wijaya memberikan tempat terhormat pada pemerintahan ketika Majapahit sudah berdiri.

*Lembu Sora sebagai salah satu Foundhing Father pendirian Kerajaan Majapahit*

Sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit bermula dari permohonan Raden Wijaya kepada Jayakatwang untuk membuka hutan di daerah Tarik. Raden Wijaya dan bala setianya termasuk Lembu Sora lantas memulai membuka hutan di dekat Sungai Brantas, tepatnya di daerah Trowulan, Mojokerto Jawa Timur sekarang.

Pada awalnya Raden Wijaya meminta ijin pada Jayakatwang membabat hutan tarik dengan dalih untuk tempat perburuan bagi Jayakatwang. Namun dalam perkembanganya terbentuklah suatu desa yang kemudian dikenal dengan nama Majapahit. Siasat ini tidak bisa dilepaskan oleh nasehat dari Lembu Sora.

Asal mula nama Majapahit berawal dari buah bernama maja. Buah yang rasanya pahit itu banyak terdapat di dalam hutan tempat Raden Wijaya dan pengikutnya berlindung untuk menyusun kekuatan kembali pada saat masih diburu oleh pasukan Kediri.

Pembabatan alas tarik tersebut selain pada awalnya ide dari Banyak Wide atau Arya Wiraraja juga melibatkan peran besar dari pada Lembu Sora dan seluruh bala setia Raden Wijaya seperti Ranggalawe, Nambi, Banyak Kapuk, Gajah Biru, Wirota Wiragati dan lain lain.

Meskipun mengaku ia akan mengabdi, namun Raden Wijaya masih memiliki dendam pada Jayakatwang dan memiliki kesempatan ketika pasukan Mongol yang dikirimkan oleh Kubilai Khan datang untuk menghukum Kertanegara. Namun, karena Kertanegara telah tewas, 20.000 pasukan yang dibawa oleh Mongol pun dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menggempur Kraton Kediri. Dalam upaya ini Lembu Sora memiliki peran yang sangat penting untuk membujuk pimpinan tentara tar tar.

Raden Wijaya mengaku bahwa apabila meraih kemenangan, maka ia pun akan tunduk pada Kubilai Khan. Namun usai berhasil menundukan Jayakatwang, Raden Wijaya justru langsung menyerang pasukan Mongol. Serangan mendadak tersebut kemudian membuat pasukan Mongol kocar kacir dan melarikan diri meninggalkan Jawa untuk kembali ke negara asalnya.

Setelah tentara tar tar pulang ke Mongol selanjutnya Raden Wijaya melalui perwira utama Lembu Sora dan Ronggolawe memulai membangun perdukuhan Majapahit untuk dijadikan Kotaraja sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit. Proses pembentukan Kerajaan ini Lembu Sora memiliki peran yang sangat penting yang dianggap sebagai salah satu diantara pendiri Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya.

Sebagai sosok yang sentral dalam pendirian Kerajaan Majapahit Lembu Sora tercatat namanya dalam Kitab Pararaton, Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Sorandaka. Proklamasi pendirian Majapahit sekaligus penobatan Raden Wijaya sebagai Raja pertama Majapahit berlangsung pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 atau pada tanggal 10 November 1293.

Sebagai raja, Raden Wijaya bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Nama Raden Wijaya telah disematkan untuk menghormati pamannya, pendiri Kerajaan Singhasari, serta untuk menghormati leluhurnya di Singhasari yang merupakan penyambung Wangsa Rajasa. Untuk membantu pemerintahan Majapahit Lembu Sora diberi jabatan sebagai rakryan Patih ri Daha, atau penguasa di Daha wilayah yang dahulu sebagai pusat Kerajaan Kediri.

*Lembu Sora diseret seret dalam Kemelut Konflik Perebutan Jabatan di Lingkaran Majapahit*

Dikisahkan pada prinsipnya Lembu Sora menerima dan tidak mempermasalahkan jabatan dan kedudukannya sebagai penguasa Daha Kediri. Sebab baginya segala perjuangannya ikut mendirikan Kerajaan Majapahit bukan menginginkan jabatan dan kedudukan.

