Pintu Museum Vagina seharusnya terus terbuka lebar. Terletak di lokasi strategis di Camden, pejalan kaki yang sedang cuci mata tanpa sengaja mengunjungi museum yang bertujuan menghentikan tabu seputar alat kelamin perempuan.
Namun, tampaknya museum ini tak berumur panjang. LabTech selaku pemilik gedung tidak akan memperpanjang sewa museum yang berakhir 24 September kemarin, terlepas dari fakta keberadaan Museum Vagina telah didukung penuh oleh Dewan Camden pada 2019. Kala itu, dewan menyebut museum akan “menambah pemahaman kolektif tentang tubuh kita.”
Sejauh ini, pengelola Museum Vagina belum berhasil menemukan tempat sewa lain dengan harga terjangkau di kawasan komersial atau budaya yang mudah diakses.
“Benar-benar menyedihkan,” ujar pendiri museum Florence Schechter ketika dihubungi VICE World News melalui telepon. Museum Vagina didirikan setelah dia menyadari tak ada satu pun museum bertema genitalia perempuan seperti Museum Phallological di Islandia. Museum ini awalnya didirikan dalam format pop-up (sementara) di sejumlah tempat di Inggris, tapi akhirnya menemukan lokasi permanen di Stables Market di Camden pada Oktober 2019.
Sejumlah pemilik properti di sekitar London telah mempertimbangkan pengajuan sewa, tapi semuanya ditolak tanpa alasan pasti. Schechter berujar, dia yakin “patriarki institusional” memengaruhi ini.
Museum Vagina telah menerima pujian yang luas sejak berdiri di Camden, termasuk dari aktris Gillian Anderson. Lebih dari 110.000 pengunjung mendatangi pameran Muff Busters: Vagina Myths and How To Fight Them yang digelar pada 2019. Setelah pameran Periods baru-baru ini, 89 persen pengunjung mengaku mereka jadi lebih memahami sejarah menstruasi. Menurut data museum, kedua pameran menerima respons positif yang luar biasa.
Bagi Schechter, penutupan museum juga menandai peningkatan gentrifikasi di Camden. “Saya kepengin museum didirikan di Camden, berhubung saya tinggal di sini. Banyak yang ngomongin betapa parah gentrifikasi di Camden. Dengan ditutupnya [museum] kami, semakin sedikit saja semangat pemberontak Camden.”
Bulan lalu, perwakilan Camden Market memberi tahu surat kabar London The Evening Standard, mereka “berhubungan langsung dengan Dewan Camden dan mendapatkan izin perencanaan sementara selama 24 bulan untuk mengakomodasi [museum]” pada 2019.
“Sayangnya, izin perencanaan ini akan kedaluwarsa. Kami telah menawarkan lokasi baru yang lebih besar dan sesuai persyaratan bisnis ini dengan biaya sewa yang diharapkan. Tawaran ini telah ditolak, tapi kami siap bernegosiasi dengan pengelola kapan pun ada perubahan minat,” imbuhnya.
Pada 2 Agustus, pihak pengelola menjelaskan alasan mereka di akun Twitter resmi museum. “Lokasi baru yang ditunjukkan Camden Market berada di lantai atas. Ini secara efektif menempatkan Museum Vagina ke rak paling atas dan membuatnya tak terlihat.”
“Ini takkan berhasil bagi kami: ‘vagina’ bukan istilah kotor. Itu harus terlihat di dalam komunitas, melawan aib yang melekat pada kata tersebut. Seharusnya tidak disembunyikan layaknya majalah mesum.”
LabTech memiliki satu juta persegi Camden Market. Keterangan di situs web mengatakan, “Visi kami adalah menciptakan destinasi yang unik untuk tempat tinggal, bekerja, belanja dan bermain — untuk mempermudah pengalaman di siang dan malam hari.”
Sejumlah pengguna Twitter menyatakan kesedihan mereka atas penutupan museum. Penyelenggara Kesetaraan Partai Nasional Skotlandia Fiona Robertson mengetwit, “Sangat revolusioner museum ini berada di tempat yang menonjol, mudah diakses dan berdiri tanpa malu. Melegakan, edukatif, berbasis masyarakat. Museum itu merupakan satu-satunya alasan saya mengunjungi wilayah di London itu, yang berarti saya juga menghabiskan waktu di sekitar bisnis lain.”
Tim Schechter akan menjalankan museum secara online hingga menemukan tempat sewa baru. “Kami akan beroperasi seolah-olah sedang pandemi — itu melatih kami beroperasi tanpa ruang fisik. Kami melakukan berbagai hal secara online, [seperti] acara online.”
Museum Vagina telah menjangkau empat juta pengunjung virtual per bulan, tapi hilangnya museum fisik akan berdampak signifikan pada jangkauannya. Pasalnya, 25 persen pengunjung pasca-COVID main ke museum karena “kebetulan lewat” di depan gedung.
LabTech belum menanggapi permintaan VICE World News untuk berkomentar pada saat artikel ini terbit.