Hasan Azhari alias Arman Chasan resmi berhadapan dengan raksasa teknologi Indonesia, GO-JEK, gara-gara perkara klaim hak cipta. Tukang ojek di Bintaro, Tangerang Selatan ini baru saja menggugat GO-JEK dan pendirinya, Mendikbudristek Nadiem Makarim, ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, 31 Desember 2021. Jika gugatan ini dikabulkan seluruhnya sebagaimana diminta Arman, doi bakal menerima ganti rugi sebesar Rp24,91 triliun.
Tapi GO-JEK tak perlu terlampau defensif. Pengacara spesialis hak cipta yang dihubungi VICE bilang gugatan Arman “membingungkan”. Dasar gugatan ini adalah klaim Arman bahwa doi adalah penemu konsep ojek online, bahkan sebelum Uber berdiri (2009). Versi Arman, pada 2008 ia sudah memasarkan jasa ojek yang mana drivernya adalah dia sendiri dengan perantara internet. Promosi itu dilakukan lewat postingan blog ojekbintaro.blogspot.com dan unggahan Facebook.
Konsep ojol Arman yakni dengan memasarkan jasanya lewat blog dan medsos. Nantinya, calon pelanggan yang tertarik bisa langsung mengontak doi via SMS untuk memesan jasanya. Hal lain yang bikin Arman menuding GO-JEK sebagai penjiplak, adalah konsep “tukang ojek profesional” yang santun, rapi, dan bersih.
“Klien kami sejak tahun 2008 sudah menciptakan model bisnis ojek online, sementara Pak Nadiem Makarim mendirikan GO-JEK pada tahun 2011, yang model bisnisnya sama dengan klien kami,” terang kuasa hukum Arman, Rohmadi, di salah satu acara YouTube, dikutip Bisnis. Rohmani juga menyebut kliennya punya sertifikat hak cipta ojek online. Modul produksi Kementerian Hukum dan HAM ini mengonfirmasi pernyataan Rohmani, bahwa pada 2020 Arman sudah didampingi membuat “sertifikat hak cipta atas Ojek Online Bintaro”.
Pengadilan menjadwalkan sidang pertama digelar pada Kamis, 13 Januari nanti. Sebelum gugatan ini, setidaknya sejak 2019 Arman aktif bergerilya di internet mengabarkan bahwa ialah pencipta konsep ojol. Channel YouTube dan medsos jadi arsip liputan TV yang pernah mengulas usaha ojolnya. Ia bahkan menulis bio Instagramnya dengan nada terluka, “Pelopor/perintis ojol pertama sejak 2008, jauh sebelum ada aplikasi GO-JEK dan Grab, yang banyak diliput media 2008-2011, dan kini dicampakkan dan dilupakan.”
Sementara ini tanggapan GO-JEK masih moderat. Melalui keterangan tertulis pada media, Chief Corporate Affairs GO-JEK Nila Marita mengaku belum mendapat surat pemberitahuan gugatan tersebut. Marita turut menekankan bahwa GO-JEK senantiasa berkomitmen mematuhi seluruh peraturan hukum di Indonesia.
Bagaimanapun, kasus ini mengandung banyak misteri. Misalnya, Arman pernah mengaku sempat dihubungi Nadiem Makarim saat GO-JEK akan berdiri, dengan maksud mengajak bekerja sama, namun tidak ada tindak lanjut (sehingga membuatnya kecewa). Arman juga sempat menjadi driver GO-JEK sebelum melayangkan gugatan ini. Namun yang paling misterius, adalah apa dasar keyakinan pengacara Arman bahwa gugatan ini berpeluang berhasil dikabulkan majelis hakim pengadilan niaga.
Sebab, menurut pengacara spesialis hak cipta Fallissa Putri kepada VICE, gugatan ini “membingungkan”. Bermodal keterangan terbatas mengenai gugatan ini, Uti, panggilan Fallissa, masih meraba-meraba apa sih yang lagi diklaim penggugat. Konsep ojol?
Kalau iya, “Berdasarkan Pasal 41 huruf b UU 28/2014 tentang Hak Cipta, konsep bukanlah obyek perlindungan hak cipta,” kata Uti kepada VICE. “Kita bisa balik ke definisi Hak Cipta berdasarkan UU, bahwa obyek perlindungan Hak Cipta adalah hasil karya yang sudah diwujudkan dalam bentuk nyata. Makanya ‘konsep’ enggak termasuk.”
VICE lalu menunjukkan catatan Kemenkumham bahwa Arman Chasan sudah mendapat “sertifikat hak cipta atas ojek online”. Inilah yang bikin Uti bertambah bingung. “Maksudnya sertifikat merek? Karena hak cipta enggak ada sertifikatnya. Ini membingungkan sih. Karena hak cipta tidak didaftarkan ke pemerintah, hanya bisa dicatatkan; hak cipta tidak ada sertifikatnya, hanya pencatatan [itu pun kalau dicatatkan ke pemerintah]; kalau ini maksudnya pencatatan hak cipta, informasinya kurang. Jenis karya apa yang dicatatkan? Seni lukis? Program komputer?” tanya Uti.
Pertanyaan-pertanyaan itu, biar Pak Rohmani yang menjawab. Sambil menunggu persidangan berlangsung, kami bertanya pada Uti tentang cara membuktikan diri sebagai pemegang hak cipta. Nih caranya.
“Tunjukkan surat pencatatan hak cipta yang diterbitkan oleh Dirjen Kekayaan Intelektual. Kalau surat ini enggak ada, berarti pencipta mesti menunjukkan bahwa dia yang menciptakan karya itu pertama kali. Lebih baik lagi kalau karyanya dibubuhkan nama pencipta dan tanggal penciptaan. Pencipta tunjukkan juga proses-proses penciptaan yang dia lalui sampai karyanya jadi,” jawab Uti.
Wow, tukang corat-coret tembok kamar mandi yang suka membubuhkan tanggal tergolong sadar hak cipta banget dong. Berasa TIL nih.