Berita  

Konsep ‘Pengabdian’ Problematis jika Terus Dipakai Membenarkan Gaji Kecil ASN

konsep-‘pengabdian’-problematis-jika-terus-dipakai-membenarkan-gaji-kecil-asn

Diskusi klasik “pengabdian vs gaji layak” menyeruak usai diberitakannya 105 orang yang lolos tes CPNS malah mengundurkan diri. Ke-105 calon aparatur sipil negara (CASN), demikian istilahnya sekarang, punya berbagai alasan, tapi pemerintah diwakili Badan Kepegawaian Negara (BKN) yakin alasan utamanya adalah ekspektasi gaji yang tak sesuai dengan realitas. 

Alasan ini tampaknya membuat pemerintah gondok, terutama BKN karena nomor induk kepegawaian para CASN ini sudah keluar. BKN kini berencana menyusun sanksi lebih berat bagi para desertir ini, semisal memperlama durasi blacklist dari 1 tahun menjadi 5 tahun. Sejumlah kementerian bahkan telah menerapkan denda hingga Rp50 juta sebagai ganjaran untuk CASN yang dianggap main-main ini.


Sikap pemerintah ini tentu janggal. Lah, mereka membuat sistem yang “mengizinkan” CASN untuk mundur meski telah dinyatakan lolos kok. Selain itu, proses seleksi kerja justru momen agar pemberi kerja dan penerima kerja saling mengenal dan ngulik jeroan masing-masing.

Kalau di dunia swasta, biasanya ada job offer letter begitu proses seleksi selesai. Surat ini menjadi tanda bahwa meskipun pemberi kerja udah sreg sama calon pekerja, si calon pekerja tetap berhak untuk lanjut masuk atau milih cabut. Ya masak pemberi kerjanya doang yang boleh nolak. 

“Memang sebenarnya macam-macam alasannya. Pertama, itu mereka ternyata tidak tahu berapa jumlah gaji. Kedua, ada yang menyampaikan alasannya kalau mereka tidak lagi termotivasi, macam itu. Kebanyakan memang tentang gaji, ada juga lokasi. Mungkin ada yang penempatan lokasinya jauh,” ujar Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BKN Satya Pratama kepada Detik

Kagetnya CASN melihat nominal gaji, jelas mengindikasikan sosialisasi gaji ASN belum merata. Ini mesti jadi catatan bagi BKN untuk memperbaikinya di seleksi selanjutnya. Kasih tahu range gaji dan perjanjian soal penempatan lokasi, juga pastikan informasi hak dan kewajiban pekerja transparan. 

Di sisi lain, mundurnya ratusan CASN ini ditanggapi pejabat publik dengan cara tak sehat: membenturkan ekspektasi gaji “besar” (yang sebenarnya lebih cocok disebut “layak”) dengan narasi pengabdian.

Tanggapan macam itu datang dari bosnya para ASN langsung, yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo. Tjahjo bilang gaji ASN sudah bersaing kok dengan pegawai swasta karena ada berbagai pendapatan tambahan. Setelah itu, jiwa pengabdian disinggung. 

“Seiring dengan waktu dan jiwa pengabdian ASN semakin terasa menurun. Ini tantangan yang harus kita tingkatkan, pengabdian yang harus lebih kita utamakan,” kata Tjahjo dilansir dari Detik, Selasa (31/5). Ia juga menyebut kalau mau penghasilan besar, lebih baik bisnis saja.

Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming juga setali tiga uang. Gibran mengomentari bahwa menjadi ASN berarti siap dengan berapa pun gajinya karena ini “pelayanan publik”. Sama seperti Tjahjo, Gibran sepakat kalau mau kaya mah jadi pengusaha aja. Gibran terlihat kesal setelah mengetahui ada dua tenaga kesehatan mundur dari CASN di Surakarta.

Kenapa sih kerja pelayanan publik harus diidentikan dengan gaji kecil? Apakah ini yang menyebabkan pelayan publik di Indonesia terkenal ketus dan tidak cekatan? Aku mencoba mencari pencerahan kepada peneliti ketenagakerjaan Arif Novianto.

Arif mengatakan, istilah pengabdian sejak awal memang problematis karena cenderung digunakan untuk membenarkan tindakan tidak adil terhadap pihak yang lebih lemah. Misalnya dilakukan pemberi kerja kepada pekerja. Problem serupa juga ditemui Arif pada istilah “gaji besar” dan “gaji kecil”.

“Karena tidak ada ukuran pasti dan cenderung bersifat relatif. Menurut saya, ukuran yang tepat soal upah adalah upah yang adil (fair pay), berbeda dengan upah layak (decent pay). Karena, kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konsep upah layak tidak mampu merepresentasikan upah yang adil akibat penghitungan besaran upah di bawah besaran komponen hidup layak (KHL),” ujar Arif yang bekerja di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Fisipol UGM kepada VICE.

Menurut Arif, upah adil idealnya dihitung dengan mempertimbangkan komponen hidup layak, biaya tanggungan, dan biaya pengembangan diri bagi pekerja. Artinya, besaran upah yang adil tiap orang akan berbeda-beda. “Dengan penghitungan seperti ini, maka relativitas dalam mengukur upah besar-kecil menjadi tidak relevan,” tambahnya.

Karena penasaran, aku mencoba membandingkan kerja “pengabdian” macam guru dan dokter versus karyawan perusahaan minyak. Sama-sama ditempatkan di pelosok, mengapa yang satu gajinya jauh lebih kecil dibanding yang lain?

Arif menjawab dengan penjelasan bahwa mekanisme pengupahan saat ini memang cenderung kapitalistik. Hal ini membuat pekerjaan yang menghasilkan keuntungan ekonomi terbesar akan diganjar gaji besar, misalnya insinyur industri minyak, bankir, atau analis data di start-up

“[Berlaku juga pada] ASN di kementerian atau lembaga dengan uang banyak atau mampu mendulang pendapatan bagi lembaganya dengan besar, maka diganjar tunjangan yang besar. Sementara, mereka yang sebenarnya pekerjaannya esensial, misal guru atau nakes di daerah perbatasan, tetapi oleh sistem saat ini dinilai tidak menghasilkan pundi-pundi uang, maka sekadar dibayar seadanya. Sistem pengupahan yang seperti ini dibenarkan oleh sistem yang menempatkan keuntungan ekonomi sebagai hal yang utama,” jawab Arif.

Secara struktural, menurut Arif, pekerjaan dengan kualitas buruk di Indonesia —seperti upah murah, tak ada keamanan kerja, atau jam kerja panjang—jumlahnya masih sangat banyak. Hal ini membuat profesi ASN menjadi “wah” atau “sedikit baik dari banyaknya yang buruk”.

“Realitas itu yang sering digunakan pemerintah untuk menjustifikasi bahwa ASN lebih baik dibanding yang lain. Jadi tidak perlu banyak menuntut atau diminta untuk mensyukuri kondisi yang ada atas nama pengabdian,” jelas Arif.

Absennya serikat atau organisasi ASN yang progresif dalam menuntut gaji dan kondisi kerja yang lebih baik turut melanggengkan masalah ini, tambah Arif. Wah, mirip penyebab UMR Jogja konsisten rendah dong. 

“Masih lemahnya budaya berserikat dan ketakutan jika bersikap kritis maka akan disingkirkan atau dipersulit naik jabatan. Organisasi yang ada saat ini adalah Korpri, yang kecenderungannya pro status-quo. Kondisi ini yang membuat perjuangan untuk upah dan kondisi kerja yang adil bagi ASN masih terbatas di media sosial dengan menggunakan akun anonim,” tutup Arif.