Berita  

Konflik Eropa Batal Mereda, Putin Dukung Pemberontak di Dua Provinsi Ukraina Merdeka

konflik-eropa-batal-mereda,-putin-dukung-pemberontak-di-dua-provinsi-ukraina-merdeka

Presiden Rusia dalam pidato terbarunya pada 21 Februari 2022, mendukung upaya dua wilayah di kawasan timur Ukraina memerdekakan diri. Pernyataan tersebut memicu kecaman dari Amerika Serikat, NATO, dan banyak negara lainnya. Rusia juga terancam berbagai sanksi internasional tambahan, karena dianggap melakukan provokasi yang bisa memicu konflik bersenjata di Ukraina.

Pernyataan kontroversial Putin disampaikan sesudah rapat bersama Dewan Keamanan Rusia di Ibu Kota Moskow. Pidato panjang itu disiarkan pula oleh televisi nasional. Awalnya, Putin memulai pidato dengan menyebut bahwa negara Ukraina bisa terbentuk berkat jasa Rusia.


Putin lantas menuding bila pemimpin Ukraina berambisi mengembangkan senjata nuklir dibantu negara Barat. Tudingan soal nuklir ini cukup unik, mengingat 30 tahun lalu Ukraina sepakat tak lagi meneruskan semua proyek nuklir agar mendapat perlindungan keamanan dari Rusia.

Di akhir pidatonya, Putin lantas menyampaikan hal yang dikhawatirkan banyak diplomat. Dia menyebut politikus Ukraina adalah biang kerok munculnya beragam insiden kekerasan di perbatasan kedua negara. Untuk melindungi warga keturunan Rusia di Provinsi Luhansk dan Donetsk, alhasil, Moskow memutuskan untuk memberi dukungan serta pengakuan bagi kedua wilayah tersebut sebagai wilayah yang independen dari pengaruh Ukraina.

Berdasar laporan intelijen, kelompok separatis di dua provinsi tersebut rutin mendapat pasokan senjata dan dana dari Rusia. Situasi di Luhansk atau Donetsk mulai bergejolak sejak 2014, menyusul pendudukan Rusia di wilayah Semenajung Crimea. Berbagai wilayah tersebut memang dihuni mayoritas warga yang secara kultural lebih dekat dengan Rusia, dibanding Ukraina.

Moskow menuding telah terjadi “kejahatan kemanusiaan” dilakukan oleh tentara Ukraina terhadap warga keturunan Rusia di wilayah-wilayah tersebut selama beberapa tahun terakhir. Sehingga mereka merasa punya alasan untuk mengirim bantuan, termasuk mencaploknya seperti pada Crimea. Putin sekaligus menyebut bila sampai terjadi “pertumpahan darah” dalam waktu dekat, maka tanggung jawab itu berada di tangan Ukraina.

Pengumuman Putin, bahwa pemerintahannya memberi dukungan modal untuk upaya kemerdekaan dua wilayah di Ukraina, berlangsung cukup dramatis. Rapat Dewan Keamanan Rusia selama ini selalu tertutup. Tapi, untuk acara tadi malam, Putin membolehkan kamera stasiun TV merekam proses diskusinya dengan para anggota forum, yang rata-rata pejabat kawakan intelijen atau partai dari era Uni Soviet.

Manuver petinggi Rusia ini membuat situasi kawasan Eropa Timur yang tadinya cukup adem, jadi kembali memanas. Dalam siaran rapat dewan keamanan nasional Rusia itu, muncul pernyataan pejabat yang sulit diverifikasi, misalnya Ukraina dituding bisa memiliki senjata nuklir lebih cepat dari Iran, atau telah terjadi genosida terhadap warga berbahasa Rusia di Luhansk dan Donetsk.

Lebih dari 14 ribu orang, baik sipil maupun personel militer, tewas akibat konflik di perbatasan Ukraina-Rusia sejak 2014 sampai sekarang. Mayoritas kontak senjata terjadi antara tentara Ukraina dengan pasukan separatis, yang mendapat sokongan Rusia.

Sejak awal 2022, NATO maupun Amerika Serikat menyebut Rusia mengirim lebih dari 190 ribu personel militernya ke perbatasan Ukraina, memicu rumor akan segera terjadi invasi. Pekan lalu, Moskow menarik sebagian pasukan dan alat berat dari perbatasan, sehingga potensi konflik sekilas bakal bisa dihindari.

Namun, dengan pernyataan dari Moskow semalam, ketidakpastian kembali membuncah. Rusia sudah mengevakuasi warga sipil dari wilayah perbatasan dua hari terakhir, sehingga wacana akan terjadi perang sangat mungkin terwujud.

Bagi penduduk Ukraina, pidato Putin semalam sudah seperti pernyataan perang. Banyak orang Ukraina, lewat medsos, mengungkapkan kekhawatiran bakal terjadi invasi seperti yang dilakukan Rusia terhadap Georgia pada 2008 lalu. Kala itu, Rusia menyerbu wilayah Georgia dan mencaplok provinsi Ossetian selatan, juga dengan alasan mendukung kemauan warga setempat merdeka dari Georgia.