Taliban selangkah lagi sukses menggulingkan pemerintahan demokratis Afghanistan. Pasukan milisi Islamis itu berhasil memasuki Ibu Kota Kabul pada 15 Agustus 2021, dan merebut Istana Kepresidenan.
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, dilaporkan sudah kabur ke Tajikistan, negara tetangganya, sebelum Taliban merangsek masuk ibu kota. Kabarnya, petinggi Taliban tengah bernegosiasi dengan para tetua suku di Afghanistan untuk memastikan mereka bisa menjadi pemerintah sah dalam waktu secepatnya.
Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban membuat berbagai negara mengirim misi evakuasi untuk diplomat, relawan internasional, hingga warga asing yang bekerja di Afghanistan selama beberapa tahun terakhir. Amerika Serikat bahkan sudah mengerahkan ribuan tentara sejak 14 Agustus untuk mengevakuasi warga AS dari wilayah Ibu Kota Kabul. Sepanjang akhir pekan lalu, helikopter militer bersliweran di udara Kabul, untuk mengevakuasi ribuan warga asing.
Namun, ketika dikonfirmasi oleh CNN, Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken menolak jika jatuhnya Kabul disamakan dengan insiden Saigon, ketika pasukan komunis berhasil merebut ibu kota Vietnam Selatan yang disokong AS. Pasukan komunis lantas menyatukan negara tersebut selepas invasi AS dan mengklaim berhasil mengalahkan Negeri Paman Sam.
Sementara, dalam kasus Afghanistan, Blinken berdalih bahwa misi Amerika Serikat di Afghanistan sudah tuntas. Sebab pentolan teroris yang mendukung Al Qaeda melakukan aksi teror 9-11 di negara itu semuanya sudah dibunuh atau ditangkap.
“Situasi yang terjadi di Afghanistan tidak sama dengan Saigon,” tandas Blinken. “Kita mengirim militer ke negara tersebut 20 tahun lalu dengan satu misi, dan misi tersebut telah dijalankan dengan sukses.”
Sejak akhir Juli 2021, Amerika Serikat menarik seluruh tentaranya di Afghanistan, mengakhiri proses pendudukan selama 20 tahun terakhir di negara tersebut dengan dalih “perang melawan teror”. Di tengah situasi transisi itulah, Taliban yang selama ini bertahan di pegunungan mengambil inisiatif. Ribuan militan Taliban merangsek ke kota-kota besar Afghanistan, dan sejak awal Agustus, sudah menguasai secara de facto lebih dari 50 persen wilayah negara tersebut.
Saat diwawancarai BBC, juru bicara Taliban Suhail Shaheen menjamin bahwa keselamatan dan kesejahteraan semua penduduk Afghanistan akan menjadi fokus utama mereka setelah kembali berkuasa. “Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan,” tandasnya. “Ketakutan sebagian warga pada kami [rezim Taliban] tidak berdasar pada kenyataan.”
Taliban juga menjamin proses pemindahan kekuasaan tidak akan diwarnai kekerasan. Sehingga Shaheen meminta setiap kedutaan besar tetap beroperasi seperti biasa, karena keselamatan warga asing juga akan dilindungi oleh Taliban.
Kepada BBC, Shaheen sekaligus menjamin perempuan tidak perlu takut karena hak untuk bekerja dan sekolah diperbolehkan. “Mereka bisa hidup seperti biasa,” klaimnya.
Reputasi buruk Taliban dalam bidang kebudayaan selalu dikhawatirkan penduduk moderat, terutama di perkotaan. Sepanjang berkuasa pada kurun 1996 hingga 2001, Taliban melarang semua perempuan bersekolah dan bekerja. Selain itu film, musik, hingga tayangan televisi dilarang keras dinikmati warga, karena dianggap melanggar syariat Islam.
Tentara Afghanistan, meski mendapat bantuan miliaran Dollar dari Amerika dan NATO selama dua dekade terakhir untuk melakoni modernisasi, ternyata tetap tak bisa lepas dari tribalisme. Mereka cenderung lebih setia pada komando ketua suku masing-masing. Alhasil, tidak ada arahan yang tegas ketika Taliban menyerang kota-kota strategis.
Sementara berbagai faksi politik di Afghanistan punya agenda masing-masing, termasuk dengan sudah berkoordinasi bersama Taliban untuk menentukan pemerintahan ke depan. Itu sebabnya, ada informasi bila Presiden Ashraf Ghani memang sengaja “diusir”, supaya tidak terjadi pertumpahan darah, sehingga transisi kekuasaan bagi Taliban berlangsung lebih damai.