Lelaki tak bertanggung jawab berinisial DW menjadi penumpang pesawat maskapai Citilink rute Jakarta-Ternate, Maluku Utara (Malut), pada Minggu (18/7) kemarin. Ia ketahuan memalsukan hasil tes PCR agar bisa pulang kampung, padahal tahu dan sadar sedang positif Covid-19. Demi menembus pemeriksaan di bandara, DW memalsukan dokumen PCR menggunakan identitas dan hasil tes istrinya. Ia juga berpura-pura menjadi sang istri, menggunakan pakaian tertutup serta cadar.
Menurut cerita Kepala Operasional Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kota Ternate Muhammad Arif Gani, petugas Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta berhasil dikelabui pelaku. Identitasnya terbongkar kala pramugari pesawat yang ditumpanginya mendapati DW mengganti pakaian wanita menjadi kemeja pria di toilet pesawat. Pramugari langsung menghubungi Bandara Sultan Baabullah, Ternate, dan melaporkan temuannya. Sampai di bandara tujuan, DW ditahan. Benar saja, setelah melakukan tes usap, hasilnya positif.
“Setelah hasil positif Covid-19 pihak bandara langsung menghubungi tim Satgas Penanganan Covid-19 Kota Ternate, untuk melakukan evakuasi dengan memakai pakaian alat pelindung diri, kemudian dibawa menggunakan mobil ambulans menuju rumah untuk melakukan isolasi mandiri dan akan diawasi oleh petugas Satgas,” kata Arif, seperti dilansir Antaranews.
Belum ada keterangan mengenai konsekuensi hukum yang akan diterima DW. Namun, merujuk pernyataan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, pihak yang kedapatan memalsukan surat keterangan hasil tes PCR bisa dikenai KUHP Pasal 268 ayat 1 tentang pemalsuan surat dengan ancaman empat tahun penjara. Atau mengacu kasus lain, pemalsuan surat di Bandara Soekarno-Hatta pada 7 Januari 2021 disebut akan dijerat pakai UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU tentang Wabah Penyakit Menular.
Perkara orang yang berkeliaran meski tahu sedang membawa virus juga terjadi di Padang, Sumatera Barat. WN, pria asal Riau, berniat melanjutkan rencana pernikahannya di Padang dalam kondisi positif Covid-19.
Awal mula kejadian, WN dinyatakan termasuk dalam rilis pasien Covid-19 dari Puskesmas Rejosari, Pekanbaru per 15 Juni 2021. Bukannya isolasi, WN tetap berangkat ke Padang sebab ia akan menikah pada 19 Juni. Aparat segera memburu WN ke Padang dan menemukannya di alamat rumah calon pengantin perempuan. “Setelah ditemukan Bhabin, dan Polsek Nanggalo minta kepada keluarga dan WN untuk isolasi. Penularan dapat dicegah untuk mencegah timbulnya klaster pesta pernikahan,” kata Kapolresta Pekanbaru Nandang Mukmin Wijaya saat dikonfirmasi Detik.
“Saat di-tracing, saudara WN lewat telepon tidak mengaku dan menyampaikan bahwa salah alamat. Kemudian Bhabin bilang ada data lengkap sesuai nama, tanggal lahir, nomor KTP, hingga lokasi swab,” tambah Nanang.
Tidak bisa berkelit, WN kemudian mengaku dan diminta aparat mengisolasi diri selama dua pekan. Kejadian serupa juga bisa ditemukan di Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat), Surabaya (Jawa Timur), Jakarta Pusat (DKI Jakarta), Solo (Jawa Tengah), Semarang (Jawa Tengah), dan Sukoharjo (Jawa Tengah).
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menjelaskan bahwa kelompok masyarakat bebal ini buah dari manajemen dan pengelolaan pandemi pemerintah yang kurang optimal. “Ketika sistem kita yang mendasar, aspek 3T [test, tracing, treatment] itu tidak dilakukan dengan memadai, orang akan memanfaatkan celah-celah ini, akan selalu ada celahnya. Orang yang bergerak harus memiliki potensi kecil membawa virus. Caranya? Ya pendeteksian kasus secara aktif,” kata Dicky saat dihubungi VICE.
Dicky menilai, kebijakan pengetatan dan penyekatan sifatnya hanya menambah jaring pengaman. “Yang paling penting adalah 3T itu, ini yang masih menjadi PR. Pengelolaan belum menempatkan aspek 3T secara tepat. Untuk pemahaman semua pihak, terutama kepala daerah, bahwa penemuan kasus itu [harusnya dianggap] prestasi, bukan wanprestasi,” tambah Dicky.
Mengenai cara mendekati kelompok masyarakat yang bebal, Dicky menilai intervensi tokoh bisa membantu. “Penguatan strategi pandemi itu tentu harus ada literasi. Literasi ini harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun ya tokoh dari kalangan-kalangan grup itu sendiri. Apakah itu pekerja di pasar, mahasiswa, dan sebagainya. Mereka bisa menggunakan bahasa mereka sendiri sehingga akan lebih efektif.”