Berita  

Kontroversi Terbunuhnya Harimau Pemangsa Manusia Paling Ditakuti Warga India

kontroversi-terbunuhnya-harimau-pemangsa-manusia-paling-ditakuti-warga-india

Suatu pagi yang suram di bulan April 2015, penduduk desa di bagian barat India dikejutkan oleh penampakan bangkai empat ekor sapi di dasar sungai kering. Peristiwa ini sangat jarang terjadi di Pandharkawada, distrik Yavatmal, negara bagian Maharashtra. Memang, sesekali ada beruang atau macan tutul yang menikam hewan ternak di sana. Tapi baru kali itu empat ekor mati dalam semalam dan kondisi bangkainya masih utuh. Warga segera melapor ke polisi hutan dan menemukan pelakunya adalah T1/Avni, harimau yang baru datang ke wilayah tersebut.

Keberadaan Avni mulai meneror warga sekitar. Seorang perempuan lansia 60 tahun dilaporkan tewas saat memetik kapas di ladang. Terdapat bekas gigitan dan cakar di lehernya. Bocah tujuh tahun diseret harimau dari rumahnya. Di lain waktu, perempuan yang juga sedang memetik kapas mendadak mendengar suara auman. Saat mencari sumber suaranya, ia mendapati harimau menyeret leher suaminya yang berusia 70.


“Sepanjang 40 tahun saya menjalani karier ini, hewan pemangsa manusia tidak normal jika dilihat dari sudut pandang psikologis,” tutur Nawab Shafath Ali Khan, 64 tahun, yang memimpin misi pengejaran Avni. “Manusia bukan mangsa utamanya. Induk harimau akan mengajarkan anaknya untuk tidak dekat-dekat manusia.”

Avni dikabarkan menyerang 13 orang warga sebelum berakhir di tangan pemburu. Konflik harimau versus manusia ini sempat menuai kontroversi. Operasi pengejarannya pun menimbulkan sejumlah pertanyaan — bahkan sampai dicap “pembunuhan berdarah dingin” oleh aktivis hewan. Pasalnya, penangkapan Avni dilakukan tanpa pengawasan pakar dan dokter hewan.

Lelaki berseragam loreng mengangkat senjata
Nawab Shafath Ali Khan memimpin operasi penangkapan harimau pemangsa manusia, Avni. Foto oleh Asghar Khan

Dijuluki “trigger-happy hunter”, istilah untuk para pemburu yang asal tembak, Khan belum lama merilis buku bertajuk Avni: Inside the Hunt for India’s Deadliest Maneater, yang merunut kronologis penangkapan dari sudut pandangnya. Dia juga membahas sejumlah kontroversi yang beredar.

Khan mengemukakan kasus harimau memangsa manusia bisa disebabkan karena hewan itu kelaparan, terluka atau mengalami kelainan psikologis. Selain itu, meningkatnya populasi kucing besar di India juga dinilai menjadi faktor pendorong serangan harimau terhadap manusia, mengingat tidak ada habitat yang layak untuknya. 



Penjelasan Khan benar adanya. Hasil sensus 2018 oleh Badan Konservasi Harimau India (NTCA), yang bekerja di bawah Kementerian Lingkungan Hidup, Hutan dan Perubahan Iklim India, menunjukkan, negara itu memiliki 25 persen habitat harimau dunia. 50 lokasi ditetapkan sebagai cagar harimau, tapi menampung 75 persen populasi harimau global, dengan demikian menunjukkan penyusutan habitat. Perlu diingat, survei yang dilakukan empat tahun sekali ini tidak mengungkapkan berapa banyak harimau mati secara prematur, yang menurut ahli konservasi terutama karena berkurangnya habitat.

“Saya dipanggil ke lapangan setelah semua cara yang dilakukan gagal, dan kami harus memulainya dari awal,” terang Khan. “Dalam kasus Avni, pejabat hutan bahkan tidak memiliki peta pembunuhan. Kami jalan kaki berhari-hari untuk melacak keberadaan Avni. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.”

Sekelompok laki-laki berseragam loreng
Operasi pengejaran Avni melibatkan 200 paraglider, kamera inframerah dan parfum Calvin Klein untuk memancing harimau keluar dari tempat persembunyian. Foto oleh Asghar Khan

Khan menekankan dirinya tak pernah salah menembak binatang, tapi klaim ini ditentang aktivis hewan.

