Oleh : Kanisius Jehabut
(Mahasiswa Paska Sarjana Tingkat Doktoral – Universitas Trisakti – Jakarta)
“Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak madu, adalah harta harapan.”
Sepenggal syair lagu tanah Papua karya Yance Rumbino di atas adalah gambaran nyata tentang tanah Papua. Tanah ini kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), seperti tambang emas, tembaga, minyak bumi, dan hutan maha luas. Tak mengherankan, jika Papua menjadi incaran banyak raksasa-raksasa korporasi tambang asing-domestik.
Korporasi raksasa dari Amerika Serikat yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Mimika, Papua, PT Freeport Indonesia adalah contoh. Sejak awal kedatangannya di tanah Papua tahun 1967, Freeport memang menambang di atas hutan dan tanah ulayat suku Amungme dan suku Komoro.
Kehadirannya serentak membuat masyarakat pemilik hak ulayat terpinggir dan harus keluar dari tanah kelahiran dan tanah warisan leluhur mereka di Nemangkawi di sekitar pegunungan Cartens. Banyak cerita diperoleh, sejak pertambangan di mulai, masyarakat suku Amungme dan suku Komoro diungsikan secara paksa ke tempat lain agar korporasi bebas mengeksplorasi kekayaan alam, seperti emas dan tembaga di pegunungan Earstberg dan Grasbarg yang sangat kaya.
Dari banyak fakta yang saya temukan di media-media nasional ditemukan bahwa potensi kekayaan tambang tembaga Freeport mencapai miliaran troi ons dan jutaan ons emas. Potensi kekayaan emas dan tembaga yang begitu besar membuat Freeport Indonesia menjadi salah satu raksasa tambang terbesar di Indonesia dan dunia.
Sejak tahun 2000-2021, Freeport Indonesia selalu konsisten memproduksi tembaga di atas 160,000 matrik ton per hari dan tahun 2023 memasuki tambang underground dengan rata-rata produksi di atas 217,000 matrik ton tembaga per hari. Tentu itu hasil yang sangat besar.
Dari produksi yang melimpah itu, Freeport Indonesia selalu konsisten mencetak laba di atas 2 miliar dolar per tahun atau di atas Rp 30 triliun per tahun. Dan memasuki tambang underground tahun 2022, Freeport kabarnya akan mencetak laba di atas 3 miliar dolar atau 4 miliar dolar per tahun atau setara dengan Rp 50-60 triliun. Menurut perhitungan kasar, jika laba Freeport diakumulasikan sampai akhir jangka waktu pengembangan tambang di 2041, setidaknya Indonesia akan mendulang laba bersih US$ 34,17 miliar, atau sekitar Rp 478 triliun dalam 20 tahun. Sangat kaya kan tanah Papua. Menyimpan segudang emas dan tembaga. Lantas bagaimana dengan masyarakat Papua apakah hidup sejahtera parallel dengan sumber kekayaan mereka?
Tentu tidak. Angka kemiskinan di Papua masih terendah dari setiap provinsi di Indonesia. Begitupun dengan kabupaten Mimika, sebagai daerah penghasil dan rumah bagi perusahaan tembaga dan emas kelas dunia tersebut. Angka kemiskinan sangat tinggi.
Warga asli Mimika selaku pemilik hak ulayat tidak begitu besar hidup di kota, mereka terhimpit ke pinggiran dan desa-desa terpencil, hidup berkecukupan dan sulit untuk menatap hari depan lebih baik. Inilah yang disebut paradoks of plenty oleh banyak pemikir di Barat. Daerah yang kaya Sumber Daya Alam (SDA), tetapi rakyatnya hidup miskin dan tersiksa. Bahkan rakyat di sekitar tambang hampir tak diperhatikan.
Paradoks of plenty yang ditunjuk para pemikir di Barat itu, mudah sekali kita temukan di kabupaten Mimika, rumah raksasa tambang Freeport Indonesia ini. Coba anda berjalan-jalan di sepanjang daerah Mimika Timur seperti daerah Pomako, dan Pulau Karaka.
Di sepanjang jalan, banyak rakyat hidup dalam kondisi mengenaskan. Mereka harus tinggal di rumah di atas genangan air yang kotor dan banyak sampah. Banyak yang berpikir, itu sudah kehidupan mereka selama bertahun-tahun.
Menurut saya, itu keliru. Jika air dan genangan air di bawah rumah-rumah penduduk itu bersih dan lingkungan alamnya bersih, itu tentu sesuatu yang kita kehendaki dan saya sepakat. Namun, yang terjadi, rumah-rumah itu penuh sampah berserakan dan menjadi tak sehat. Mereka berenang di atas kolam yang kotor yang membuat mereka mudah jatuh sakit. Masih banyak paradoks lainnya yang mudah anda temukan di wilayah dekat pertambangan Freeport Indonesia.
Potret kemiskinan di Kabupaten Mimika dapat dengan jelas kita saksikan dibeberapa pemukinan warga pemilik hak ulayat suku Kamoro sekitar kota Timika maupun di daerah-daerah pesisir. Didaerah pegunungan juga tidak lebih baik dari daerah pesisir. Kalau dibandingkan dengan pemukiman mewah yang dibuat oleh PT. Freeport Indonesi di Kuala Kencana.
Keberadaan warga suku Kamoro memang sangat memprihatinkan, dusun-dusun mereka yang dahulu dianggap sebagai surga kini tinggal kenangan dengan berbagai eksploitasi mulai dari tempat pembuangan limbah PT. Freeport sampai kepada pembabatan hutan untuk kelapa sawit dan Penebangan kayu. Suku Amungme pemilik gunung Nemangkawi tempat keramat yang dianggap sebagai surga bagi para leluhur mereka juga telah hilang dan kuasai oleh Freeport.
Miris memang, Hutan dan gunung yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tetapi pemiliknya hidup dibawah garis kemiskinan, sementara para pemilik modal bergelimpangan harta. PT. Freeport Indonesia misalnya memperoleh keuntungan Milyaran dolar dari Tembagapura. Sementara Pemerintah Kabupaten Mimika pada tahun 2021 mendapatkan bagian Rp 300 miliar dari keuntungan bersih yang diperoleh oleh PT Freeport Indonesia .
Paradoks itu hendak mengatakan bahwa yang namannya korporasi memang suka mencari untung. Mereka tak pernah sibuk mengurus nasib warga sekitarnya. Bagi mereka, sudah cukup dana 1 persen melalui Lembaga Masyarakat Adat Amungma dan Komoro, sementara puluhan triliun mereka bawah ke luar agar mereka menjadi perusahaan kaya dan tak tertandingi di dunia.
Lantas, bagaimana dengan sair lagu Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak madu, adalah harta harapan ? siapa yang kaya ? surga ada dimana ? madu yang menjadi harta harapan ada dimana ?
Tulisan ini tidak hendak menjawab pertanyaan di atas. Tulisan ini menyoroti bagaimana roh dari lagu tanah Papua dapat dirasakan masyarakat pemilik tanah. Selain itu, tujuan dari pertambangan strategis harus sesuai dengan amanat konstitusi UUD’45, pertambangan harus dialamatkan untuk kesejahteraan rakyat, tak terkecuali rakat Papua lebih khusus pemilik hak ulayat. Namun, itu tak terjadi sepenuhnya dengan keberadaan Freeport Indonesia.
Dengan logika terbalik, keberadaan Freeport Indonesia berarti melanggar konstitusi UUD’45, karena gagal menyejahterakan rakyat Papua. Lantas jika korporasi gagal, di mana pemerintah yang bertugas meregulasi, mensupervisi korporasi dan memerintahkan korporasi agar taat konstitusi?
Yang menjadi soal adalah, sejak Freeport Indonesia hadir di bumi Cenderawasih tanah Amungsa, pemerintah pusat hampir tak berperan apapun untuk kesejahteraan warga sekitar lingkar tambang. Pusat hanya datang satu, dua hari, lalu pulang ke Jakarta. Mereka tak pernah memahami bagaimana warga Pomako dan Pulau Karaka yang hidup di bawah perumahan yang tak layak huni. Pemerintah pusat juga tak pernah memahami bagaimana masyarakat Amungme hidup dilereng gunung melarat tanpa fasilitas public memadai. Yang pusat tagih adalah bagaimana dengan produksi tambang Freeport apakah meningkat atau tidak, karena itu terkait penerimaan negara untuk pusat. Jadi, negara ini sudah lama tidur dan abai terhadap masyarakat lingkar tambang. Jika negara sudah bersekutu dengan korporasi, yang terjadi adalah rakyat semakin miskin dan kutukan sumber daya alam terus terjadi di tanah Papua.
Berita dengan Judul: Kutukan Sumber Daya Alam pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Redaksi