Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio akhirnya menerima ajakan wawancara panjang di kanal YouTube Deddy Corbuzier. Mengetuai lembaga negara paling terhujat seminggu terakhir (KPK bisa istirahat dulu), penjelasan Agung sangat ditunggu khalayak terutama terkait posisi KPI mengenai dua hal, glorifikasi kebebasan Saipul Jamil di televisi dan kasus pelecehan seksual yang terjadi di kantornya sendiri. Mengutip pepatah milenial: ke mana lagi kita berharap klarifikasi kalau bukan ke Podcast Deddy?
Dalam perbincangan berdurasi satu jam itu, sebuah pernyataan Agung segera jadi headline. Doi mengatakan bahwa Saipul sebenarnya boleh-boleh saja kembali tampil di televisi, namun terbatas untuk kepentingan edukasi. “Misalnya, hadir [menjelaskan] bahaya predator, bisa ditampilkan. Kalau untuk hiburan, ini yang belum bisa [diperbolehkan] dalam surat edaran [KPI] itu, di surat yang kami kirim ke lembaga penyiaran,” kata Agung dalam video yang tayang hari ini (9/9).
Pria 46 tahun tersebut lalu bercerita bahwa terjadi perdebatan panjang di antara para komisioner soal kasus Saipul. Diskusi internal KPI Pusat itu, kata Agung, sempat mempertimbangkan hak Saipul mencari uang, dibandingkan dengan kelayakan, kepatutan, dan perasaan korban apabila menampilkan pelaku kekerasan seksual lewat frekuensi publik. Akhirnya, surat edaran yang melarang penampilan Saipul di TV jadi solusi KPI.
Masih menurut Agung, KPI sendiri belum punya ukuran waktu sampai kapan kehadiran Saipul akan dibatasi. Ia berjanji pihaknya akan melakukan evaluasi sambil jalan.
Pernyataan Agung tidak diterima dengan baik oleh publik. Pencarian kata “KPI” di Twitter pada 9 September sore, memperlihatkan berbagai bentuk protes dari publik.
Senada dengan sentimen publik, pengamat media Wisnu Prasetya Utomo menilai komentar Agung tidak sensitif dan tidak berempati pada korban kekerasan seksual. Ia menilai konten edukasi kekerasan seksual tidak perlu melibatkan pelaku segala.
“Kalau media ingin memberikan edukasi tentang isu kekerasan seksual, mereka bisa memberikan ruang lebih banyak pada tokoh, institusi, komunitas, atau pihak-pihak yang selama ini mendorong upaya penghapusan kekerasan seksual. Memberi ruang bagi predator atau pelaku kekerasan seksual tentu kontradiktif dan tidak memikirkan dampaknya bagi korban,” tutur pengajar Ilmu Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada tersebut saat dihubungi VICE.
Untuk pembaca yang sedang emosi, bersabarlah. Anggap saja kita pernah menjadi pendosa kelas kakap di kehidupan terdahulu sampai dihukum reinkarnasi jadi WNI, sehingga harus bertemu dengan lembaga negara dengan pola pikir bahwa koruptor pantas jadi penyuluh anti-korupsi dan pelaku kekerasan seksual boleh jadi penyuluh anti-predator.