Oleh : Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM, Salatiga- Sebelum memasuki bulan Ramadan, umat muslim punya tradisi melakukan ziarah ke makam makan leluhur, hal ini sudah menjadi tradisi lama berlangsung. Bahkan bagi santri atau kalangan tertentu di Jawa maka datang Ziaroh kuburan makam leluhur, guru atau orang orang yang dianggap saleh dan suci akan dilakukan rutin pada Kamis malam jumat atau hari hari tertentu yang sudah ditetapkan. Praktek semacam ini juga menjadi bagian dari kebudayaan yang mentradisi sejak jaman dahulu.
Leluhur dalam kajian Antropologi budaya identik dengan sebutan nenek moyang atau trah tumerah dalam budaya Jawa. Secara umum dapat dimaknai sebagai kerabat (kin) yang berada pada struktur garis keturunan di atas seseorang (ego) baik pada masyarakat dengan pola patrilineal maupun matrilineal. Dalam keseharian leluhur atau nenek moyang lebih dimaksudkan kepada orang-orang dari garis keturunan linier di atas ayah-ibunya dengan meruntut nasab yang telah meninggal.
Penelusuran terhadap mata rantai leluhur adalah seperti piramida yang semakin ke atas semakin mengerucut, karena setiap kelompok kekerabatan yang ada sekarang akan bertemu dalam satu garis keturunan dan begitu seterusnya hingga akan berakhir pada satu tokoh legenda personal yang diyakini sebagai asal usul trah sebagai sub bongkot (induk). Meski kemudian dalam keyakinan umum bongkot (induk) nasab manusia di muka bumi adalah Adam dan Hawa. Dalam konteks ini leluhur atau nenek moyang merupakan nama yang normalnya dikaitkan pada orang tua maupun orang tua leluhur (seperti kakek nenek, canggah, dan seterusnya).
Pada masyarakat tradisional kepercayaan terhadap leluhur merupakan bagian penting dari sistem kebudayaannya demikian bagi orang Jawa lebih spesifik lagi kajiannya. Dalam kebudayaan yang berlangsung maka karakter nenek moyang terdahulu tergambar melalui kisah kisah flokfor atau manuskrip selalu dijadikan identitas hidup, terkadang juga bisa menjadi pandangan primordial untuk menentukan status dalam entensitas sosialnya, hal ini karena figur-figur dari tokoh leluhur yang ada dalam silsilahnya diyakini mempunyai ciri khas tersendiri baik secara fisik dan spritual atau bisa jadi sebagai identitas atas keahlian khusus tertentu dibanding clan lain.
Leluhur menurut teori evolusi, adalah spesies yang memiliki leluhur yang sama yang selanjutnya disebut sebagai turunan bersama. Hal ini merujuk pada pengetahuan jika pengaruh pada DNA autosom seseorang (tak termasuk DNA kromosom Y maupun DNA mitokondria) ada ikatan dari leluhur seseorang memiliki anak dengan kerabat (atau kerabat jauh). Dalam kajian ini maka seseorang memiliki 2046 leluhur hingga generasi ke-10, 1024 dari yang merupakan leluhur ke-10.
Dalam beberapa budaya nusantara yang masih berlangsung sampai dengan saat ini, ada tradisi untuk tetap melakukan penghormatan tinggi pada leluhur yang hidup dan telah meninggal.
Dalam kebudayaan Jawa kekerabatan bukan hanya berhubungan dengan keluarga intinya, misalnya orang tua saudara kandung atau saudara kandung orang tua. Kekerabatan orang Jawa juga akan meluas ketika terjadi perkawinan antara dua orang yang melangsungkan perkawinan sah menurut agama dan adat.
Melansir kutipan Wikipedia sistem kekerabatan berfungsi dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga. Sistem kekerabatan memberi kehangatan sebagai sebuah keluarga besar. Kehangatan dan kedekatan keluarga memberi jaminan saudara pada hari tua. Sistem kekerabatan juga memberikan identitas keluarga besar seseorang yang akan menentukan kedudukan dan gengsinya dalam masyarakat. Selain itu, sistem kekerabatan memberi patokan untuk memberikan warisan sesuai dengan alur nenek moyang.
Dalam keyakinan Islam yang di praktekan oleh orang jawa “pada umumnya” yaitu orang yang memiliki akar kebudayaan yang luhur maka ada ungkapan “mikul duwur mendhem jero”, dengan merujuk pada cara penghormatan yang dianggap patut bagi orang yang dituakan atau orang yang memiliki kredensial sosial di masyarakat. Slogan mikul duwur mendem jero adalah value yang yang berangkat dari realitas praksis dan operasional.
Konsepsi mikul duwur mendem jero bukan hanya penghormatan bagi orang yang masih hidup namun berlaku juga bagi orang yang telah meninggal dunia. Penghormatan untuk leluhur yang sudah meninggal dunia bagi orang Jawa adalah sebuah norma yang tetap terjaga dalam institusi paguyuban di desa atau dukuh dukuh meski tidak semuanya bisa berjalan dengan ideal. Sebagai kelompok sosial yang berbasis ikatan batin (berasosiasi dengan tempat tinggal, asal usul) dan punya relasi timbal-balik di antara sesamanya, entensitas sosial inindipercaya akan memberikan rasa hormat yang sepatutnya pada leluhurnya atau clanya yang telah meninggal.
Konsep mikul duwur mendem jero juga dimplementasikan dalam bentuk silaturahmi kepada orang orang tua atau yang di tuakan ketika masih hidup. Bersilaturahmi dengan sambang sambung ziarah kubur di pusara makam leluhur yang sudah meninggal dunia dengan melantunkan do’a-do’a terbaik. Hal ini adalah proses cermin terbalik yang merupakan konsekuensi dari proses timbal balik dimana leluhur dahulu tentu juga memiliki harapan dengan doa doa terbaik selaku orang tua pada anak-anaknya. Dan di antara salah satu harapan tersebut adalah anak kelak dapat “mikul dhuwur mendem jero” terhadap orang tuanya. Hal ini lantas menginternalisasi dalam nilai-nilai dikehidupan sehari-hari.
Konsepsi mikul duwur mendem jero barangkali adalah bagian tidak terpisahkan dari pengertian ajaran Islam tentang amal yang tidak terputus pahalanya meskipun pelakunya telah meninggal dunia yang disebut dengan amal jariyah. Amal jariyah ini memiliki beragam bentuknya yang dapat disiapkan umat muslim semasa hidup sebagai tabungan amal di akhirat. Amal jariyah biasanya cenderung mengarah pada amalan yang dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda dalam haditsnya yang berbunyi “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Ath-Thabrani).
Sehubungan amal jariyah ini Allah SWT telah berfirman dalam surat Yasin ayat 12, tujuan dari amal yang tidak terputus meski sudah meninggal semata-mata untuk meninggalkan petilasan dari orang yang bersangkutan. “Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).”
Konsepsi “mikul duwur mendhem jero” dalam pandangan Islam juga terkait dengan sifat bakti anak terhadap orang tua, atau anak turun kepada leluhurnya, hal ini bisa kita baca dalam Hadist Nabi dalam riwayat lain yang menyebutkan mengenai 7 amalan lain yang masuk dalam kategori amal jariyah, yaitu “Ada tujuh amalan yang pahalanya tetap mengalir untuk seorang hamba setelah dia meninggal, padahal dia berada di dalam kuburnya: (1) orang yang mengajarkan ilmu agama, (2) orang yang mengalirkan sungai (yang mati) (3) orang yang membuat sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang memberi mushaf Al Quran, dan (7) orang yang meninggalkan seorang anak yang senantiasa memohonkan ampun untuknya setelah dia wafat.” (HR Baihaqi).
Bertolak dari hal hal tersebut diatas maka ajaran Islam secara subtansi telah relevan dengan sisi kebudayaan dan tradisi yang menyangkut sistem kekerabatan maupun penghormatan terhadap leluhur dalam konsepsi “mikul duwur mendem jero”.
Sebagai bagian kesadaran tentang konsepsi “mikul duwur mendem jero” maka kamis malam jumat terakhir menjelang bulan suci Romadlon 1443 H, kami sowan sambang sambung ziarah ke makam leluhur di area Pemakaman komplek Perkebunan Mulyo Redjo yaitu Makam kedua orang tua kami yang tersambung pada makam leluhur Eyang R. Ngt. Kertani Bin R. Ngt. Kertowidjojo Bin R. T. Prawirodigdojo (R. Panji Judo Prawiro) yang tersambung nasab pada KPH. Notobroto I hingga Prabu Amangkurat 1. Perjalanan dilanjutkan Ziarah ke Makam Eyang kami Kyai Ahmad Khaerun, setelah cukup petang perjalanan dilanjutkan ziarah ke Makam Eyang Ki Ageng Damarjati di Gagatan, Wonosegoro, Kab. Boyolali dan setelah menunaikan sholat magrib maka dikanjutkan Ziarah ke Makam Eyang R. Ngt. Prawirosakti di Kebonan, Karanggede, Boyolali.
Konsepsi mikul duwur mendem jero adalah sikap tindak yang akan timbul melalui proses laku dan kesadaran diri. Lantas bagaimana pendapatmu tentang konsepsi ini.?
Semoga Bermanfaat…
Karangede, 30/03/22
———————————————-
* Esai ditulis sebagai salah satu ikhtiar untuk memungut kesadaran atas kearifan lokal sebagai sebuah kebudayaan luhur ditengah tengah bergesernya perilaku manusia modern karena gegap gempita tehnologi dan informasi.
———————————————-
**@ Penulis adalah petani yang tinggal di pelosok wilayah Kab. Semarang – Jateng.
———————————————-
Daftar Bacaan
1. Clifford Geerstz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya.
2. Dojosantosa (1986). Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu.
3. Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
5. Marbangun Hardjowirogo (1983). Manusia Jawa. Jakarta: Yayasan Idayu.
6. Wikipedia
Berita dengan Judul: Konsepsi Mikul Duwur Mendem Jero Dalam Kebudayaan Jawa pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni