Wisnu ingat, ia baru duduk di kelas 1 SD ketika ibunya menyodorkan dua benda dan meminta ia memilih salah satunya. “Le, iki ana sajadah karo kain mori, pilihen sakarepmu.” (Nak, ini ada sajadah dan kain mori, pilihlah semaumu.”)
Opsi tersebut tak sederhana, sebab sesungguhnya benda itu mewakili dua agama yang bisa Wisnu pilih. Sajadah tentu saja berarti ajaran Islam. Sementara kain mori adalah alas yang digunakan orang tuanya untuk beribadah dalam kepercayaan Sapta Darma, salah satu aliran penghayat kepercayaan di Indonesia.
Wisnu kecil sempat gamang. Tangannya bergerak mengambil sajadah. “Saat itu belum ngerti apa-apa, saya cuma lihat teman-teman di sekolah agamanya Islam semua, enggak ada yang sujud [ibadah Sapta Darma] sama sekali. Jadi yasudah saya ikut-ikut,” ia melanjutkan, “Tapi kain morinya juga saya simpan kok”.
Darma Tri Hadi Wisnutomo, kini berusia 17 tahun, mengenang masa kecilnya sebagai muslim yang relijius. Saban hari ia menghabiskan waktu bermain di mushola, salat berjamaah, dan mengaji bersama kawan-kawannya. Orang tuanyanya tak pernah mempermasalahkan pilihan Wisnu. Relasi mereka di rumah tetap hangat, meski sujud Wisnu berkiblat ke arah barat sementara bapak dan ibunya sujud ke arah timur—sebagaimana tata cara manembah Sapta Darma.
Kerelijiusan Wisnu menemui jalan buntu beberapa tahun kemudian. Ia yang saat itu baru saja memakai seragam putih-biru, mulai bertanya-tanya tentang konsep Tuhan. “Mulai muncul banyak pertanyaan di kepalaku, kenapa sih agama itu harus ada banyak? Lalu kenapa bapak dan ibuku sujud setiap hari? Sapta Darma itu apa?,” kenangnya.
Tak lama, Wisnu mulai mencoba sujud dan ikut orang tuanya berkumpul bersama penghayat Sapta Darma lain. Dari yang awalnya hanya mengikuti gerakan saja, belajar melafalkan doa, hingga mempelajari ajaran inti Sapta Darma yang disebut Wewarah Pitu (tujuh arahan).
Wisnu akhirnya memantapkan diri menjadi penghayat kepercayaan Sapta Darma seperti kedua orang tuanya, setahun kemudian. “Di Sapta Darma ternyata diajari fokus ke dalam, mengenal diri sendiri,” ujarnya malam itu ketika ditemui VICE di Sanggar Candi Sapta Rengga. Ia masih mengenakan celana SMA-nya.
“Tapi saat SMP itu aku masih ikut pelajaran agama Islam di sekolah. Tiap ulangan nyontek, hafalan salat jenazah itu paling susah,” ia tertawa. Kini di sekolahnya SMKN 2 Yogyakarta, Wisnu sudah mendapat kurikulum pelajaran penghayat kepercayaan meski ia adalah satu-satunya siswa penghayat di sekolah. Ia juga satu dari segelintir remaja penghayat di paguyuban Sapta Darma, dan barangkali juga satu dari sedikit penghayat yang masih berusia remaja di Indonesia.
Penghayat adalah sebutan untuk mereka yang memilih aliran kepercayaan sebagai ajaran hidup, alih-alih memeluk enam agama yang diakui pemerintah Indonesia. Meski sebetulnya telah ada sejak lama, penghayat kepercayaan baru dianggap setara statusnya dengan warga negara lain di Indonesia, sejak dirilisnya putusan Mahkamah Konsitusi nomor 97/PUU-XIV/2016. Berkat dasar hukum itu, eksistensi berbagai kelompok penghayat lebih tegas bermunculan. Berkat putusan majelis hakim, kolom agama di KTP boleh diisi dengan frasa ‘penghayat kepercayaan’. Putusan ini adalah kemenangan simbolis bagi penganut Sapta Darma, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Aluk Todolo, Buhun, Parmalim, Tonaas Walian, Marapu, Sirnagalih, Naurus, dan banyak lagi agama asli Indonesia yang lebih dari 40 tahun tak diterima negara sebagai agama yang sah.
Organisasi yang menaungi seluruh penghayat, Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) mancatat ada sekitar 12 juta penghayat di Indonesia. Jumlah organisasi kepercayaan di Indonesia mencapai 174 lebih, itu belum ajaran-ajaran yang memutuskan tidak membuat organisasi atau tidak tercatat. Masing-masing memiliki ajaran inti dan cara manembah (beribadah). Edi Suyudono, ketua presedium MLKI Kota Yogyakarta menjelaskan, di kota Yogya saja saat ini ada 26 paguyuban yang jadi anggota MLKI. Akan tetapi, penghayat muda seperti Wisnu cukup jarang ditemui.