Sarita Subramaniam, co-founder Earth Brigade Foundation yang bergerak di bidang konservasi satwa liar, kesejahteraan hewan jalanan dan pemberdayaan perempuan, telah mengajukan beberapa petisi yang mengecam status “pemangsa manusia” yang disematkan pada Avni dan banyaknya inkonsistensi dalam operasi penangkapan binatang itu.

“Istilah ‘pemangsa manusia’ diciptakan orang Inggris,” Subramaniam memberi tahu VICE. “Agen pemburu macam Jim Corbett lah yang memopulerkan istilah tersebut. Kita tidak menemukan bukti sejarah pernah ada hewan pemangsa manusia. Harimau adalah karnivora cerdas yang mencari makan dengan berburu. Jika ada petani tewas dimangsa, kita perlu bertanya apakah orang itu memang seharusnya ada di sana? Apakah pertaniannya merambah lahan hutan inti? Selama ini, kita melihat sesuatu hanya dari permukaannya saja.”

Subramaniam juga penasaran mengapa Khan yang dipilih memimpin operasi ini, padahal dia memiliki “rekam jejak yang kurang bagus”. Khan sering diminta bantuan untuk menaklukkan binatang yang tampaknya menjadi ancaman bagi manusia dan satwa liar lainnya. Pada 2016, dia menembak 250 ekor nilgai (sapi biru asal India) sesuai permintaan pemerintah negara bagian Bihar, dituduh melaksanakan penembakan satwa liar untuk klien safari pribadi di sebuah taman nasional, dan ditangkap atas dugaan keterkaitan dengan Maois pada 1991.  

Dua lelaki berseragam loreng menaiki mobil jip
Khan dan putranya Asghar menaiki mobil jip. Foto oleh Asghar Khan

Khan bersikukuh dirinya hanyalah “algojo” yang mengikuti perintah pejabat. “Saat orang menuduhku haus darah, mereka tidak sadar kalau membunuh hewan bukanlah keputusan saya.”

Subramaniam mengatakan, betapa disayangkan kepala petugas satwa liar bisa sembarangan mengizinkan orang untuk memburu binatang, bahkan tidak perlu memberi alasan perburuan tersebut. Dia menambahkan, Khan tidak memiliki keahlian profesional dalam mengidentifikasi pola perburuan.

Menurut Pasal 11 Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar India tahun 1972, “Kepala Petugas Satwa Liar dapat mengizinkan siapa saja untuk memburu, atau mengeluarkan perintah perburuan binatang dalam Daftar I yang dianggap telah membahayakan kehidupan manusia atau mengalami cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan mengeluarkan Perintah secara tertulis dan menyebutkan alasannya.” Daftar I merupakan daftar satwa liar yang tidak dapat dibunuh atau diperdagangkan.

Dugaan serangan Avni terhadap manusia tidak mengikuti pola konkret — terjadi di seluruh musim dan pada berbagai kelompok usia, dan periode antara dua penikaman selanjutnya berkisar antara dua minggu hingga dua bulan. Pejabat kehutanan setempat telah berulang kali memberikan obat penenang pada Avni, yang menghabiskan lebih dari 130.000 Rupee (Rp24,3 juta). Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Perintah penembakan pun dikeluarkan, yang kemudian mendapat perlawanan keras dari para aktivis hewan. Situasinya semakin rumit setelah Avni beranak dua ekor pada Februari 2018. Dugaan serangan tak kunjung berakhir.

“Avni semakin cerdas dari satu serangan ke serangan lain,” tukas Khan. “Andai saja mereka meminta bantuanku sejak awal, operasinya lebih cepat kelar. Dua setengah tahun menjadi pengalaman belajar yang bagus untuk Avni.”

Subramaniam menantang klaim tersebut. “Kalau memang Avni hanya ingin memangsa manusia, apa yang harimau itu lakukan di antara dua penikaman? Apakah Avni hewan bipolar yang berubah-ubah keinginannya?”

