Kemunculan NFT alias Non-Fungible Token disebut-sebut mampu mendemokratisasi industri seni dan pasar digital lainnya yang terdesentralisasi. Namun, belakangan ini, mulai bermunculan studi-studi yang memaparkan NFT sebetulnya hanya mengulang struktur lama yang sistemnya dikendalikan orang-orang berkuasa. Mereka sendirilah yang menuai keuntungannya.
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nature menemukan “10% pedagang teratas melakukan 85% dari keseluruhan transaksi dan melakukan setidaknya satu kali trading untuk 97% dari semua aset.” Secara keseluruhan, penelitian ini menggambarkan pasar NFT dikuasai para “whale” atau pemain kripto berkantong tebal.
“Pasar ini sangat terkonsentrasi,” kata peneliti Andrea Baronchelli saat diwawancarai Motherboard, situs informasi teknologi bagian dari VICE.
Lektor prodi pendidikan matematika di City, University of London menambahkan riset itu tampaknya melawan anggapan pasar NFT adalah sistem ekonomi demokratis dan “terbuka” yang “tradingnya dari rakyat dan untuk rakyat”.
Tim peneliti menganalisis 6,1 juta penjualan dari 4,7 juta NFT yang menggunakan 160 uang kripto sepanjang Juni 2017 hingga April 2021. Uang kripto yang paling sering digunakan adalah Ethereum dan WAX, yang mengaku sebagai alternatif ramah lingkungan.
Walaupun begitu, penelitian ini memiliki keterbatasan. Datanya dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti API untuk OpenSea dan Decentraland, dan NonFungible Corporation yang melacak penjualan NFT historis. Berhubung peneliti tidak mengambil langsung datanya dari blockchain Ethereum atau WAX, maka tidak menutup kemungkinan mereka “melewatkan sejumlah produsen NFT ‘independen’”. Tapi secara keseluruhan, riset mereka memberikan bukti platform-platform tersebut sebagian besar dikendalikan whale dominan.
Para peneliti Chainalysis membuat kesimpulan serupa setelah menemukan “sekelompok kecil investor yang sangat canggih meraup sebagian besar keuntungan dari [praktik] mengoleksi NFT.” Hasil pengamatan terhadap allowlist, yang memungkinkan pengguna terpilih membeli karya NFT baru dengan harga lebih rendah, mengungkapkan orang-orang ini memperoleh keuntungan tiga perempat, dibandingkan dengan orang lain yang hanya memperoleh seperlimanya saja.
“Kami juga melihat kemungkinan bukti investor menggunakan bot untuk membeli selama acara pencetakan, yang bisa mengalahkan pengguna kurang canggih, dan bahkan dapat mengakibatkan transaksi gagal yang memungut biaya,” demikian temuan peneliti Chainalysis.
Tim Baronchelli menemukan sementara beberapa NFT telah meraih harga yang fantastis, industrinya secara keseluruhan tidak semenarik itu. Karya seni NFT diperdagangkan rata-rata seharga $6.290 (Rp90 juta), sedangkan karya metaverse biasanya menghasilkan $9.485 (Rp136 juta). Tapi secara keseluruhan, NFT mendapatkan kurang dari $15 (Rp215 ribu) dalam tiga perempat kasus. Hanya satu persen NFT yang meraup lebih dari $1.594 (Rp22 juta).
“Gagasan yang menyebar di media—bahwa NFT membuka pasar seni dan menghubungkan orang langsung dengan kolektor—sebenarnya bagus, tapi mungkin kurang sesuai dengan kenyataan,” ujar Baronchelli.
Analisis terpisah menunjukkan dominasi segelintir trader ini mungkin disebabkan oleh biaya “gas” tinggi yang harus dibayar untuk menyelesaikan transaksi di Ethereum. Penelitian dari penyedia data aset digital Kaiko menjelaskan hal ini “mencegah lebih banyak trader ritel menggunakan” pertukaran terdesentralisasi, pasar yang berjalan langsung di blockchain Ethereum, yang akhirnya menimbulkan biaya.
Baronchelli menyebut ini dapat memainkan peran dalam analisis timnya, tapi tidak sepenuhnya menjelaskan pengamatan mereka, mengingat blockchain WAX tidak membebankan biaya gas untuk trading langsung. Setengah dari transaksi yang dianalisis tim Baronchelli berasal dari WAX.
“Ini semakin menguatkan bahwa konsentrasi mungkin merupakan properti asli dari pasar NFT saat ini,” tulis Baronchelli melalui email.
Kekhawatiran lain yang sering muncul adalah menjamurnya praktik wash trading, yang mana penjual membeli dan menjual saham (atau NFT) sendiri untuk memanipulasi pasar—sering kali untuk membuat seolah-olah terjadi kenaikan harga. Penelitian sebelumnya tidak mendeteksi praktik ini di bursa kripto yang diatur seperti Coinbase, tapi pertukaran semacam itu menghasilkan kurang dari satu persen transaksi pada 2019.
Menurut studi terpisah oleh Cornell University, praktiknya merajalela di bursa yang tidak diatur—kategori yang mengecualikan destinasi utama seperti Coinbase, Gemini dan Binance dalam analisis. Secara keseluruhan mencakup lebih dari 70 persen transaksi. Transaksi NFT seharga $500 juta (Rp7,2 triliun) yang terjadi di Ethereum pada Oktober lalu menimbulkan kecurigaan. Sang trader melakukan “flash loan” untuk menjual NFT ke dirinya sendiri dan mengiklankannya lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Walaupun Baronchelli menegaskan penelitiannya tidak “membuktikan” keberadaan wash trading, pola terkonsentrasi yang diamati “sesuai” dengan praktik semacam itu dan juga pencucian uang. Dengan demikian, pasar keuangan online yang sebagian besar tidak diatur berpotensi mengulang perilaku yang seharusnya dibatasi regulasi pemerintah.