Di saat kebanyakan dari kita cuma bisa menggambar orang yang lebih mirip tongkat, Andréa Dlouha mampu menorehkan potret realistis di atas kanvas. Tak hanya itu saja, dia jago melukis ulang karya seniman lain hingga mirip aslinya. Selama belasan tahun menggeluti dunia seni rupa, ia telah mereplikasi berbagai lukisan populer karya Picasso, Van Gogh hingga Renoir dari studionya di Paris. Bahkan klien-klien Dlouha pernah memintanya menggambar potret keluarga.
“Saya tidak punya periode favorit,” tuturnya. “Ketertarikan saya berubah-ubah tergantung waktu dan pesanan klien. Setiap era memiliki kehebatannya masing-masing.”
Klien Dlouha tersebar di berbagai belahan dunia. Namanya juga dikenal sebagai salah satu seniman reproduksi terakhir di Prancis. Namun, ia merasa heran kenapa kami tertarik mendengar kisahnya.
Dlouha memastikan setiap karyanya dilukis dengan teknik dan cat yang sama persis seperti yang digunakan pelukis asli. Itulah yang membuat dirinya unggul di kancah reproduksi seni tradisional. “Ini cat minyak khas abad ke-16,” terangnya sambil memamerkan stoples cat yang diambil dari rak. “Kamu harus menggarang cat selama dua jam [sebelum digunakan].”
Pilihan warna cat yang tersedia di masa lalu sangat terbatas — cuma ada lima warna dasar — sehingga seniman harus mencampurkan cat untuk menciptakan warna baru. “Begitulah cara mereka membuat lukisannya sedap dipandang dan tidak terlalu terang,” lanjut Dlouha. Pada masa itu, teknik menduplikat juga dianggap sebagai bentuk seni, dan karyanya begitu diminati selama abad ke-19. Keterampilan mereproduksi bahkan diturunkan langsung dari sang ahli. “Setiap master punya rahasianya sendiri,” ujarnya. “Orang butuh rata-rata 13 tahun untuk bisa menjadi seniman [reproduksi].”
Bagi Dlouha, melukis ulang karya orang lain ibarat bikin kue tanpa mengikuti resep. Dia mengambil inspirasi dari studi restorasi seni, juga sebisa mungkin mempelajari lukisan yang hendak ditiru dengan mata kepala sendiri. Warna lukisan yang ditampilkan dalam poster dan buku berbeda dari aslinya. Penting baginya untuk mengamati lukisan secara langsung guna menghasilkan karya lebih maksimal.
Meski proses pembuatannya mirip, reproduksi berbeda dari pemalsuan karya seni. Sebelum menciptakan ulang suatu karya, seniman harus memastikan karyanya tidak memiliki hak cipta. Di Prancis, status lukisan akan berubah menjadi domain publik jika penciptanya sudah meninggal dunia lebih dari 70 tahun. Selain itu, seniman reproduksi dilarang membuat lukisan dalam ukuran yang sama seperti aslinya. Mereka tidak boleh menirukan tanda tangan pelukis asli, dan wajib memberi tanda di belakang kanvas.
Museum-museum di Prancis membuka pintu bagi para seniman yang ingin mereproduksi lukisan dalam pameran. Yang terpenting, mereka telah mendapat lampu hijau oleh pihak museum. Menurut Dlouha, museum pasti akan memberi izin apabila sedang tidak ramai pengunjung. Ia sendiri sering mendatangi museum-museum di luar negeri untuk memperhatikan koleksi lukisannya dari dekat. Belum lama ini, Dlouha mempelajari lukisan Brueghel yang dipajang di sebuah museum di Jerman.
Namun, pamor reproduksi seni perlahan tergerus kemajuan teknologi, yang memopulerkan reproduksi cetak karya seni dengan harga lebih terjangkau.
Tak pernah sekali pun terbayang dalam benak Dlouha, dirinya akan menjadi seniman suatu hari nanti. Dia seorang ahli biologi yang awalnya bekerja di industri farmasi. Suatu hari, ia terpikir melukis gambar untuk dipajang di rumah — yang hasilnya ia akui kurang bagus. “Saya mengalami kesulitan ekonomi setelah kehilangan pekerjaan,” kenangnya. “Jadi saya nekat mencoba [reproduksi seni] dan ternyata saya mampu melakukannya.”
Dlouha belajar melukis secara otodidak, tapi dia berani mengambil risiko dengan membuka studionya sendiri. Keluarga sempat khawatir mendengar keputusannya, tapi ketekunan Dlouha menyempurnakan teknik reproduksi selama 20 tahun membuahkan hasil yang manis. Kariernya mulai merangkak, dan semakin banyak klien berdatangan menggunakan jasanya.
“Banyak yang bilang, ‘Buat apa sih kamu repot-repot melakukan ini? Sekarang orang bisa beli reproduksi seharga €30 (Rp447 ribu) saja di internet,’” katanya. “Itu sama saja kayak membandingkan kantong plastik dengan Hermès.”
Dlouha butuh kira-kira setahun untuk merampungkan satu lukisan, sehingga klien harus bersabar menanti pesanan mereka selesai. Tarif yang ia pasang tergantung seberapa sulit dan ukuran lukisan yang akan ditiru, mulai dari €1.500 (Rp22 juta) hingga puluhan ribu Euro. Ruangan studio Dlouha tidak luas, jadi dia hanya menerima permintaan melukis dengan ukuran yang tidak terlalu besar.
Di sela-sela mengerjakan pesanan klien, Dlouha juga mengajar calon pelukis yang tertarik mengikuti jejaknya. Kelas melukisnya baru saja selesai ketika kami berkunjung ke studionya. Ekspresi kagum terlukis jelas di wajah para muridnya.
Kami lalu bertanya kepadanya, apakah dia tidak jenuh menghabiskan sebagian besar waktunya meniru lukisan orang. Padahal, jika melihat kemampuan melukis Dlouha, dia bisa saja menjadi seniman yang menghasilkan karya sendiri.
Dlouha berujar, pertanyaan semacam itu tak ada bedanya dengan debat kusir di kalangan seniman terkait reproduksi seni. Ada yang melihat seniman reproduksi tak lebih dari pengrajin, ada juga yang beranggapan mereka pantas dipanggil seniman layaknya orang-orang yang menciptakan karya seni asli.
Selain itu, Dlouha tak pernah sepi pesanan, jadi dia merasa tidak punya cukup waktu untuk menghasilkan mahakaryanya sendiri. Terlebih lagi, ada tanggung jawab besar yang diemban seorang pelukis reproduksi untuk memberikan kualitas yang sepadan dengan karya seni klasik.
Dia sudah puas dengan profesinya saat ini. “Meski bukan seni kreatif, kamu harus bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda di setiap lukisan,” tuturnya. Hidup Dlouha juga berkecukupan berkat lukisan tiruan. “Saya, sih, gak tertarik ya jadi seniman kelaparan,” dia bergurau.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Prancis.