Penunjukan Raden Wijaya sebagai penguasa Daha sudah dapat dimengerti dan dapat diterima secara baik oleh Lembu Sora. Mengingat Daha memiliki kisah panjang sebagai sebuah Kerajaan dan memiliki peran yang cukup strategis untuk menopang Kerajaan Majapahit yang baru berdiri.

Penunjukan Lembu Sora sebagai Rakryan Patih Ri Daha justru yang merasa tidak terima adalah Ronggolawe hal ini sebab yang diangkat sebagai Rakryan Patih adalah Nambi. Ronggolawe berpendapat yang lebih pantas mengemban sebagai Rakryan Patih adalah Lembu Sora. Oleh karena Lembu Sora dianggap lebih senior, lebih berpengalaman, lebih dekat dengan Raden Wijaya serta lebih besar jasanya terhadap pendirian Majapahit. Dibanding dengan sosok Nambi yang masih muda dan kalah pengalaman dibanding dengan Lembu Sora.

Pembagian jabatan bagi sejumlah bala setia Raden Wijaya untuk Kraton Majapahit semakin memanas setelah dimanfaatkan oleh sekelompok politisi busuk yang dimotori oleh Mahapati Dyah Halayudha yang notabenenya memang masih kerabat Raden Wijaya. Dyah Halayudha melakukan kasak kusuk dengan menerbarkan kebencian dan adu domba.

Mahapati Dyah Halayudha memiliki kepentingan pribadi untuk dapat menduduki posisi sebagai Rakryan Patih karena itu dia melancarkan aksi politik adu domba dengan menciptakan suasana yang keruh di lingkungan Kraton Majapahit.

Sikap tegas dan pemberani Ronggolawe dimanfaatkan. Dyah Halayudha memprovokasi Ronggolawe agar melakukan protes sehubungan dengan jabatan Patih yang seharusnya dijabat oleh Lembu Sora bukan oleh Nambi. Demikian Ronggolawe yang punya jasa jauh lebih besar dari pada Nambi hanya ditempatkan sebagai Adipati Tuban. Segala provokasi Dyah Halayudha membuat Ronggolawe meradang.

Mendengar Ronggolawe menunjukan sikap protes atas ditunjuknya Nambi sebagai Rakryan Patih dan yang lebih pantas adalah Lembu Sora. Lembu Sora merasa terharu atas perhatian keponakannya tersebut namun sikap kebangsawananya telah membawa kepada kebijaksanaan. Lembu Sora menemui Ronggolawe dengan menyatakan sudah menerima jabatan sebagai Penguasa Daha dan justru menasehati Ronggolawe agar mau menghadap Prabu Sri Kertarajasa untuk menjelaskan sikapnya selama ini.

Ronggolawe yang sudah terlanjur panas oleh hasutan Mahapati Dyah Halayudha tidak mau mendengar nasehat dari pamanya tersebut. Ronggolawe tidak mau menghadap Raden Wijaya dan justru kembali ke Tuban untuk menunjukan sikap protesnya. Mengetahui sikap Ronggolawe tersebut Mahapati Dyah Halayudha bermanuver dengan membuat isu dengan narasi yang sangat meyakinkan bagi para pejabat Majapahit termasuk Prabu Sri Kertarajasa, jika Ronggolawe berencana makar melakukan pemberontakan terhadap Kedathon Majapahit.

Mendengar hasutan manis yang dilontarkan Mahapati Dyah Halayudha telah membuat Prabu Sri Kertarajasa bertindak tegas dengan memerintahkan pada Kebo Anabrang, Lembu Sora dan Nambi untuk bersama sama memimpin pasukan datang ke Tuban untuk menghukum Ronggolawe yang dianggap mbalelo.

Dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras Lembu Sora hanya bisa menyaksikan pertarungan duel antara Kebo Anabrang dengan Ronggolawe. Kebo Anabrang yang jauh lebih berpengalaman berperang di medan air dalam suatu kesempatan yang singkat dapat memiting Ronggolawe. Kepalanya dapat dibenamkan di dalam Air. Ronggolawe blingsatan megap megap sekarat tidak bisa bernafas hingga akhirnya tewas secara mengenaskan.

Melihat peristiwa tersebut Lembu Sora menjadi teringat betapa insiden ini berlangsung yang sitenggarai sikap Ronggolawe yang sebenarnya membela dirinya, membela harkat dan martabatnya serta merupakan sikap sebagai seorang Kstaria jujur dan tulus membela pamannya.

Mengingat pembelaan yang dilakukan Ronggolawe yang justru berakhir tragis. Bagaimanapun juga Ronggolawe adalah keponakan yang ikut berjuang sejak di Singhosari hingga perjuangan membangun Majapahit. Segala ingatan saat itu membuat Lembu Sora menjadi kalut dan kehilangan pengendalian diri. Secepat kilat Lembu Sora mengeluarkan senjata dan berlari cepat langsung menikam Kebo Anabrang dari belakang.

Kebo Anabrang jatuh tersungkur bersimbah darah tanganya lunglai melepas cengkraman tengkuk Ronggolawe yang terbenam diair. Tak berselang lama tubuhnya roboh menjadi jasad bersama jasad Ronggolawe yang sama sama mengapung pada aliran sungai tambak beras.

Momentum itu berlangsung sangat cepat. Lembu Sora hanya diam terpaku tidak bisa berbuat apa apa menyaksikan dua orang kerabat sekaligus Ksatria terbaik Majapahit membujur kaku diayun ayunkan oleh aliran sungai Tambak Beras. Para prajurit baik kubu Tuban maupun kubu Majapahit yang tadinya saling betempur menentukan antara hidup dan mati seketika itu pula berhenti. Senjata pedang, tombak, gada dan keris di lepaskan dari genggaman tangan.

Musuh dihadapan mata yang sebelumnya berambisi untuk saling mendahului melukai sekarang tampak sebagai seorang sahabat karena terharu oleh gugurnya dua junjungan mereka masing masing yang terapung diatas air aliran sungai Tambak Beras. Detik itu pula peperangan dihentikan. Gencatan senjata dilakukan. Bahkan diantara mereka justru saling berangkulan dengan menitikan air mata. Sebagai penghormatan terhadap gugurnya Ksatria Ronggolawe dan Kebo Anabrang.

*Gugurnya Lembu Sora di Pelataran Kedhaton Wilwotikto*

Tewasnya Kebo Anabrang ditangan Lembu Sora disaksikan oleh banyak orang. Dan menjadi titik balik berhentinya peperangan di Kali Tambak Beras. Kejadian itu sudah dapat dipahami dan dimaklumi oleh Prabu Sri Kertarajasa. Insiden itu dalam beberapa tahun sudah tidak menjadi pembicaraan di kalangan istana sebab Prabu Sri Kertarajasa dan para Punggawa lebih fokus untuk mengembangkan Kerajaan Majapahit.

Namun situasi itu tidak sepenuhnya kondusif sebab para politisi busuk Majapahit kala itu dalam bebarapa kesempatan masih kasak kusuk mengungkit ungkit insiden Kali Tambak Beras. Mahapati Dyah Halayudha nampaknya belum puas memainkan siasat adu domba yang telah memakan banyak korban jiwa termasuk dua pahlawan agung Majapahit Kebo Anabrang dan Ronggolawe. Demi mencapai ambisinya untuk mendapatkan posisi Rakryan Patih, Mahapati Dyah Halayudha kembali bermanuver menciptakan adu domba.

Sikap Prabu Sri Kertarajasa yang memaklumi insiden Tambak Beras dan memaafkan Lembu Sora bahkan dikisahkan hubungan keduanya dari hari ke hari semakin membaik, menjadi dasar bagi Dyah Halayudha untuk mengobarkan isu tidak ada keadilan dan penegakan hukum.

