Bermodal uang Rp30 ribu, tiup balon plastik, tunggu 3 menit, dan voilà, kita akan tahu apakah terjangkit Covid-19 atau tidak.
Hasil cepat keluar dan harganya murah adalah daya tarik terbesar Gadjah Mada Electric Nose atau disingkat GeNose. Alat “pendeteksi” virus SARS-CoV-2 lewat uap napas ini diciptakan tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pertengahan tahun lalu, masyarakat menjerit karena rapid test antibodi sempat dibanderol Rp500 ribu. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lalu mengeluarkan edaran agar rapid test maksimal dihargai Rp150 ribu. Tapi tarif itu tetap dianggap tinggi.
Lalu muncullah GeNose. Diimbuhi label produk “anak bangsa”, pada 24 Desember 2020 Kemenkes bergerak cepat memberi izin edar pada alat tes ini. Klaim akurasinya tak main-main: 93-95 persen. Pada Februari 2021, angka akurasinya turun menjadi 89-92 persen.
Akurasi ini punya syarat. Ketua Tim Peneliti Kuwat Triyana mengingatkan orang yang mau dites jangan dulu mengonsumsi sesuatu yang berbau tajam, seperti jengkol, durian, petai, dan merokok, satu jam sebelum tes. Bau-bauan kuat bisa mengganggu alat deteksi GeNose, sehingga memunculkan hasil palsu.
GeNose bekerja dengan prinsip napas orang sakit dan sehat berbeda. Ada senyawa organik menguap (volatile organic compounds) yang khas pada napas orang terinfeksi virus. Senyawa ini lalu dilacak oleh alat deteksi GeNose dalam waktu 3 menit, menggunakan kecerdasan buatan.
Begitu izin edar keluar, tim peneliti mendapat suntikan dana dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BIN terlibat karena GeNose berawal dari penelitian alat deteksi narkoba yang dikembangkan Kuwat bersama Mabes Polri, 2008 silam. Pada 2016, alat yang dulu bernama Enose ini juga pernah masuk dunia medis untuk mendeteksi tuberculosis.
Harga rendah, akurasi tinggi. Alat sebagus ini harusnya bisa mengguncang dunia. WHO mesti bertekuk lutut di hadapan peneliti yang tinggal di wilayah UMR rendah. Apalagi, GeNose langsung dapat endorsement dari mana-mana. Politisi PDIP dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo jadi salah satu yang terdepan. Ia menyatakan siap membantu pendaanaan untuk penelitian serta pengembangan GeNose.
VP Public Relations PT KAI Joni Martinus mengapresiasinya sebagai “produk anak bangsa”. Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Agus Taufik Mulyono menuturkan berkat GeNose, Indonesia selangkah lebih maju dari negara tetangga sembari menggarisbawahi mengapa tidak dari dulu saja GeNose disebar.
Dalam sekejap, pemakaian alat ini langsung dimassalkan di titik-titik transportasi. Lewat Surat Edaran Satgas Covid-19 No.5/2021, PT KAI mensyaratkan hasil negatif GeNose sebagai syarat perjalanan calon penumpang, sekaligus membuka pelayanan GeNose di stasiun. Hasilnya luar biasa: seminggu pertama pembukaan layanan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, pada 3 Februari 2021, tercatat 2.580 calon penumpang mencoba GeNose. Per 23 Mei, sudah 63 stasiun di Indonesia ikut menyambut alat ini.
Bandara pun tidak ketinggalan. Pada 1 April 2021, bandara-bandara di bawah BUMN PT Angkasa Pura siap menerima hasil negatif GeNose sebagai syarat terbang. Per 25 Mei, 15 bandara tercatat menggunakan alat tes ini. Bandara Internasional Soekarno-Hatta tidak termasuk. Dimulai dari cita-cita screening cepat, GeNose langsung ditempatkan setara dengan tes swab PCR sebagai bukti seseorang bersih dari Covid-19.
Sambutan meriah kepada GeNose tak lain karena faktor murah dan cepatnya. Pemerintah yang sejak awal selalu mendua antara total menangani pandemi dan mendorong roda ekonomi, terutama di sektor pariwisata, mendapat solusi jalan tengah. Pada Februari 2021, Menristek Bambang Brodjonegoro berharap screening murah GeNose bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk berwisata kembali. Padahal sepanjang 2020 telah terbukti kenaikan mobilitas masyarakat, terutama saat cuti bersama, selalu memicu kasus penularan Covid-19 naik.
Sikap pemerintah sejak awal memang aneh, tapi ada pertanyaan lebih besar. Kalau memang efektif, mengapa negara lain tidak segera mengalihkan pandangannya ke Indonesia untuk mengadaptasi pemakaian GeNose?
VICE menanyakan misteri tersebut kepada epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman. Ia menilai GeNose adalah hasil keterburu-buruan pemerintah Indonesia dalam merespons pandemi.
“Paniknya itu ada di masyarakat, ada juga di pemerintahan. Terepresentasikan dari, salah satunya, terburu-buru memutuskan strategi [deteksi Covid-19] karena desperate. Ini kan [GeNose] kecerdasan buatan, mesin pintar yang dilatih di setting rumah sakit, tentu berbeda dengan populasi. Orang sakit [di rumah sakit] itu kan makannya itu-itu aja, enggak beraktivitas juga, mudah banget kondisinya [dikontrol]. Ketika ditempatkan di populasi umum, [alat ini] tentu berpotensi menghasilkan false negative ataupun false positive. Dua-duanya berbahaya,” kata Dicky kepada VICE.
Dicky juga heran mengapa GeNose langsung mendapat jalan mulus untuk dipakai massal, tanpa ada evaluasi atas proses sebelumnya. “Tiba-tiba diekstensifikasi aja [pemakaiannya], banyak tindakan yang sifatnya ilmiah tidak dilakukan, dilewati. Ini artinya kepentingannya apa? Kesehatan masyarakat jelas bukan. Sejauh ini tidak ada laporan [seputar GeNose] yang sifatnya ilmiah. Tak perlu publikasi lah, sampaikan saja di universitas mana dan ujiannya seperti apa. Misalnya, di stasiun A, lakukan 1.000 orang tes GeNose dibandingkan dengan PCR, gimana hasilnya? Ini enggak ada,” urai Dicky.
Untuk mendapat opini pembanding, VICE menghubungi pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo. Ia menilai GeNose sebenarnya menjanjikan karena deteksi penyakit dari embusan uap napas sudah pernah dieksplorasi untuk beberapa penyakit lain, seperti kanker paru, yang juga ia lakukan. Namun, ada kesan tertutup dari tim peneliti UGM mengenai rancangan penelitian GeNose, sehingga tidak bisa dikaji peneliti di luar tim.
“Sampai dikeluarkan izin edarnya, kita sama sekali enggak ada semacam literatur mendeskripsikan rancangan penelitian dari tim UGM,” kata Ahmad kepada VICE. “Yang saya ingat, pernah ada semacam laporan tidak resmi [GeNose] di WA group. Di laporan itu [ditulis] tidak ada [proses] blind test. Mereka merekrut relawan hampir seribu orang, tapi cara kerjanya relawan di-PCR dulu baru ketemu GeNose, jadi enggak blinded. Tidak ada tahapan berikutnya yang dibalik, GeNose duluan baru PCR.”
Ahmad menjelaskan pernah mengetahui klaim tim peneliti GeNose, bahwa pendekatan tiup GeNose lalu disusul PCR sudah pernah dilakukan ke relawan uji coba. Namun, ia menyayangkan proses itu tidak didokumentasikan tim pengembang GeNose dari UGM.
“Sekali lagi, kalau tidak ditulis [menjadi artikel ilmiah], jadi tuduh-tuduhan, karena tidak terangkum dalam satu artikel. Alasan mereka [tidak ditulis] karena paten. Mereka merasa kita mau tahu cara kerja mesin, padahal itu enggak penting, desain penelitiannya yang penting. Saya enggak mau tahu cara GeNose bekerja, tapi perlu tahu gimana cara mereka milih relawannya, dan lain-lain,” tambah Ahmad.
Ahmad masih berharap bisa mendapat kejelasan seputar GeNose yang tertumpu pada proses uji validitas eksternal yang sedang dilakukan Universitas Indonesia, Universitas Andalas, dan Universitas Airlangga. Ketiga kampus ini dianggap memiliki obligasi moral untuk independen saat mengevaluasi efektivitas GeNose.
“Yang lucu, orang bilang GeNose ini untuk screening. Kenyataannya, [malah sudah] bisa digunakan dalam perjalanan. Ini bukan screening lagi, tapi sudah menjadi alat diagnosis. Kalau screening itu [artinya] saat hasil negatif, harus tes lagi yang lebih standar seperti Antigen atau PCR,” kata Ahmad.
Kritik seperti dilontarkan Dicky atau Ahmad bukan yang pertama. Sejak diluncurkan Desember 2020, keputusan menjadikan hasil GeNose sebagai syarat bepergian diprotes para pakar. Epidemiolog UI, Pandu Riono, menyebut alat ini masih terlalu eksperimental. Dicky sendiri menyebut ada kelemahan mendasar GeNose, karena baru bisa mendeteksi virus ketika tubuh seseorang sudah terinfeksi. Keduanya juga sepakat: GeNose tak boleh menggantikan tes antigen dan tes PCR.
Tapi jawaban pihak peneliti kepada berbagai kritik tersebut tidak simpatik. Kala diwawancarai Lokadata Februari 2021, Ketua Peneliti GeNose Kuwat Triyana bersikap defensif, khususnya saat ditanyai mengapa GeNose tak dipakai di puskesmas dan rumah sakit saja, yang populasinya homogen, mengingat ada kemungkinan hasil palsu ketika dipakaikan ke populasi umum.
“Jangan rumit dalam berpikir. Mari berpikir besar dan mulai dari yang kecil dan mudah. Yang lebih penting adalah act now, lakukan sekarang, bergerak dan inovasi,” jawab Kuwat Triyana. “Para epidemiolog itu jangan ngomong saja. Mereka itu banyak omong dan enggak konfirmasi ke kita. Urusan rokok dan jengkol saja diperpanjang. Masyarakat jadi bingung.”