“Ajaran penghayat itu warisan leluhur. Regenerasi penting sekali, sementara saat ini penghayat muda baru sedikit, belum umurnya menggali ajaran tua-tua mungkin ya,” ujarnya ketika ditemui VICE.
Untuk menaungi penghayat muda, pada akhir 2019 lalu MLKI membentuk organisasi pendukung bernama Generasi Muda Penghayat Kepercayaan Indonesia (Gema Pakti). Di Yogyakarta, anggotanya baru 35 orang. Kegiatan mereka lebih berfokus pada pelestarian tradisi, seperti karawitan dan baca-tulis aksara Jawa.
Lilin Kurniawati, penghayat muda dari aliran Bawana Tata, merupakan salah satu anggota Gema Pakti. VICE ngobrol seputar perjalanan spiritualnya di bawah rindangnya pohon resan Sendang Semanggi, mata air yang jadi situs penting Bawana Tata. Kini ia berusia 22 tahun, dan aktif di beberapa organisasi perempuan di Yogyakarta.
Seperti Wisnu, Lilin juga mengenal penghayat kepercayaan dari orang tuanya. “Dulu sering lihat ibu ke sini tiap malam Jumat. Tengah malam kok pergi pakai kebaya, saya penasaran,” ujarnya. Dari ibunya, Lilin mengenal ajaran Bawana Tata sebagai bagian dari tradisi masyarakat Jawa. Ia mulai tahu bahwa tradisi Jawa tak melulu soal kesenian, tapi juga ajaran spiritualitas.
Paguyuban-paguyuban penghayat ini tidak menganjurkan anggotanya berdakwah. Ini mengapa kebanyakan penghayat remaja di paguyuban adalah anak dari anggota yang lebih tua. Ajaran mereka menyebar dari mulut ke mulut, lewat pengalaman personal. Lirih, sebagaimana sifat ajaran yang mereka hayati.
Sedikit malu-malu, Lilin bercerita jika dulunya ia berjilbab karena diwajibkan sekolahnya yang berbasis agama. Tapi dia lalu mencopotnya. “Eh tapi aku masih shalat kok, puasa ramadan aku juga tidak pernah bolong,” sambungnya buru-buru. “Kata ibuku, dan sesepuh di sini, jadi penghayat itu tidak harus keluar dari agama [lama]. Jadi penghayat ini buatku adalah bentuk nguri-uri budaya”.
Lilin bergabung ke Bawana Tata sejak 2017, ia menemukan bahwa Wahyu Panca Walika atau ajaran inti aliran ini adalah tuntunan laku hidup yang bisa diimplementasikan sehari-hari. Lima poin utama ajaran Bawana Tata berkutat di arahan menjadi manusia yang baik dan berguna.
“Ketika sudah sinau Bawana Tata, ajarannya bisa aku praktikkan sehari-hari. Aku jadi lebih eling. Di satu titik jadi penghayat justru membantuku lebih menghayati agama Islam,” ujarnya.
Pengalaman Tadeus Waseso Adi, penghayat remaja dari aliran Ngesti Kasampurnan tak jauh beda. Remaja 18 tahun asli Yogyakarta ini adalah penganut Katolik yang taat, bahkan hingga kini setelah ia jadi penghayat. “Dulu karena sering sekali mengantar kakek-nenek ritualan di Muntilan, saya akhirnya kepo.”
Mengikuti kakek-neneknya, Tadeus pelan-pelan mempelajari Angger-Angger Sewelas atau ajaran inti kepercayaan Ngesti Kasampurnan. Tiap bulan, ia beberapa kali pergi ke Bale Suci, situs ajaran Ngesti Kasampurnan sekaligus tempat berkumpul paguyuban mereka. Di sana ia meditasi, serta melakukan beberapa jenis ritual. “Sebenarnya ajaran intinya kayak Katolik sih, nyuwun lan eling [harapan dan kesadaran], ajaran cinta kasih,” ujarnya.
Tadeus mengakui, ia dulu termasuk remaja bandel. Segala macam kenakalan pernah ia jajal. Kondisi keluarga yang tak stabil membuatnya merasa perlu melampiaskan emosi ke hal-hal buruk. “Aku dulu emosian banget, kacau lah. Bahkan sempat gereja yang harusnya tempat ibadah, buatku seperti ajang kompetisi. Pokoknya aku harus golek rai [jadi jagoan],” ceritanya. Ia kini lebih bisa mengontrol emosi, dan sedang getol-getolnya mengembangkan kelompok musiknya La Vora. “Singleku baru ditonton 2,5 juta kali lho,” pamernya.
Meski sangat banyak dan beragam, sesungguhnya aliran kepercayaan yang dianut penghayat adalah ajaran leluhur yang terwaris antar generasi. Di Jawa misalnya, hampir seluruh aliran kepercayaan adalah turunan dari ilmu Jawa kuno. Secara lisan, ajaran Sapta Darma, Ngesti Kasampurnan, Bawana Tata dan ratusan ajaran lain terkesan berbeda. Namun, penghayat di Jawa umumnya memegang tiga ajaran utama:
Sangkan Paraning Dumadi, yaitu bahwa tiap manusia harus ingat asal dan tahu tujuan keberadaan dirinya.
Memayu Hayuning Bawana, yaitu bahwa keberadaan kita sebagai manusia harus berguna dan bermanfaat bagi semesta.
Manunggaling Kawula Gusti, yaitu bahwa di diri kita ada percikan Tuhan yang sejati, dan hanya dengan mengenal diri sendiri, kita bisa terhubung dan mengenal Tuhan.
Praktik ibadah para penghayat yang berfokus pada laku hening, olah batin, atau meditasi, berguna untuk melatih pengendalian emosi. Maka tak heran jika cerita soal perjalanan spiritual penghayat remaja ini kerap bersinggungan dengan cerita perkembangan diri mereka, apalagi di umur-umur pencarian identitas mereka. Dalam bahasa gaulnya, penghayat remaja bisa belajar lebih mindfullness namun berbasis kearifan lokal.
Di manembah hariannya Wisnu pun melakoni olah batin. Ia akan duduk bersila, melipat tangan di dada, memejam mata, sambil meditasi memperhatikan nafas dan rasa-rasa di tubuhnya. Ketika sudah khusyuk, badannya membungkuk ke depan, sedikit menyerupai posisi sujud. Ini kenapa ibadah Sapta Darma disebut sujud. Ibadah ini dilakukan minimal satu kali dalam sehari, di waktu dan durasi yang ditentukan sendiri-sendiri oleh tiap orang. “Tapi nek jare simbahku, sujud suwe-suwe golek apa, sujud kesusu ki selak ngapa?” (“Kalau kata simbah, sujud lama-lama itu mau cari apa. Sujud buru-buru itu mau ngapain?”)
Ajaran yang mereka hayati mungkin membuat Wisnu, Lilin, dan Tadeus lebih memahami diri mereka. Di saat yang sama, lebih banyak orang di sekitar mereka yang juga tak mengerti atau justru salah paham dengan kegiatan mereka. Lilin, beberapa kali mendapat konfrontasi. Ibadah di Bawana Tata memang lebih banyak melibatkan sesajen, dupa, dan aneka hal berbau ritual yang kerap disalahpahami oleh masyarakat.
“Saya dibilang musyrik, soalnya pakai kemenyan, dan dupa. Padahal kami berdoa ya tetap sama Allah, itu kan cuma medium,” urainya. Sesajen, dalam tradisi ritual Jawa memang dimaksudkan sebagai uluk salam (simbol penghormatan). Sesajen juga disebut sebagai doa bisu, artinya doa yang dihaturkan lewat karya seni, alih-alih dilisankan. Lilin gemas melanjutkan, “Padahal ketika labuhan tahunan di laut selatan, itu rasanya syahdu sekali. Merasa dekat sekali dengan alam.”
Sambil terkekeh ia melanjutkan, “Toh sesajennya abis itu dibagi ke orang-orang, dan semua uba-rampe-nya ramah lingkungan kok, sustainable”.
Sementara Tadeus, harus menghadapi kekasihnya yang kerap bertanya, “Kalau kamu penghayat, nanti kita nikahnya gimana?”
Tadeus biasanya akan menenangkan kekasihnya dengan mengatakan bahwa urusan masa depan masih rahasia Tuhan.
Meski telah diakui oleh negara, tak semua penghayat mengganti kolom agama di KTP mereka dengan “aliran kepercayaan kepada Tuhan YME”. Penghayat beragama seperti Lilin dan Tadeus memilih melakoni agama dan kepercayaan sebagai hal komplementer. Sementara Wisnu sekeluarga sudah memperbarui KTP sebagai penghayat sejak 2021, yang seperti ini biasanya disebut penghayat murni.
Meski terhitung masih amat muda, Wisnu fasih menjelaskan ajaran-ajaran Sapta Darma. Pemikirannya terasa jauh lebih dewasa ketimbang usianya.
“Itu lihat,” jarinya menunjuk ke lambang Sapta Darma berbentuk belah ketupat yang terpampang besar di dinding sanggar. “Itu kan perlambang diri kita. Dan ternyata, belajar diri sendiri itu paling sulit.”
Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram