Seorang lelaki di Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, langsung menceraikan istrinya sesaat setelah ijab kabul di hari pernikahan mereka. Selepas menandatangani dokumen dari Kantor Urusan Agama, pelaku mengambil mikrofon dan mengumumkan talak. Dipermalukan di depan publik, keluarga mempelai perempuan langsung muntab dan menghajar pelaku. Situasi sakral pernikahan berubah ricuh. Insiden itu terjadi pada Minggu (4/7) lalu, lantas jadi konsumsi umum usai rekamannya tersebar luas di Facebook.
Video bisa dilihat di tautan ini, diunggah oleh akun Facebook dengan nama Delian Lubis. Per 9 Juli, video sudah dibagikan lebih dari 2.700 kali dengan hampir seribu komentar.
“Hari ini saya talak Yati,” kata pria tersebut sambil berdiri, membuat siapa pun yang hadir kaget. Dari video, prosesi akad nikah terlihat dilakukan di halaman rumah mempelai perempuan dan dihadiri oleh cukup banyak tamu.
Fendi, kerabat mempelai perempuan, menceritakan latar belakang insiden itu kepada wartawan. Dari pengakuannya, akad tidak dihadiri keluarga pria sebab tidak merestui. Mempelai perempuan sedang hamil, namun keluarga pria menolak anaknya menanggung konsekuensi. Alhasil, segala persiapan pernikahan dilakukan sepenuhnya oleh keluarga mempelai perempuan. Mempelai pria hanya datang di hari pernikahan, yang justru bikin kekacauan.
“Orang tua si laki tidak merestui, orang tua si laki tidak datang waktu akad. Ini kan keadaan darurat. Pihak mempelai wanita sudah mempersiapkan mulai dari acara adat sampai seterusnya,” ujar Fendi kepada Tribunnews. Fendi mengatakan talak dilakukan karena pelaku mau menuruti keinginan keluarganya yang enggak merestui dan tak ingin anaknya menikah. Namun, yang paling penting untuk diperhatikan adalah kondisi mempelai perempuan yang disebut Fendi masih kaget dan kecewa.
Komnas Perempuan menilai kasus ini masuk kategori kekerasan terhadap perempuan. Pengumuman talak di ruang publik secara tiba-tiba membuat mempelai perempuan tidak nyaman dan berada di situasi yang tidak menyenangkan. Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengkhawatirkan kondisi mempelai perempuan yang jadi korban.
“Saya harap perempuan itu bisa recovery dari traumanya ya. Dan masyarakat tidak menambah stigma negatif terhadap korban dan keluarga yang menjadi korban. Kalau masyarakat malah menambahkan malah nanti jadi persoalan juga,” ujar Alimatul kepada Detik.
Alimatul menyarankan mempelai perempuan untuk melaporkan kejadian ke penegak hukum agar tak terjadi pengulangan. Kejadian sudah membuat suami menempatkan istri sebagai objek atau kelompok yang dapat direndahkan, “Toh, itu sebenarnya menceraikan itu kan tandanya sudah ada ikatan ya, walaupun hanya beberapa menit, sehingga sudah dapat menggunakan UU PKDRT [Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga],” tambah Alimatul.
Dalam UU 23/2004 tentang PKDRT, Pasal 5 menyebut kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga bisa masuk kategori kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan Pasal 7 mendefinisikan kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Menurut Pasal 45, pelaku kekerasan ini bisa diancam maksimal tiga tahun penjara dan denda Rp9 juta.
Pernikahan singkat serupa ternyata pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Seorang tentara bernama Bayu Dzulfikar menceraikan istrinya, Lia, hanya lima jam setelah menikah. Bayu merasa ditipu karena istrinya berbohong mengaku sebagai karyawan bank. Saat hari pernikahan, keluarga curiga karena tak satu pun rekan kerja sang istri datang sehingga ibu Bayu mendatangi kantor sang perempuan untuk mendapati tak ada karyawan bernama Lia di sana. Bayu dan keluarga akhirnya sepakat mengakhiri pernikahan itu.