Mahapati mempengaruhi anak Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruno untuk menuntut keadilan. Pada sisi yang lain Dyah Halayudha juga menghasut para punggawa Majapahit lainya agar Lembu Sora diadili melalui proses peradikan untuk bertanggung jawab atas kematian Kebo Anabrang.

Dikisahkan Mahisa Taruno telah terhasut untuk menuntut pengadilan terhadap Lembu Sora dan para Punggawa lainya juga terhasut hingga bersepakat untuk memberikan proses pengadilan kepada Lembu Sora dengan dalih penerapkan undang – undang Kutara Manawa Dharmsastra.

Pada saat itu Kitab Kutara Manawa Dharmsastra adalah dasar untuk dilaksanakanya proses pengadilan. Menurut undang undang yang termuat dalam Kutara Manawa Dharmsastra maka Lembu Sora seharusnya dihukum mati berdasarkan pasal astadusta.

Dikisahkan setelah suasana sudah sedemikian keruh selanjutnya Mahapati Dyah Halayudha melapor kepada Prabu Sri Kertarajasa bahwa para menteri merasa resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Lembu Sora dan tidak memberikan keadilan bagi keluarga Kebo Anabrang.

Atas laporan dari Mahapati Dyah Halayudha maka Prabu Sri Kertarajasa menjadi tersinggung karena dituduh berlaku tidak adil. Selanjutnya Sang Prabu menerapkan hukuman yaitu memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya sebagai Rakryan I Patih Daha sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Dikisahkan sebagai seorang politisi busuk yang pandai menjilat maka Mahapati Dyah Halayudha pada suatu kesempatan dalam sinewoko agung segera mengusulkan kepada Prabu Sri Kertarajasa dihadapan para punggawa lainya agar supaya Lembu Sora jangan sampai dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar terhadap Majapahit. Atas usulan dari Dyah Halayudha tersebut maka Prabu Sri Kertarajasa mempertimbangkan keadilan dengan memberi hukuman pada Lembu Sora berupa hukuman pembuangan ke Tulembang.

Kisah berikutnya adalah Mahapati Dyah Halayudha datang menemui Lembu Sora di rumahnya untuk menyampaikan surat keputusan Raja. Setelah membaca keputusan tersebut Lembu Sora disebutkan menjadi sangat sedih. Lembu Sora kepada Dyah Halayudha menyampaikan akan ke Kotaraja menghadap Sang Prabu guna meminta ganti hukuman mati saja. Baginya hukuman mati jauh lebih terhormat dari pada hukuman buang Tulembeng yang berarti harus meninggalkan tanah airnya.

Mendengar permintaan Lembu Sora selanjutnya Mahapati menemui Patih Nambi dengan memberikan informasi hoax yang menyebutkan jika Lembu Sora akan datang ke Kedhaton Majapahit untuk memprotes keputusan Raja. Patih Nambi dihasut sedemikian rupa oleh Dyah Halayudha yang pada pokonya kedatangan Lembu Sora adalah untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan raja.

Setelah Patih Nambi terhasut selanjutnya Dyah Halayudha mendesak Prabu Sri Kertarajasa agar memberikan izin kepada Patih Nambi untuk mempersiapkan pasukan khusus untuk menghadang Lembu Sora ketika hendak membuat kerusuhan di Istana.

Pada akhirnya 5 warsa setelah insiden Kali Tambak Beras tepatnya pada tahun 1300 Lembu Sora yang didampingi oleh Gajah Biru dan Juru Demung. Pada suatu siang yang terik datang ke Kotaraja bermaksud menghadap Sang Prabu Sri Kertarajasa guna meminta secara baik baik bentuk hukuman dari hukuman buang ke Tumbeleng menjadi hukuman mati saja.

