Satu hal yang mungkin bisa disepakati pengguna aktif Twitter yaitu aplikasi ini meracuni pikiran dan jiwa kita. Setiap kali membukanya, kalian akan menemukan twit yang membuatmu menghela napas panjang dan ingin banting HP.
Twitter yang dulunya cocok buat seru-seruan dan menghibur diri, kini berubah menjadi tempat yang amat menjengkelkan. Tiada hari tanpa menyaksikan cerita atau kelakuan pengguna yang bikin marah-marah. Belum lagi, kita sering berhadapan dengan orang sok tahu yang tiba-tiba datang dan menceramahi isi twit kita padahal tidak ada yang minta. Padahal saat itu, kita hanya mengetwit hal yang disukai, bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Tak sedikit pengguna yang mengekspresikan rasa muak mereka terhadap Twitter. Bahkan ada yang terpikir meninggalkan jejaring sosial ini selama-lamanya. Saya pun bertanya-tanya: bisakah Twitter dihapus dari internet? Apa yang akan terjadi? Bolehkah kita bermimpi sedikit?
Awal Oktober lalu, semua aplikasi Facebook, termasuk WhatsApp dan Instagram, tidak dapat diakses sama sekali. Pengguna medsos cuma punya tiga pilihan: mengunduh TikTok, buka Twitter atau “baca buku”. Berhubung kita terlalu malas membaca buku dan beberapa merasa sudah ketuaan untuk main TikTok, pilihan akhirnya jatuh pada Twitter, situs terburuk setelah Facebook.
Status yang disandang Twitter sebagai platform menyebalkan tak sepenuhnya salah aplikasi itu sendiri. Jejaring sosial mana pun yang mengandalkan berita terbaru pasti berada di posisi yang tidak mengenakkan, mengingat konten semacam itu sangat menakutkan dan meresahkan sepanjang waktu (kecuali berita tentang orang hilang di Turki yang ikut mencari dirinya sendiri). Fakta bahwa istilah “doomscrolling” muncul dari Twitter saja sudah sangat memberatkan platform tersebut.
Doomscrolling adalah kebiasaan berselancar atau menelusuri media sosial tanpa henti, menjadi gambaran yang paling tepat bagi keberadaan Twitter di dunia maya: dibenci para penggunanya, tapi mereka tak mampu meninggalkan Twitter. Tapi, bagaimana jika kita membebaskan diri kita sendiri? Bagaimana kalau kita semua dipaksa menikmati selera TikTok masing-masing? (Saya pribadi mungkin akan jatuh ke lubang “cryptidcore” kalau sampai bikin akun TikTok.)
Gagasan ini sulit diterima karena Twitter telah menjadi bagian penting dalam hidup dan menghubungkan kita semua dengan dunia luar. Internet telah membuat sebagian besar dari kita hanya mengonsumsi berita yang sesuai dengan bias kita, dan TL Twitter merupakan perpanjangan langsung dari itu. Kemungkinan besar ini telah mengubah cara kita mengonsumsi berita, dan mungkin akan ada entitas mirip Twitter lainnya yang membayangi masyarakat.
Bagi banyak orang, daya tarik Twitter terbungkus dalam gagasan pekerjaan (atau keberadaan) mereka takkan pernah diakui tanpanya. Orang-orang yang mencoba berhenti main Twitter, akhirnya balik lagi ke aplikasi itu karena FOMO (takut ketinggalan berita terbaru). Lagi pula, ada kalanya—meski sangat jarang—Twitter terasa seperti inovasi terhebat yang pernah diciptakan umat manusia.
Sekali lagi saya bertanya, bagaimana kalau kita bisa kayak Thanos, yang mampu memusnahkan Twitter dalam satu jentikan jari?
Sebagian orang mungkin akan berpendapat menyingkirkan Twitter dapat berdampak buruk bagi budaya karena situs ini “ladangnya ide” dan tempat bertukar pikiran (hanya orang-orang yang tidak pernah terlibat dalam debat Twitter yang bisa berbicara seperti ini). Memang, kita tidak bisa mengabaikan fungsi media sosial untuk menyebarkan ide, mengorganisir aktivisme dan berbagi informasi.
Platform ini juga berperan penting menciptakan komunitas bagi mereka yang terpinggirkan — namun sulit untuk tidak menertawakan orang-orang yang menyebut Twitter sebagai sarana debat serius dan produktif. Twitter menghilangkan kemampuan kita untuk memahami konteks. Postingan paling sepele dan tidak berbahaya sekali pun dapat berujung pada argumen melelahkan ketika ada yang terpelatuk
Semakin ke sini, semakin sulit mencari hiburan di Twitter. Aplikasi burung ini dulu gudangnya video lucu, tapi sekarang TikTok telah mengambil alih. Berita yang muncul sehari-hari juga suram, sehingga Twitter dipenuhi olehnya dan diskusi di sekitarnya. Namun, pada saat yang sama, Twitter juga dipenuhi orang-orang yang suka membicarakan dirinya sendiri melalui lensa berita apa pun, cara yang bagus menciptakan perasaan terluka. (Di Instagram, setidaknya kalian bisa diam-diam curhat di balik foto matahari terbenam atau berjemur di pantai.)
Hilangnya kemampuan Twitter untuk membuat orang tertawa juga menunjukkan jenis kesungguhan dan ketertarikan pada kemurnian moral (semakin banyak yang takut “di-cancel” karena twitnya). Kurang lebih ini mirip orang-orang yang menghina kita hanya karena menyukai film yang karakternya jahat.
Hal ini jelas merugikan baik bagi seni maupun pemikiran cerdas. Manusia — termasuk yang sok suci di Twitter — memiliki banyak kekurangan. Beberapa dari kita akan mengatakan apa pun untuk mendapat perhatian. Hidup ini mungkin akan lebih mudah jika kita tidak terpapar berbagai pikiran dan kelakuan banyak orang setiap harinya. Tapi saya tahu ini mustahil terjadi (seperti MySpace, Twitter akan digantikan platform lain yang lebih buruk begitu hilang). Saya juga tidak bisa menahan diri untuk tidak keseringan ngetwit.
Akan tetapi, coba kalian bayangkan betapa nyenyaknya tidur kita di malam hari jika Twitter hilang. Pada dasarnya, kita mungkin tetap menggunakan aplikasi ini untuk memahami dunia, membuat kita merasa seperti orang penting, atau bahkan merasakan koneksi, tapi itu takkan menjadi satu-satunya tempat untuk mewujudkan semua ini. Coba kalian bayangkan itu! Pasti menyenangkan, kan?