Dalam wawancara itu Kuwat juga berkali-kali meremehkan kecerdasan masyarakat memahami cara kerja alat buatannya. Misalnya saat ditanya pewawancara tentang arti garis grafik di layar alat GeNose, ia bilang, “Tidak perlu tahu. Nanti publik jadi bingung.” Lalu saat diminta menjelaskan arti angka di hasil GeNose yang bertuliskan “NEGATIVE with high probability (0.64, 88.08%)”, ia menepisnya dengan berkata, “Enggak usah dipikirin, nanti malah pusing.”
Temuan hasil positif dan negatif palsu di lapangan
Lala* bekerja sebagai tenaga kesehatan di salah satu klinik di Yogyakarta yang membuka jasa tes GeNose. Ia mengaku sehari bisa melayani 20-30 orang yang berniat merasakan kepraktisan teknologi ini.
“Sering ada yang positif, lalu dia antigen, hasilnya negatif. Usut punya usut, belum sikat gigi dari pagi,” kata Lala kepada VICE.
Ia mengakui tidak semua pasien paham syarat GeNose agar berfungsi maksimal. Pihaknya pun tidak bisa memastikan setiap orang memahami syarat tersebut. “Banyak yang PCR positif, di-GeNose jadi negatif. Aku sampai bingung ngejelasin ke pasien [yang juga kebingungan].”
Kebingungan juga dialami Ridho*, petugas Kemenkes di salah satu bandara yang menyediakan layanan GeNose. “Ada calon penumpang, waktu itu petugas dari GeNose-nya konfirmasi ke kami kalau satu pengguna jasanya ada yang dua kali GeNose positif. Akhirnya kami minta swab antigen, hasilnya negatif. Aku sebagai petugas waktu itu di bagian validasi surat keterangan hasil pemeriksaan PCR,” cerita Ridho kepada VICE.
Cerita lain datang dari Ella*, karyawan swasta di Yogya. “Maret kemarin, kantorku GeNose, 11 orang positif. Pas di-swab negatif semua. Padahal udah enggak makan satu jam sebelumnya.”
VICE juga membuka laporan terbuka kepada netizen apakah pernah mengalami pengalaman positif/negatif palsu dan mendapati banyak kasus serupa dialami warganet.
Seperti yang dibilang Ahmad, GeNose tengah merampungkan uji validitas eksternal yang dilakukan tiga kampus sebagai bagian dari post-marketing analysis ketika alat sudah digunakan masyarakat umum. Namun, uji eksternal baru dimulai sejak April di Universitas Andalas, Juni di UI, dan akhir Juni di Unair. Ketiga institusi itu butuh 4-6 bulan untuk merampungkan penelitian.
Bersamaan dengan itu, pengembangan GeNose jalan terus. Pada 24 Mei lalu, anggota tim peneliti GeNose dr. Dian Kesumapramudya menyatakan pihaknya telah memperbarui kecerdasan buatan GeNose.
“Pembaharuan ini untuk menanggapi berbagai macam permintaan dari dokter, tenaga kesehatan, dan pengguna yang ingin mempelajari bentuk-bentuk kurva hasil pembacaan alat GeNose dan menunjukkan bagaimana sebenarnya kurva pasien yang positif dan negatif. Kecerdasan buatan GeNose terbaru juga menyediakan indikator bagi operator untuk menerapkan SOP secara tepat agar pembacaan kurva lebih akurat dan mudah,” ujar Dian.
Sambil menunggu uji validitas GeNose, per 30 Juni 2021 Provinsi Bali telah berhenti menggunakan hasil tes alat ini sebagai syarat masuk wilayahnya. Kini hasil tes PCR jadi satu-satunya cara datang ke Bali.
Menurut Ketua Harian Satgas Penanganan Covid-19 Bali Dewa Made Indra, keputusan ini terpaksa diambil karena banyak hasil positif dan negatif palsu pada screening GeNose. Tapi ia berhati-hati menjelaskan kebijakan ini tanpa menyinggung kualitas GeNose.
“Karena itu [PCR] golden standard-nya, dan kebetulan di Bali saat ini [kasus Covid-19] sedang naik. Maka untuk pengendalian yang lebih kuat, kita gunakan golden standard. Jangan bikin isu GeNose nggak begini-begitu, bukan itu maksudnya. Kita menggunakan golden standard dalam rangka penguatan [penanganan] Covid-19 di Bali karena Covid-nya sedang naik,” ujar Dewa dilansir Detik.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati turut menjelaskan alasan Bandara Soekarno-Hatta tidak menggunakan GeNose. Menurut Adita, mereka perlu melihat hasil evaluasi pemakaian GeNose di bandara-bandara lain dulu, mengingat pergerakan penumpang di bandara ini adalah yang tertinggi di Indonesia.
*Narasumber meminta nama mereka disamarkan agar lebih leluasa membicarakan GeNose