Belum sempat menghadap langsung Sang Prabu di dalam Kedathon dan baru sampai di pelataran istana. Lembu Sora sudah dihadang para prajurit dilarang masuk bangunan Istana. Keributan pun terjadi hingga tiba tiba beberapa prajurit langsung menyerang dengan membabi bita. Pertempuran tak seimbang pun berlangsung secara sengit.

Sebelum matarahari terbenam maka Lembu Sora bersama dengan pendamping setia yaitu Gajah Biru dan Juru Demung tewas secara mengenaskan akibat dikeroyok oleh para prajurit pilihan Majapahit. Insiden itu sama sekali tidak disaksikan langsung oleh Sang Prabu. Selain hanya sebelumnya telah diberi informasi hoax jika Lembu Sora akan datang untuk membuat kerusuhan di Kraton Majapahit.

Darah Lembu Sora telah membasahi halaman istana Majapahit. Istana yang dahulu berupa alas hutan yang banyak tumbuh buah maja yang rasanya pahit. Istana yang dibangun dengan tetesan air mata, tetesan keringat bahkan tetesan darah dalam sebuah perjuangan yang mengharu biru.

Darah Lembu Sora yang tercecer dihalaman istana Majapahit telah menimbulkan kesedihan yang teramat dalam bagi Sri Kertarajasa dan seluruh punggawa kerajaan Majapahit. Nasi sudah menjadi bubur, Lembu Sora Sang Pahlawan Agung Majapahit kini sudah menjadi jasad.

Untuk menghormati segala jasa jasa besarnya pada Majapahit Prabu Sri Kertarajasa memerintahkan sebuah upacara kenegaraan Majapahit dalam prosesi kremasi pembakaran jasad Lembu Sora.

Kisah hidup dan kiprah Lembu Sora diabadikan dalam Kidung Sorandaka, Pararathon hingga Negarakertagama. Lembu Sora adalah pahlawan Agung yang sangat berjasa bagi Majapahit. Lembu Sora adalah seorang Ksatria yang jujur, berintegtitas dan sangat mencintai tanah airnya.

*Meneladani Sifat Ksatria Lembu Sora*

Membaca berbagai kisah hidup Lembu Sora yang hidup berabad abad yang lalu. Akan dapat ditemukan berbagai watak Lembu Sora sebagai sebuah kisah keteladanan.

Kisah hidup Lembu Sora tidak diragukan lagi adanya sifat kecintaanya pada tanah air. Sifat Kepahlawananya hinga sifat keberaniannya didalam berkorban dan keberanianya untuk menyelesaikan persoalan sebagai seorang perwira.

Segala sifat kebajikan Lembu Sora telah memenuhi syarat disebut sebagai seorang Perwira. Dalam pandangan hidup dan falsafah Jawa Lembu Sora telah memiliki empat anasir watak sebagai seorang Ksatria.

Dalam kisah hidup Lembu Sora terdapat anasir watak “Nglurug Tanpo Bolo”. Dalam frase ini dapat diartikan adalah tentang adanya keberanian di dalam kehidupan ini untuk bertanggung jawab dan mandiri dalam menjalani dan menghadapi segala permasalahan yang ada tanpa harus mengharapkan atau bahkan mengandalkan orang lain.

Dalam kisah hidup Lembu Sora terdapat anasir watak “Sekti Tanpo Aji”. Sekti atau sakti yang dimaksud adalah sebuah kemampuan yang melebihi dari kemampuan orang-orang biasa, dan dalam hal ini kemampuan yang berhubungan dengan kanuragan, bela diri, ataupun kemampuan mistis/supranatural. Tanpa aji yang dimaksud adalah tanpa ilmu bela diri atau ilmu mistis tertentu dan juga dapat diartikan tidak menggunakan barang berupa pusaka, sehingga boleh dikatakan bahwa seseorang itu mampu lebih dari kemampuan orang biasa dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya sendiri.

Maksud dari falsafah ini adalah tentang bagaimana kita memberdayakan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita sehingga kita mempunyai kemampuan yang lebih untuk menjalani hidup tanpa mengandalkan kekuasaan atau jabatan untuk menghadapi semua permasalahan hidup yang ada.

