Berita  

Larangan Ikut Bimbel di Tiongkok Ternyata Gagal Meringankan Beban Pelajar

larangan-ikut-bimbel-di-tiongkok-ternyata-gagal-meringankan-beban-pelajar

Sejak 2021, para orang tua di Tiongkok tak lagi diizinkan mendaftarkan anaknya ikut bimbingan belajar. Kebijakan baru ini dimaksudkan untuk meringankan beban pelajar. Namun, pemerintah justru mendapat kritik keras dari pihak orang tua.

“Kebijakan ini tidak mengurangi kekhawatiran orang tua!” demikian komplain seorang pengguna Weibo.


“TAL Education Group dulu murah, tapi sekarang cuma ada pilihan les privat seharga $160 (setara Rp2,3 juta),” keluh pengguna lain, merujuk pada penyedia jasa bimbel yang populer di dalam negeri.

Selain melarang les tambahan di luar jam sekolah, Tiongkok juga mendesak guru mengurangi PR bagi siswa sekolah dasar dan menengah. Harapannya ini bisa sekaligus meringankan beban orang tua di rumah.

Satu tahun berselang dan larangan itu terbukti sulit diterapkan. Kebijakannya bahkan disebut-sebut memperburuk ketimpangan pendidikan di Negeri Tirai Bambu.

“Orang tua yang berkecukupan masih bisa mendaftarkan anaknya les privat di rumah,” ungkap mantan guru les Hellen Huang. “Selama masih ada permintaan, layanan bimbel akan tetap beroperasi, meski diam-diam.”

Kebijakan satu anak, Tiongkok, larangan bimbel

Huang kehilangan pekerjaannya setelah kebijakan tersebut menjungkirbalikkan industri senilai miliaran yuan. Pada 2020, penyedia jasa bimbel besar seperti New Oriental dan TAL Education Group masing-masing memiliki lebih dari 10,6 juta dan 4,6 juta murid di seantero Tiongkok. Harga saham perusahaan terjun bebas, sedangkan tempat-tempat les berukuran kecil gulung tikar.

Upaya pembatasan kegiatan belajar di luar sekolah juga ditujukan untuk mengurangi biaya membesarkan anak, yang diyakini menjadi salah satu alasan penurunan tingkat kelahiran di negara terpadat di dunia. Masih pada tahun yang sama, Tiongkok mendorong pasangan suami istri melahirkan keturunan hingga tiga anak untuk mengatasi populasi yang menua akibat “Kebijakan Satu Anak”, yang diberlakukan sejak 1980-an dan dicabut enam tahun lalu.

crude-birth-rate.png

Bagi keluarga miskin, keberhasilan anak di bidang pendidikan diharapkan dapat memperbaiki nasib mereka. Huang berpendapat, anak dari keluarga miskin akan semakin kesulitan mengejar pendidikan tinggi tanpa adanya pilihan bimbel yang lebih terjangkau.

Di Tiongkok, ada kesenjangan yang cukup kentara antara pendidikan di desa dan di kota. Pemerintah menggalakkan program wajib belajar sembilan tahun gratis, tapi kenyataannya jumlah pelajar yang putus sekolah setelah kelas delapan lebih tinggi di pedesaan daripada perkotaan.

Berdasarkan laporan The Borgen Project, organisasi nirlaba yang senantiasa mendukung program pengentasan kemiskinan, 60 persen pelajar di daerah pedesaan putus sekolah lantaran tidak mampu lanjut ke kelas sembilan. Sementara itu, hanya lima persen murid yang bisa masuk perguruan tinggi, jika dibandingkan dengan 70 persen pelajar di daerah perkotaan.

Les tambahan diberikan guna mempersiapkan siswa dalam mengikuti gao kao, setara Ujian Nasional yang tingkat kesulitannya tinggi. Sebelum kebijakan larangan diberlakukan, tak sedikit orang tua memakai jasa bimbel untuk meningkatkan prestasi anak, yang sayangnya sering membuat anak kewalahan oleh jam belajar yang sangat padat.

Pelajar 18 tahun bernama Dai Shuqi sebentar lagi akan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Gadis remaja yang tinggal di kota Xi’an, Tiongkok barat, menceritakan betapa melelahkannya program “cram school”, atau kelas tambahan di luar jam sekolah.

Dia dan teman-temannya harus bangun pukul 6 pagi untuk pendalaman materi, dan baru pulang ke asrama larut malam.

“Kami sudah kelelahan, tapi masih harus ikut kelas keesokan harinya. Jadinya kami mengerjakan PR bergiliran. Seseorang akan mengerjakannya duluan, sedangkan yang lain tidur. Begitu selesai, kami akan membangunkan orang lain. Kadang-kadang ini berlangsung hingga pukul 3 pagi,” kenang Dai.

“Orang tua ingin anak mereka masuk sekolah dan universitas unggulan. Orang tua ingin anak bersaing; mereka menyuruh kami ikut bimbel supaya tidak ketinggalan pelajaran. Itulah sebabnya kami selalu memikul beban yang berat.”

Pelajar dan orang tua saling memberi semangat sebelum tes masuk perguruan tinggi.
Pelajar dan orang tua saling memberi semangat sebelum tes masuk perguruan tinggi.

Kegiatan “cram school” semacam itu telah dilarang, meski beberapa mungkin tetap beroperasi secara ilegal.

Terlepas dari penolakan yang cukup kencang di kalangan orang tua, masih ada yang optimis dengan larangan tersebut. Mereka berharap ini dapat menciptakan perkembangan yang lebih positif bagi anak-anak.

Berbeda dari kebanyakan guru les online, Tan Baole selaku pendiri Youth Rising Education Company menyediakan pelatihan yang berfokus pada pengembangan diri murid. Dia menyebut orang tua seharusnya lebih mengedepankan kualitas pendidikan anak guna membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang “sehat dan bahagia”.

“Mayoritas [anak-anak] berhenti les sejak kebijakan diberlakukan. Pola pikir masyarakat mulai berubah sejak adanya larangan tersebut, dan norma baru mulai dikenal lebih banyak orang,” tuturnya.

Istri Baole, Zhang Hui, menyampaikan hal serupa. “Saya akan lebih mengutamakan anak menemukan bakatnya sendiri,” terangnya.

Namun, tak semua orang yakin larangan bimbel akan membawa dampak baik. Sejumlah pelajar lebih menyalahkan sistem ujian yang menuntut di negaranya.

“Masih ada ujian masuk,” kata mahasiswa bernama Liu Cheng Ze Hua. “Sekolah masih menyeleksi kami berdasarkan skor ujian. Selama sistemnya masih sama, keadaannya tidak akan berubah, terlepas ada kebijakan atau tidak.”