Tebak siapa yang sedang waswas keluar rumah di malam hari? Yak betul, warga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus terbaru klitih atau pembacokan acak di jalan raya, awal pekan ini, memicu gelombang protes besar warga Yogyakarta di Twitter. Polisi dan pemerintah daerah dituding gagal menghentikan kriminalitas yang makin tahun makin brutal tersebut. Bukannya meredam, otoritas justru membuat pernyataan yang mengecilkan kasus ini. Akibatnya protes membesar.
Klitih adalah istilah lokal untuk menyebut pelaku maupun praktik teror senjata tajam di jalan raya Yogyakarta. Sudah berlangsung puluhan tahun, klitih biasanya dilakukan pelajar SMA dengan modus: berboncengan dengan sepeda motor pada tengah malam hingga dini hari, lalu menyabet pengendara motor secara acak di jalanan sepi menggunakan senjata tajam.
Saking meresahkannya, tidak sedikit korban meninggal. Salah satu yang paling tragis adalah Dwi Ramadhani Herlangga, mahasiswa UGM yang tewas dicelurit klitih saat membagikan makan sahur di jalanan, bulan Ramadan 2018 silam.
Pada mulanya klitih adalah tawuran antar-SMA. Mantan pelaku klitih yang pernah diwawancarai VICE mengatakan, pada tahun-tahun belakangan kultur ini makin ekstrem dan brutal sehingga lebih pantas disebut sebagai begal. Selain target yang bergeser dari sesama siswa SMA menjadi korban acak, klitih juga tercatat mulai menyasar pengendara mobil.
Teror ini tak kalah kejam. Pada 2018 silam, sebuah Camry dilempari batu besar di kaca depan. Batu menembus kaca dan mengenai kepala pengemudi yang akhirnya meninggal dunia. Di tahun yang sama, sebuah Toyota Hi-Ace yang mengangkut wisatawan juga dilempari batu pada saat sedang melaju.
Sensasi bahwa pelaku makin brutal itu pula yang terasa dari kasus klitih terbaru, Senin lalu (27/12). Pasalnya, pelaku berani beraksi di Jalan Kaliurang, salah satu jalan paling ramai di Yogya. Tak sampai sehari, jatuh satu korban lagi di lokasi yang berdekatan dengan TKP pertama. Dua peristiwa ini kemudian memancing munculnya tagar #YogyaDaruratKlitih, #YogyaTidakAman, dan #SriSultanYogyaDaruratKlithih. Sebagai bukti betapa akutnya kriminalitas ini, tahun lalu tagar serupa berbunyi #DIYDaruratKlitih turut menggema di Twitter.
Korban peristiwa pertama adalah remaja 16 tahun. Ia mengalami lebam dan luka bacok setelah dihadang 6 pelaku, saat pulang dari warung makan pada pukul 01.30. Tak sampai 24 jam kemudian, keenam pelaku yang rata-rata berusia belasan diringkus. Kepada polisi, pelaku mengatakan aksinya hanya untuk senang-senang.
Yang mengecewakan, otoritas justru tampak mengecilkan kejahatan rutin ini. Permaisuri Sultan Hamengku Buwono X yang juga anggota DPR RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, misalnya, menyatakan “heran” dengan viralnya kasus klitih. Ia juga menyebut klitih sebagai “gangguan biasa”.
“Kejadian akan selalu viral di media sosial dan menjadi bahan berita dan langsung menyebar. Itu kan gangguan biasa dan polisi responsnya cukup cepat,” ujarnya, dikutip IDN Times.
Menurut catatan Polda DIY, laporan kasus klitih yang masuk ke polisi tahun ini memang naik dibanding tahun lalu, dari 52 menjadi 58 kasus. Tidak ada data resmi berapa korban meninggal akibat klitih, sementara korban termuda adalah seorang remaja berusia 14 tahun.
Sementara itu, raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menanggapi dengan menyebutkan opsi dialog antara pelaku klitih, keluarga, dan pemda. Namun, ia merasa opsi tersebut memberi beban finansial tinggi.
“Tapi [dialog] itu memerlukan biayanya pada waktu itu mereka minta begini ini Rp3-4 juta menangani 1 keluarga, bagi saya itu masih terlalu mahal. Kita perlu cari yang lain, yang lebih memungkinkan,” ujar Sultan, dikutip CNN Indonesia.
Pernyataan lain datang dari Kabid Humas Polda DIY Kombes Yuliyanto yang meminta tanggung jawab mengatasi klitih jangan ditumpukan hanya kepada polisi. Menurutnya masyarakat, khususnya orang tua pelaku, juga harus ikut mengatasi masalah ini. “Harus ada kontrol, dimulai dengan menanyakan kenapa belum pulang dan saat itu berada di mana,” kata Yuliyanto kepada Gatra.
Soal siapa yang harus bertanggung jawab ini turut disinggung GKR Hemas. Kali ini dengan menyebut bahwa tanggung jawab bukan cuma di pundak pemda. “Kita mengingatkan ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tapi [juga] institusi kepolisian, KPAI, LPA. Saya kira itu semua [terlibat] jadi kita berharap secepatnya,” ucapnya, dilansir Suara Jogja.
Dari semua tanggapan, komentar Kapolres Bantul AKBP Ihsan jadi juaranya. Dengan percaya diri, Ihsan mengatakan tagar #YogyaTidakAman tidak betul sama. Yah, meskipun argumennya malah bikin pusing.
“Yogya ini tetap aman, anggota kami selalu hadir di lapangan untuk memberikan rasa aman. Jadi apa yang ada di medsos bahwa sekarang Jogja tidak aman itu tidak benar,” papar Ihsan. Indikator bahwa Yogya tetap aman itu, menurut Ihsan, bisa dilihat dari “… Pantai Parangtritis Bantul dalam beberapa hari ini sangat ramai, di Malioboro juga sangat ramai, itu menandakan bahwa Jogja tetap aman, tetap berhati nyaman.”
Tambahan menarik lainnya dari Ihsan ialah pernyataannya bahwa polisi selalu siap menangani klitih. Nah, soal ini, sudah ada balasan menohok dari netizen lewat video ini:
“Nggih, leres niku nek polisi niku siyap. Polisi siyap 24 jam. Namung kan sing diklitih niku kan boten siyap. Lah pripun? Ajeng diklitih diandani riyin? Nopo pripun? Matur nuwun, ganti.”
Terjemahan komentar di atas: “Ya, betul itu kalau polisi itu siap. Polisi siap 24 jam. Tapi kan yang diklitih tidak siap. Terus gimana? Sebelum diklitih, dikasih tahu dulu [bahwa mau diklitih]? Makasih, ganti.”