Dalam diri Lembu Sora dikisahkan memiliki anasir watak “Menang Tanpo Ngasorake”. Maksud dari frase ngasorake adalah merendahkan atau mengalahkan. Falsafah yang hendak disampaikan adalah bagaimana kita mencapai tujuan kita tanpa membuat orang lain merasa dirugikan ataupun direndahkan, dan prinsip hidup ini merupakan salah satu prinsip hidup yang mendasar bagi sosial masyarakat sehubungan dengan prinsip tepo seliro.

Dalam kisah hidup Lembu Sora akan ditemukan kisah dalam anasir “Sugih Tanpo Bondho”. Frase kata sugih dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah kaya atau berkecukupan, sedangkan tanpa bandha terjemahannya adalah tanpa harta benda. Dalam frase inipun arti katanya juga bertolak belakang karena kaya adalah identik dengan mempunyai harta benda yang banyak sedang kata yang lainnya mempunyai arti tidak punya harta benda.

Pesan dari anasir ini adalah dalam kehidupan ini harta benda bukanlah segala -galanya, karena memiliki harta benda yang banyak sekali pun tidak akan menjamin ketenteraman dan kebahagiaan hidup ini. Untuk mencapai kebahagiaan hidup, tidak harus mengandalkan harta benda semata tetapi juga harus kaya di dalam hal yang lainnya juga, misalnya kita kaya dalam hal teman yang banyak, pengetahuan yang banyak, kebaikan yang banyak dan lain sebagainya di luar harta benda.

Dalam falsafah Jawa tersebut dapat menjadi salah satu pegangan dalam memahami kisah hidup Lembu Sora. Segala karakter dan keteladanan Lembu Sora dapat distimbatkan pula dengan tokoh dunia pewayangan yaitu Bisma.

Bisma digambarkan sebagai sosok manusia yang mencintai secara total negerinya dan selalu berpikir apa yang terbaik yang bisa diberikan untuk Kerajaan dan rakyatnya. Bisma sebagai sosok yang secara ikhlas rela melepas takhta, kuasa dan cinta yang dianggap menjadi lambang kesuksesan hidup manusia.

Bisma disebut sebut sangat ahli dalam segala siasat peperangan sehingga sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Menurut Mahabharata, Bisma gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. Bisma menghembuskan napas terakhirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

Dengan membaca kisah kehidupan Lembu Sora semoga kita yang hidup diera ini bisa merenungi segala dinamika kehidupan kemanusiaan masa lalu. Segala sifat bajik dan Ksatria yang ditorehkan oleh Lembu Sora dapat menjadi nilai keteladanan. Semoga segala amal kebajikan yang diwariskan oleh Lembu Sora dalam kehidupanya berabad abad yang lalu dapat menjadi amal yang tiada terputus baginya. Sebab hingga detik ini secara tidak langsung segala perjuangannya dahulu masih dapat kita rasakan dalam kehidupan kita sebagai Warga Negara Indonesia.

Lembu Sora adalah Ayat – Nya.

Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah

Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب)
Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”

———————————————————————————-
Tulisan ini diramu dari telaah dengan buku sejarah sebagai sumber bacaan yaitu :
1. Mangkudimedja, R.M, Serat Pararaton, Jilid 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta. 1979.
2. Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, LKiS. Yogyakarta. 1995.
3. Poesponegoro & Notosusanto (ed.). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Balai Pustaka. Jakarta. 1990
4. Sujiwo Tedjo, Serat Tripama: Gugur Cinta Di Maespati, First published, 2016
5. Wikipedia.

———————————————————————————-
Penulis adalah pemerhati kisah kemanusiaan masa lalu kini sehari hari belajar berternak dengan 3 ekor kambing di desa

Berita dengan Judul: Lembu Sora Kesatria Majapahit Yang Gugur Di Pelataran Istana, Dia Ikut Membangunnya pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni