Sejak masih muda, saya dan vagina telah melalui masa-masa sulit bersama. Saat saya baru umur tujuh tahun, selangkangan pernah terbentur setang akibat jatuh dari sepeda. Begitu juga ketika saya pertama kali menstruasi di usia 12, atau bahkan saat saya kesakitan memasang KB.
Namun, saya kurang memperhatikan alat kelamin saat melahirkan. Saya baru menyadari eksistensinya setelah perawat menganjurkan tindakan episiotomi — pembedahan di daerah otot antara vagina dan anus untuk memperbesar jalan lahir bayi. Percayalah, hidup terasa seperti di neraka sejak ada sayatan kecil itu.
Saya cuma bisa sumpah serapah saat pertama kali buang air setelah melahirkan. Pertanyaan-pertanyaan macam “Akankah pendarahan ini berakhir? Apakah saya masih punya labia?” terus menghantui benakku. Keesokan harinya, saya melihat gumpalan darah seukuran tangan jatuh ke pembalut. Saya belum bisa melupakan momen itu.
Rasa sakitnya berkurang beberapa hari kemudian, dan hilang total setelah dua minggu. Akan tetapi, meski lima bulan telah berlalu, saya belum siap menyentuh vagina atau vulva, bahkan saat mandi sekalipun. Pasangan meyakinkan tidak ada yang salah dengan vaginaku. Katanya masih sama seperti dulu, tapi tetap saja saya tak sudi berurusan dengannya.
Saya merasa tubuhku jelek setelah menjadi ibu. Payudara kendur; rasa sakit yang kualami tak terkira. Apakah semua perempuan merasakan ini, atau saya saja yang terlalu lemah?
“Saya dihadapkan dengan cermin supaya bisa melihat proses persalinan. Momen itu sangat indah,” tutur Félicia Appiah, perempuan 30 tahun yang menjadi ibu di usia 19. “Abel [nama anaknya] sudah mulai keluar, tapi sebagian besar tubuhnya masih ada di dalam.”
Momen pertama dia melihat putranya lahir ke dunia juga menjadi momen terakhirnya melihat vagina untuk waktu yang lama. “Tak ada yang memperingatkan kalau saya harus memperhatikan seksualitas pribadiku lagi,” lanjutnya. “Saya baru sadar setahun kemudian, bagian tubuhku ini bukan hanya untuk buang air kecil dan melahirkan.”
Untungnya, proses persalinan Appiah berjalan lancar. Vagina perempuan itu sobek sedikit ke arah klitoris, tapi dia melepas jahitan dua hari kemudian. Dia masih terlalu muda saat itu, dan dia sendiri yang meminta agar jahitan cepat dilepas. Rasa sakitnya memang hilang, tapi Appiah tak bisa menceritakan ketidaknyamanannya kepada orang lain. “Ibu angkat tidak bisa punya anak, sedangkan teman-temanku sibuk dengan kehidupan mereka,” ungkapnya. “Sulit sekali rasanya.”
Sophie Whetton juga mendapat tindakan episiotomi 1,5 tahun yang lalu. Sama sepertiku, perempuan 30 tahun itu merasa terasing dengan prosedur itu. Dia dirawat tiga hari pasca persalinan dan tidak sanggup pakai celana sama sekali.
Menurut pengakuannya, dia ogah menyentuh vagina setelah lahiran — termasuk saat membersihkan badan. “Tanganku sempat menyentuh kepala bayi yang baru mau keluar,” kenangnya. “Saya sampai menarik tangan saking jijiknya Aneh sekali rasanya menyentuh kepala lengket…”
Whetton menyesal tidak mengenal tubuhnya sendiri lebih awal, jauh sebelum lahiran. Ini sebagian disebabkan oleh keengganan ilmuwan mempelajari — apalagi menyebarkan informasi yang tepat — tentang tubuh perempuan. Mereka berasumsi anatomi kedua jenis kelamin tak ada bedanya. Kesenjangan data gender ini amat dirasakan para perempuan yang mengalami masalah pada vaginanya.
Ibu baru dituntut cepat memahami segala hal tentang mengasuh anak dan kondisi tubuhnya setelah melahirkan. Mereka belajar menyusui sendiri, baru tahu stretch mark adalah hal yang wajar, dan mengetahui latihan otot lantai pelvis setelah melahirkan. Ditambah lagi, perempuan harus tetap memperhatikan suami di samping mengurus anak. Tapi kenyataannya, mengelola semua ini tak semudah kelihatannya.
“Saya merasa harus meyakinkan [pasangan] semuanya akan kembali seperti sedia kala, baik kehidupan seks kami maupun penampilan tubuhku,” kata Whetton.
“Kamu tak sempat memikirkan seks selama melewati tahap pertama yang penuh gejolak ini,” lanjut Appiah. “Kamu sangat lelah [mengurus anak]. Waktu tidur yang singkat terlalu berharga untuk dikorbankan demi seks.”
Perempuan biasanya tidak diperbolehkan berhubungan intim setidaknya enam minggu setelah melahirkan. Saya merasa sehat dan baik-baik saja selama hamil, sehingga enam minggu terdengar sangat lama. Tapi sekarang, sejak menjadi ibu, rasanya cuma sekali saya bisa tidur siang. Enam minggu sudah berlalu, tapi saya tak tertarik bercinta.
Namun, pasangan berhasil menggodaku bahkan saat saya merasa tidak seksi sama sekali dan jarang mandi. Whetton memahami apa yang kurasakan. Dia juga butuh waktu tidak sebentar sampai bisa berhubungan badan. Vaginanya nyeri selama tiga bulan, dan dia baru siap mengajak pasangan bercinta setelah enam bulan. “Saya membutuhkan ini baik secara fisik maupun mental. Saya merasa tidak cantik.”
Sementara itu, Appiah melihat seks sebagai bentuk memuaskan orang lain setelah melahirkan. Baginya, itu bukan keinginannya sendiri, dan dia capek memprioritaskan kebutuhan orang lain. Dia baru siap melakukannya enam bulan kemudian. “Saya enggak bermaksud lebay saat mengatakan sayatan itu menggangguku setidaknya selama satu tahun setelah melahirkan,” ucapnya. “Saya bahkan tidak mau masturbasi lagi.”
Kehidupan seks dan percintaan mereka jauh lebih baik sekarang. “Saya semakin dekat dengan pasangan setelah melahirkan putra kami,” kata Whetton. “Hubungan kami semakin erat. Saya juga merasa lebih bahagia dan puas dengan hidup.”
Begitu pula halnya dengan Appiah. “Seks terasa lebih menyenangkan sekarang, mungkin karena faktor usia, atau sekarang saya menjalin hubungan dengan sesama perempuan,” ujarnya. “Saya merasa lebih nyaman dengan diri sendiri.”
Obrolanku bersama Whetton dan Appiah berakhir dengan baik dan memberi secercah harapan, tapi tak dapat dipungkiri pembicaraan seputar vagina dan hubungannya dengan kita sebagai perempuan tidaklah mudah. Semua akan berubah begitu punya anak, termasuk seksualitas. Tak ada alasan bagi kita untuk enggan membicarakan soal ini.
Sebagai ibu, kita masih terikat dengan tubuh masing-masing, tapi juga butuh waktu untuk memahami diri sendiri. Setiap perempuan akan melalui proses ini dengan cara yang berbeda-beda.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgia