Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, sekaligus ketua umum organisasi Pemilik Izin Khusus Senjata Api Bela Diri (Periksha), Bambang Soesatyo merespons emosional insiden terbunuhnya Kepala BIN Daerah Papua dalam kontak senjata dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Bamsoet meminta kekuatan TNI-Polri segera dikerahkan membasmi kelompok kriminal bersenjata (sebutan pemerintah indonesia untuk sayap militer kelompok separatis) dengan tanpa ragu mengesampingkan dimensi hak asasi manusia.
“Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian,” terang Bamsoet, pada 26 April 2021, dilansir CNN Indonesia. Ia sekaligus meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menetapkan kelompok separatis di Papua sebagai organisasi teroris.
Sehari sebelum pernyataan itu, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) untuk Daerah Operasi Papua, Brigjen I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, tewas tertembak di kepala oleh pasukan TPNPB dari kelompok pimpinan Lekagak Telenggen. Penembakan terjadi dalam bentrok senjata pada akhir pekan lalu (25/4) di Kampung Daungbet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua. Saat itu Brigjen Danny bersama 11 tentara lain datang ke Daungbet mempersiapkan operasi penyergapan KKB yang dua pekan sebelumnya diduga membakar sekolah dasar.
TPNPB lewat juru bicaranya, Sebby Sambom, mengaku bertanggung jawab atas kematian Danny. Kepada CNN Indonesia ia mengatakan Brigjen Danny tertembak peluru nyasar TPNPB.
“TPNPB pimpinan Mayjen Lekagak Telenggen bertanggung jawab atas penembakan dua anggota TNI. Dalam kontak senjata tersebut, TPNPB tembak anggota TNI. Akan tetapi, kami tidak ada yang kena dan kami semua aman,” ujar Sebby Sambom kepada media Papua, Jubi.
Info dari Sambom, tentara TPNPB masih berada di wilayah tersebut. “Kami dalam siaga satu di lokasi tersebut. Kami juga siap akan kontak senjata dengan aparat TNI dan Polri.”
TPNPB adalah satu dari tiga organisasi militer pembebasan Papua selain Tentara Revolusioner West Papua (TRWP) dan Tentara Nasional Papua (TNP). Sesudah tewasnya Brigjen Danny, Presiden Jokowi meminta Kapolri dan Panglima TNI agar segera mengejar seluruh elemen kelompok separatis bersenjata di Papua.
Dengan tewasnya Brigjen Danny, ia menjadi perwira tinggi pertama yang terbunuh dalam konflik Papua. Demikian dikatakan Ketua Kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth kepada BBC Indonesia.
Siklus Kekerasan Tak Perlu Dilanggengkan
Imbauan Ketua MPR RI untuk mengesampingkan HAM demi membasmi kelompok separatis di Papua dikritik sejumlah organisasi HAM. Amnesty International Indonesia (AAI) dalam rilisnya menyebut pernyataan Bambang inkonstitusional dan hanya akan mendorong eskalasi di Papua dan Papua Barat.
“Kami mengutuk pembunuhan di luar hukum terhadap Kepala BIN Daerah Papua. Dan kami mendesak negara untuk menegakkan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia dengan menemukan dan mengadili pelaku pembunuhan di luar hukum di sana. Kejadian tersebut harus dijadikan yang terakhir dan tidak boleh dijadikan pembenaran untuk memperluas pendekatan keamanan yang selama ini terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah di Papua. Cara itu hanya melanggengkan siklus kekerasan yang dapat mengorbankan warga masyarakat dan juga aparat negara,” demikian bunyi rilis AAI.
Rilis Setara Institute mengutarakan hal serupa. “Dalam konstruksi HAM yang juga diatur dalam UUD 1945 pasal 28i, terdapat hak-hak yang terkategori non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun dan oleh siapa pun. Dalam UU HAM telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan apa pun’ termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat. Kemudian yang dimaksud dengan ‘siapa pun’ adalah negara, pemerintah, dan atau anggota masyarakat.”
Setara mengingatkan, “darah dibalas dengan darah” hanya akan memunculkan lingkaran kekerasan yang memakan korban sipil tak berdosa. “Bahkan pada Kamis [8/4], dua orang guru SD juga menjadi korban penembakan karena dianggap sebagai pendatang yang bertugas sebagai mata-mata. Pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua,” ungkap Setara.
Dalam perang antara aparat Indonesia melawan tentara pembebasan, warga sipil kerap menjadi korban. Baik karena dibunuh KKB maupun oleh militer Indonesia. April tahun lalu misalnya, dua pemuda umur 19 dan 21 tahun di Mimika tewas ditembak TNI saat sedang mencari ikan. Kapolda Papua beralasan, aparat sulit membedakan warga sipil dan milisi. Pada bulan yang sama, dua pemuda usia 21 dan 23 tahun diculik, dibunuh, dan dibakar mayatnya oleh TNI karena disangka anggota OPM. Semua korban tak pernah terbukti jadi anggota organisasi bersenjata.
Menurut catatan AAI, aparat Indonesia diduga melakukan 47 pembunuhan di luar hukum sepanjang Februari 2018-Desember 2020. Korban yang jatuh sebanyak 80 orang.
Kesediaan melakukan kekerasan pada warga sipil yang diduga mata-mata juga dianut TPNPB. “Saya ingatkan lagi kepada aparat TNI/Polri jangan menggunakan tenaga masyarakat sipil dan masyarakat pendatang untuk memata-matai kami, masyarakat Papua, dengan berbagai alasan seperti pendeta di gereja, guru di sekolah, mantri maupun dokter, tukang bangunan, ojek, jual pakaian, dll.,” ujar Sambom kepada Tribunnews. “Bila itu cara yang negara Indonesia pakai, untuk intelijen kami sudah tahu cara-cara itu, maka kami tidak segan-segan tembak mati.”
Eks tahanan politik dan Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta mengatakan kepada VICE, usulan Bamsoet bukan hal baru. Di Papua, selama ini telah terjadi adalah mobilisasi aparat untuk mengganyang milisi bersenjata, yang malah membuat orang asli Papua jadi korban.
“Harusnya disadari bahwa setiap perlawanan bersenjata yang dilakukan, terlepas benar atau salah, adalah wujud dari ingatan penderitaan selama 50-an tahun hidup dalam masa konflik. Dan apabila pendekatannya masih seperti ini, lingkaran kekerasan enggak akan bisa hilang, malah akan terus meluas,” ujar Surya kepada VICE.
Menurutnya, masalah Papua seharusnya diselesaikan dengan pendekatan diplomasi. “Mestinya pendekatannya politik yang bicara opsi-opsi politik dan tidak menutup kemungkinan pada opsi referendum. Dengan syarat semua pihak gencatan senjata dan pasukan TNI/Polri organik dan non-organik ditarik terlebih dahulu,” tambahnya.
Usulan Bambang yang militeristik untuk mengatasi konflik Papua dianggap terasa absurd, mengingat preseden di Aceh menunjukkan pendekatan diplomasi bisa dilakukan untuk meredam separatisme.