Khan mengibaratkan serangan harimau seperti aksi penembakan massal yang dilakukan manusia. “Ada kelainan kuat yang mengalir di dalam jiwa para pemangsa manusia ini. Begitu kelainan ini teridentifikasi, kamu harus segera menjalani operasi untuk menangkap hewannya atau membiusnya hingga tenang. Tapi di India, prosesnya bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun.”

Subramaniam menyebut kalau memang benar Avni telah menyerang manusia, kemungkinan korbannya adalah gembala domba dan gembala sapi. “Sebagian besar serangan terhadap manusia terjadi di musim panas, ketika gembala domba masuk jauh ke dalam hutan untuk memetik bunga mahua atau mengambil kayu bakar karena tanaman seperti itu sulit ditemukan di desa,” terangnya. “Mendatangi wilayah ini sama saja seperti memasuki wilayah latihan menembak pasukan militer. Tapi giliran tertembak, saya malah mengeluh dan minta ganti rugi.”

Laporan penyelidikan NTCA berikutnya menyoroti sejumlah ketidaksesuaian dalam operasi penangkapan Avni. Menurut laporan resmi versi Khan, Avni menyerang anggota timnya saat diberi obat bius, sehingga putranya Asghar menembak harimau untuk melindungi diri. Namun, hasil temuan NTCA menunjukkan, obat bius ditembakkan oleh Mukbhir Sheikh, yang tugasnya hanya melacak keberadaan Avni dan dua anaknya.

Permasalahan lain adalah obat bius diberikan tanpa pengawasan dokter hewan, padahal NTCA telah mengeluarkan pedoman yang mewajibkan operasi penangkapan untuk diawasi sedikitnya tiga tenaga profesional. Satu orang bertugas memantau tanda-tanda vital hewan setelah dibius, sedangkan dua orang lainnya menangani proses imobilisasi. “Tidak ada pengelola satwa liar, dokter hewan atau ahli biologi dalam timnya,” demikian bunyi laporan NTCA.

Menyusul dirilisnya laporan NTCA, pemerintah negara bagian Maharashtra baru-baru ini membuka kembali penyelidikan terhadap operasi penangkapan Avni.

Enam orang laki-laki memamerkan patung harimau perak
Tim operasi penangkapan Avni, yang dipimpin Nawab Shafath Ali Khan, menerima hadiah patung harimau perak. Aktivis hewan menilai penghargaan ini tak ada bedanya dengan “trophy hunt”. Foto oleh Asghar Khan

Berdasarkan sejumlah laporan berita, hasil pemeriksaan postmortem tidak menemukan tanda-tanda jasad manusia di dalam perut Avni. “Bukankah aneh orang menuduh Avni telah membunuh 13 orang, tapi tidak ada bukti medis atau forensik yang menghubungkannya dengan 13 kasus pembunuhan itu?”

“Saya mengikuti semua protokol yang diberikan dan hanya bertindak sesuai arahan tertulis,” Khan menegaskan. “Aktivis satwa liar tidak peduli dengan nyawa manusia. Apa yang sudah mereka lakukan kepada perempuan yang kehilangan cucunya yang baru tujuh tahun? Hanya demi menyelamatkan satu harimau atau macan tutul, mereka melupakan fakta bahwa penduduk desa meracuni atau membunuh 10 binatang lainnya dengan penuh amarah.”

Ahli biologi margasatwa Wenzil Pinto mencatat hasil analisis DNA telah menegaskan kurang dari enam dugaan penikaman dikaitkan dengan Avni. Subramaniam menambahkan tidak ada tes DNA yang dilakukan pada lima kasus pertama. Pinto memperingatkan pentingnya memahami dimensi etika dan moral yang melekat pada harimau.

“Dari sudut pandang konservasi, menyingkirkan hewan ‘problematik’ dari habitatnya, baik melalui pembunuhan maupun pembiusan, lebih berarti banyak bagi konservasi spesies. Sering terjadi manusia membunuh hewan sebagai balas dendam,” tuturnya. “Tapi dari sudut pandang etika, apakah nyawa harimau jauh lebih penting daripada manusia? Pertanyaan semacam seberapa banyak manusia yang harus jadi korban agar harimau disingkirkan tidaklah mudah dijawab.”

Follow Arman di Twitter dan Instagram.