Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih berambisi mengawasi konten media sosial. Pada Rabu (10/3) kemarin, Ketua KPI Pusat Agung Suprio kembali mendengungkan kebutuhan regulasi konten internet di Indonesia. Pasalnya, internet dianggap masih wilayah tanpa pengawasan karena tak diatur dalam UU Penyiaran.
“Perkembangan teknologi memunculkan platform-platform lain seperti socmed dan lain sebagainya, termasuk podcast. Sementara itu, UU No. 32/2002 tentang Penyiaran tidak ada kewenangan mengatur media ini. Jadi, ada kekosongan mengenai media baru ini. Padahal, media baru memerlukan pengawasan,” kata Agung dalam webinar STIKOM Interstudi bertajuk “Transformasi Digital dan Menembus Batas Era Podcast”.
Agung menyebut pengawasan bukan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, melainkan demi menghormati norma dan etika di Indonesia. Ia khawatir, dengan dunia digital tanpa aturan, orang Indonesia bisa kehilangan “jati diri bangsa” akibat dihantam konten negatif.
“Di TikTok misalnya, banyak ditemukan kata-kata yang tidak pantas sehingga tidak bisa dipungkiri akan mengubah perkembangan khususnya anak-anak, dan ini jadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan,” tambah Agung. Terkait UU Penyiaran yang ketinggalan jaman, ia berharap ada revisi yang memasukkan bentuk-bentuk media baru di internet.
Aspirasi Ketua KPI akur dengan isi hati televisi nasional sampai ke diksi-diksinya. Ketika Mei tahun lalu dua stasiun TV naungan MNC Group, RCTI dan iNews, menggugat UU Penyiaran ke MK, keduanya turut mengkhawatirkan jati diri bangsa saat menyatakan ingin media di internet diatur UU Penyiaran. Namun, gugatan itu ditolak MK yang menilai UU Penyiaran akan rancu jika mengatur siaran konvensional dan internet sekaligus. Putusan yang ketok Januari 2021 tersebut disambut gembira warganet.
Ini bukan kali pertama KPI berhasrat mengawasi internet. Pada 2019, mereka sempat mengusulkan diri mengawasi konten Netflix dan YouTube, sampai perlu diingatkan Kominfo bahwa KPI tak berwenang melakukannya. Wacana ini juga ditentang keras oleh public, terutama karena ada sentimen ngurus kualitas acara TV aja KPI gagal.
“Ke depan ini harus diatur TV streaming, TV di media baru. Semangatnya begitu, tapi enggak akan menghancurkan Netflix, TV di YouTube, bukan. Tapi lebih kepada norma-norma apa saja sih yang harus kita guide ke depannya,” kata Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis kepada Kumparan saat itu. Yuliandre menyebut konten yang dianggap tidak layak tayang adalah adegan bunuh diri, sadisme, pembunuhan, dan pornografi.
Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada Wisnu Prasetya Utomo mengaku setuju perlu ada aturan untuk konten di media sosial. Hanya saja, tidak boleh membatasi kebebasan kreativitas dan ekspresi. “Kalau tidak hati-hati, narasi ‘merusak generasi masa depan’ itu berpotensi menjadi aturan karet yang bisa membatasi orang berkreativitas karena tafsirnya nanti bisa tergantung siapa yang berkuasa. Juga, tidak hanya berkaitan semata dengan konten, tapi hal-hal lain, termasuk privasi data,” kata Wisnu kepada VICE.
Tapi, menurut Wisnu, tugas pengawasan itu bukan di pundak KPI. Lembaga ini sudah punya pekerjaan rumah terlampau besar, jadi mending tidak usah nambah-nambah kerjaan ke hal lain. “Sesuai mandat UU Penyiaran, KPI mengatur hal-hal terkait dengan penyiaran. Konten di internet/media sosial tidak masuk kategori penyiaran. KPI lebih baik fokus ke isu penyiaran yang masalahnya demikian banyak,” tambah Wisnu.
Saat ditanya soal revisi UU Penyiaran, Wisnu sendiri menilai pemerintah sebaiknya fokus sama masalah struktural seperti infrastruktur penyiaran, sistem stasiun jaringan pembatasan kepemilikan, dan digitalisasi penyiaran. “Saya percaya kalau hal-hal struktural bisa diperbaiki, perbaikan dalam konten siaran nanti akan mengikuti,” kata Wisnu. “Upaya untuk merevisi [UU Penyiaran] sejak 2009 selalu gagal masuk prolegnas. Ini karena banyak kepentingan ekonomi politik di sana sehingga sulit. Karena hal tersebut, saya tidak yakin proses revisinya bisa berjalan cepat.”
Tahun lalu kami mewawancarai Direktur eksekutif lembaga pemantau media dan televisi Remotivi Yovantra Arief soal gimana ngatur media di internet ini. Waktu itu Yovantra mengusulkan dua opsi.
Pertama, merevisi UU Penyiaran, tapi bakal sulit karena sejak awal UU ini dibuat untuk industri yang spesifik. Opsi kedua, pemerintah bikin UU baru khusus untuk media di internet. Antara dua opsi itu, ada exit plan lain, yakni menggunakan UU ITE dengan syarat akan ada banyak sekali perombakan.
Memang udah paling bener UU ITE direvisi dulu. Tapi gimana caranya kalau yang minta Presiden aja masih diabaikan?