Daffa Adzin Albasith (17), siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, harus meregang nyawa akibat kenakalan remaja. Ia meninggal akibat serangan teror jalanan klitih di bilangan Gedongkuning, Kota Yogyakarta, Minggu lalu (3/4). Peristiwa itu terjadi ketika korban sedang keluar kos untuk mencari makan sahur bersama enam temannya. Teman korban mengaku tak mengenal para pelaku.
Menurut kronologi polisi, korban bersama enam temannya makan di sebuah warung di Gedongkuning pada Minggu dini hari sekitar pukul 02.00 WIB. Saat makan, lima pelaku yang menaiki dua motor sengaja menarik gas motornya dekat rombongan korban. Aksi cari ribut itu direspons korban dan teman-temannya. Menggunakan empat motor, korban dkk. langsung mengejar rombongan pelaku.
Pelaku rupanya telah menunggu korban dan teman-teman. Saat bertemu, pelaku langsung menyerang dari atas motor, dengan cara mengibaskan gir. Gir itu menghantam kepala Daffa. Menurut saksi mata, pukulan itu menjatuhkan Daffa hingga terseret sejauh 20 meter.
“Korban berada di motor kedua, posisi dibonceng di belakang karena yang membonceng (joki) mengelak kena ke mukanya korban. Sehingga korban mengalami luka di mukanya akibat kekerasan benda tajam yang diduga berdasarkan keterangan para saksi itu menggunakan gir dan menggunakan tali,” ujar Dirreskrimum Polda DIY Kombes Ade Ary Syam Indradi, dilansir CNN Indonesia.
Usai kejadian itu, pelaku dan teman korban langsung kabur. Korban bersama temannya semotor kemudian bergerak ke arah timur, kemudian ditemukan oleh patroli Sabhara Polda DIY. Ia sempat dibawa polisi ke RSPAU dr. S. Hardjolukito, namun akhirnya meninggal dunia sekitar pukul 09.00 karena luka di kepala. Korban adalah putra Madkhan Anis, anggota DPRD Kebumen, Jawa Tengah.
Kejadian ini langsung membangkitkan trauma. Apalagi baru tiga bulan lalu teror klitih membuat tagar #YogyaDaruratKlitih menggema di media sosial. Respons ini tampak di balasan twit ini dan ini.
Salah satu twit di akun menfess bilang, “Jadi takut bangett kuliah di Jogja gara² kasus klitih yang ga selesai2. Mana guee juga daftar di jogjaa lagii. Ini gimanaa critanyaa terusann, serba salah jadinya. Ini ortu gue abis denger klitih pasti kepikiran ngasih izin gue buat kuliahhh.”
Polda DIY, setelah sorotan terhadap klitih kembali marak, meminta masyarakat tak lagi menggunakan istilah tersebut. Pasalnya, insiden yang menewaskan Daffa masuk kategori tawuran pelajar. “Kata klitih ini mohon tidak kita gunakan lagi, karena ini sudah salah kaprah,” kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam, saat dikonfirmasi media pada 5 April 2022.
Dari pantauan Polda selama tiga bulan terakhir, korban serangan jalanan menggunakan senjata tajam ternyata tidak acak, alias semua terafiliasi dengan geng tertentu. “Mohon untuk kasus-kasus kejahatan jalanan yang secara eksplisit kemarin lebih tepatnya tawuran sebenarnya. Analisis kami, korban kejahatan jalanan nggak acak. Terjadi ejek-ejekan, ketersinggungan, jadi. tawuran,” tandas Kombes Ade.
Gubernur DIY sekaligus raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, mengeluarkan respons normatif menanggapi klitih yang kembali memakan korban nyawa. Ia meminta polisi menangkap pelaku dan menyidangkannya, berapa pun umurnya.
“Ini perkara pidana ya karena sampai meninggal. Ya bagaimana penegak hukum bisa cari cara bagaimana dia diproses di pengadilan. Perkara dibebaskan itu yang membebaskan pengadilan, bukan lembaga lain,” ucap Sultan, dikutip Antara.
Namun, pernyataan Sri Sultan itu mengundang kritik dari sebagian netizen, sebab muncul kesan kraton baru bersuara keras terhadap pelaku klitih setelah korban tewas kali ini anak politikus, tepatnya anggota DPRD di Kebumen. Netizen menyorot pernyataan Sri Sultan pada akhir Desember 2021, yang sempat menyebut kasus-kasus klitih terlalu dibesar-besarkan, serta membuat citra Jogja jadi kurang aman.
“Kan sudah ditangkap pelakunya, ya sudah selesai. Jangan dibesar-besarkan sama teman-teman pers,” ujar Sri Sultan kala itu.
Pelaku klitih didominasi remaja di bawah umur. Penanganan polisi terhadap pelaku anak-anak ini adalah debat tersendiri di Jogja. Selama ini polisi berpegang bahwa jika ancaman pasal yang disangkakan kurang dari 7 tahun, pelaku akan menjalani diversi atau proses hukum di luar pengadilan.
Lewat proses diversi, pelaku bisa direhabilitasi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sesuai durasi hukumannya, ditempatkan di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja, atau dikembalikan kepada orang tua.
Oleh masyarakat, diversi hingga penjara beberapa bulan dianggap hukuman yang terlalu ringan. Praktiknya, hukuman 7 tahun penjara atau lebih biasa dijatuhkan kepada pelaku klitih yang menewaskan korbannya.
Walau normatif, respons Sultan Hamengkubuwono X relatif lebih baik ketimbang tanggapannya Desember lalu. Ia sempat menuduh meruaknya tagar soal darurat klitih di media sosial sebagai rekayasa untuk memperburuk nama Jogja.
“Toh, yang melakukan sudah ditangkap, ya, sudah selesai persoalannya,” ujar Sultan, dilansir Kompas TV. “Mungkin teman-teman tidak merasa kalau itu by design misalnya, jadi supaya klitih ini diperpanjang terus menjadi sesuatu yang akhirnya dinyatakan Yogya tidak aman dan nyaman.”
Sultan juga menyebut bahwa ada cara menanggulangi klitih lewat dialog antarpihak. Namun solusi ini tidak dipakai karena “terlalu mahal”.
“Tapi [dialog] itu memerlukan biayanya pada waktu itu mereka minta begini ini Rp3-4 juta menangani 1 keluarga, bagi saya itu masih terlalu mahal. Kita perlu cari yang lain, yang lebih memungkinkan,” ujar Sultan, dikutip CNN Indonesia.
Laporan panjang VICE pada 2020 mengungkap bahwa klitih telah berubah dari persaingan antar-SMA menjadi premanisme jalanan yang brutal. Perubahan itu terjadi pada 2015-2016, dan membingungkan polisi karena sulit dipetakan.
“Kami itu dibuat geram dan dongkol sekali oleh klitih. Jeranya susah, kalau masuk penjara atau viral di sosmed malah bangga. Mending nangkap pencuri,” ujar Kanit Jatanras Polres Sleman, Ipda Yunanto Prabowo, kepada Titah AW dari VICE. Yunanto mengakui, aturan diversi tidak membuat pelaku kapok.