“Ngeyub mriki mbak, panas niku mboten wonten wite,” (Berteduh di sini mbak, di situ panas tidak ada pohonnya).
Merasa kasihan melihat saya berdiri terpanggang terik matahari Gunungkidul siang itu, seorang laki-laki menawari berteduh di naungan pohon besar. Hanya ada beberapa pohon di tepi Kali Gowang, pohon ini salah satunya. Dari dekat baru kita sadari bila pohon tersebut sesungguhnya terdiri atas tiga pohon berbeda saling menjalin jadi satu: beringin, gandhok, hampelas. Meski tumbuh di tanah miring, akar tunggangnya mencengkeram hingga ke permukaan, membuatnya kokoh. Pohon raksasa ini, nanti kalian akan pahami, merupakan salah satu jawaban terbaik umat manusia menghadapi perubahan iklim.
Di sekeliling batangnya, lima orang berpakaian tradisional Jawa merentangkan tangan. Selembar kain mori putih dioper dengan arah melawan jarum jam, sampai membungkus lingkar batang pohon, lalu diikat. Lilitan kain itu disebut Langse. Seperti adat saput poleng di Bali, ritual unik di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilakukan demi memuliakan pohon besar yang dianggap sakral masyarakat setempat.
Ritual nglangse ini adalah bagian dari kegiatan penanaman pohon yang diinisiasi komunitas konservasi Resan Gunungkidul di Kali Gowang dan Petilasan Gunung Bagus, Kapanewon (setara kecamatan) Paliyan, Gunungkidul pada 20 Maret 2022 lalu. Hari itu, dua pohon besar di tepi sungai dipasangi langse.
Sebelumnya, dilakukan juga ritual memule leluhur di beberapa situs di sekitar Kali Gowang. Layaknya ziarah leluhur, dilakukan penghaturan sesaji, membakar dupa-menyan, dan doa. Setelah rangkaian ritual dilakukan, bibit pohon ditanam di tanah.
“Selain pangeling-eling [pengingat ajaran] leluhur, ini sebagai bentuk kula nuwun ke penunggu tempat yang tidak terlihat. Bahwa kita mau nanam pohon, titip anak pohon ke ibu bumi di sini supaya dijaga dan tumbuh,” ujar Sigit Nurwanto, dalang muda anggota Resan GK yang selalu bertugas memimpin ritual-ritual mereka.
Berbagai ritual dan pengamalan kearifan lokal membedakan komunitas Resan GK dan gerakan konservasi lingkungan lain. Resan GK aktif menanam dan merawat pohon-pohon besar, juga memelihara mata air, meneladani nama komunitas yang mereka emban. Istilah resan berasal dari bahasa Jawa Kawi reksa (menjaga) dan wreksa (pohon besar). Kata ini dipakai atas pemaknaan mereka terhadap pohon sebagai entitas penjaga mata air, penjaga tanah, dan pada akhirnya penjaga kehidupan seluruh makhluk.
Pohon resan biasa ditemui dalam wujud pohon-pohon raksasa yang tumbuh dekat mata air, sungai, telaga, atau sumber air lainnya. Tak semua pohon termasuk resan, karena kriteria utamanya adalah pohon yang akarnya mampu mengikat air di tanah. Cirinya adalah pohon yang daunnya senantiasa hijau sepanjang musim bahkan saat kemarau, dan tanah yang selalu lembab dan gembur di sekitarnya. Jenis resan ada banyak mulai dari beringin, trembesi, bambu, jambu alas, gayam, timaha, randhu, asem, bulu, kepuh, hingga gandhok.
Pohon dan sumber air ini, selain mempunyai fungsi ekologis, juga punya nilai spiritual di masyarakat. Karena itu kegiatan Resan GK tak sekedar bertujuan memperbanyak pohon, lebih tepatnya mengembalikan relasi manusia dan pohon, sekaligus alam, dalam tataran subtil.
“Menanam adalah budaya yang sangat tua, sebab dari dulu manusia hidup dari apa-apa yang tumbuh di bumi. Hampir semua mitos dan sejarah peradaban bermula dari pohon. Pohon itu saudara tua manusia,” ujar Edi Padmo, anggota dan inisiator Resan GK.
Dan memang demikian adanya. Dari kisah Adam dan Hawa di bawah pohon buah khuldi, mitos kuno Nordik soal Yggdrasil sang pohon kehidupan penyangga alam semesta, pencerahan Siddharta Gautama di bawah pohon Bodhi, hingga Kayon (kaprah disebut ‘gunungan’) wayang dalam budaya Jawa—semua melibatkan pohon besar.
Sayangnya, saat ini banyak pohon resan berusia ratusan tahun di Gunungkidul yang mati—karena ditebang, diracun, atau faktor alami. Jika tak ditangani, matinya pohon-pohon tua bisa berbuntut persoalan gawat, mengingat Gunungkidul rutin mengalami krisis air bersih.
Dilansir dari KR Jogja, pada 2021 lalu Pemkab Gunungkidul mengumumkan status siaga darurat kekeringan di 16 dari 18 kapanewon di sana. Lebih dari 100 ribu orang terpaksa menunggu kiriman tangki air bersih dari desa, atau membeli sendiri dengan harga mahal. Berbagai upaya telah dijajal, termasuk membangun telaga buatan, tapi krisis air terus jadi masalah tahunan warga.
“Dulu ratusan telaga di sini enggak pernah kering. Airnya dipakai untuk apapun, minum, mencuci, mengairi sawah. Enggak ada tuh ceritanya simbah sakit perut minum air telaga, padahal mandiin sapi ya di situ. Sekarang begitu dibangun telaga buatan, malah kekeringan,” tutur Edi Padmo.
Memanfaatkan musim hujan yang melimpahkan debit air, sejak awal 2022 Resan GK rutin mengadakan agenda penanaman mingguan di lokasi berbeda. Seminggu sebelum di Paliyan, mereka berkolaborasi bareng kelompok pemuda lokal menanami tebing Pantai Ngunggap, Gunung Sumilir, dan Kapanewon lainnya.
Deretan “divisi rombong ijo”—ikonik karena warna hijau mencolok dan terlihat konvoi di jalan—membawa ratusan bibit dan 50-an peserta berkumpul di Taman Ki Ageng Giring sejak pagi. Selepas dibuka dengan ritual, bibit dibawa peserta berjalan sekitar 300 meter turun ke tepi sungai lalu menyebar ke sepanjang tepian Kali Gowang.
Meski masih pagi, matahari sudah terik karena nyaris tak ada pohon besar, hanya rumput dan semak. Setelah menggali lubang sedalam 50 cm di area-area tandus, bibit ditanam. Suara tonggeret bersahut-sahutan dengan rericik air Kali Gowang, jadi tanda sebentar lagi kemarau akan tiba.
Menurut Edi jika ekosistem terjaga alami, kekeringan di Gunungkidul harusnya tak lagi terjadi. Kabupaten Gunungkidul terbagi jadi tiga zona topografi dengan karakter air tanah yang berbeda di tiap zonanya. Zona Batur Agung utara yang didominasi tanah latosol menyimpan banyak mata air seperti sendhang dan tuk.
Zona Ledhoksari tengah mulai banyak mengandung kapur, sungai di zona ini akan kering di musim kemarau namun masih banyak mata air memancar. Zona Gunung Sewu selatan yang berbatasan dengan laut adalah wilayah karst, banyak aliran sungai bawah tanah dan telaga alami di sana. Total, upaya konservasi ini berhasil menanam 13 ribu bibit pohon sejak 2018 sampai sekarang.
”Kalau saja [kearifan lokal] masih dipakai, pasti sumber air dan pohon dirawat. Sekarang orang terbiasa putar kran PDAM, lupa sama pohon. Cara pikir instan ini yang membuat kita mengabaikan proses alam,” tandasnya.
Dengan geram Edi bercerita bahwa tak sedikit tuk (mata air) yang malah dijadikan tempat buang sampah atau dikubur. “Sekarang secara teknologi kita naik, tapi justru secara rasa kita turun. Terhadap apapun, menghargai apapun, orang lain, termasuk ke alam.”
Kadang tantangan lain dari upaya konservasi ini adalah warga yang memilih menanam tumbuhan bernilai ekonomi, dibanding mempertahankan resan. Edi berharap masyarakat tidak selalu terkungkung, seolah konservasi dan kepentingan ekonomi mustahil beriringan. “Kalau alam rusak, mau bertani bagaimana? Kalau kekeringan, beli air satu tangki bisa jual kambing satu lho. Itukan ekonominya terganggu, ” ujarnya.
Tersebab selalu berpakaian tradisional dan melakukan ritual saat menanam, Resan GK tak jarang menerima komentar “menyembah pohon” atau “ngopeni dhemit” (merawat setan). Namun mereka tak ambil pusing. Aapa yang mereka lakukan juga bisa dilihat sebagai strategi. “Dulu kepercayaan [klenik] dipatuhi masyarakat lebih dari undang-undang,” komentar Edi.
Meski teknisnya adalah menanam pohon, yang mendorong Edi Padmo akhirnya menjalin jejaring Resan GK justru adalah pencarian spiritual. “Saya menemukan ilmu ikhlas itu di pohon,” ceritanya setelah agenda penananam di lokasi kedua Petilasan Gunung Bagus selesai. Kami ngobrol di teras makam, beratap rimbun ranting pepohonan, “Coba, apa sih bagian dari pohon yang dipakai untuk dirinya sendiri? Tidak ada, semua untuk makhluk lain. Apalagi akar, kerjanya tidak terlihat, tapi hasilnya banyak sekali.”
Farid Stevy, seniman dan musisi yang bergabung dengan Resan GK sejak 2020, berbagi cerita senada. “Aku cari ke banyak tempat, ternyata di menanam pohon ini aku menemukan makna. Menanam pohon itu hal baik, tidak ada keragukan seperti di kegiatanku yang lain. Aku menemukan spirit fundamental, dekat dengan alam, aku merasa pulang,” ujarnya. Memakai surjan lurik dan kain batik, ia nampak sama sekali berbeda dari penampilan biasanya di atas panggung.
Motivasi para anggota berbeda-beda. Mahmudi, kakek satu cucu asli Gunungkidul, mengaku menanam untuk hidup cucunya kelak. Sementara Sigit begabung setelah menyaksikan pohon beringan raksasa di depan rumahnya di Pasar Kawak mati diracun oknum tak bertanggung jawab.
Tahun 2021 lalu, Resan GK melakukan “penyulaman” pohon dengan menanam bibit baru di tengah batang pohon yang telah mati. “Setelah melihat teman-teman Resan GK bela rasa di Beringin Pasar Kawak itu, saya putuskan ikut. Ternyata apa yang mereka dan yang saya lakukan, menuju ke arah yang sama,” ujar Sigit.
Sebanyak 15 anggota Resan GK berlatar beda-beda, dari mulai petani, perangkat desa, PNS, guru, pengusaha, hingga seniman. Meski begitu, mereka punya spirit yang sama: menanam tak sekedar urusan ekologi semata, tapi juga batin.
Jika sedang tak menanam, mereka biasanya melakukan gali sumber air, pembibitan mandiri di 17 tempat, ziarah leluhur, juga wedangan (nongkrong) bersama. Baru-baru ini, mereka berhasil menghidupkan kembali sumber air Komplet di Kapanewon Playen. Sumber itu mereka gali Februari lalu setelah konon rusak dan kering sejak gempa besar Yogyakarta 2006. Tepat 35 hari setelah digali dan didoakan, air bening memancar dari sela-sela akar pohon dan dinding batu kolam.
Di lain sisi, strategi konservasi berbasis kearifan lokal ini patut dicoba komunitas di daerah lain. Merujuk laporan terbaru Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), manusia nyaris kehabisan waktu untuk sekedar menunda kenaikan suhu 1,5 celcius dan kenaikan permukaan air laut. Jika skenario itu terwujud, akan berdampak katastrofik ke seluruh dunia.
Kegiatan Resan GK mengingatkan saya bahwa krisis iklim secara global tak hanya disebabkan rusaknya alam oleh faktor yang “kelihatan” seperti eksploitasi dan pembangunan tak konstektual oleh manusia, tapi juga oleh faktor yang lebih subtil. Relasi manusia dan alam yang selama berabad-abad telah mengalami pendangkalan. Berbagai ritual dan laku dari kearifan lokal, yang bisa disebut panduan “teknis” relasi manusia dan alam, tak lagi diamalkan.
Di titik lain, upaya membangun kembali relasi klasik tersebut seperti diusung Resan GK bisa dengan mudah dituding sebagai upaya menghidupkan anismisme-dinamisme. Kita tahu, cap macam itu berpeluang membuat seseorang dianggap kolot atau musyrik oleh masyarakat modern.
Edi Padmo terbahak menanggapi pendapat saya, “Lha kita kan memang harus menyembah alam. Di Jawa, alam itu Gusti Allah kang ketok [yang terlihat]. Alam ini ibu dari semua kehidupan. Seperti ibu yang melahirkan dan merawat kita, ya harus kita sembah,” tutur Edi.
“Kalau dulu pohon-pohon resan secara alami menjaga kita, sekarang karena banyak ancaman, simbah-simbah ini harus kita jaga. Dengan kita jaga mereka, mereka menjaga kita.”
Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram