Satu kesamaan yang ditemukan dari rumah penimbun barang adalah kebanyakan dari mereka pencinta kucing.
Sejauh pengalaman saya sebagai pemberi jasa bersih-bersih, saya berulang kali menyaksikan kawanan kucing telantar mencakar-cakar gunungan sampah di dalam rumah. Selalu kucing, jarang sekali ada peliharaan lain. Entah kenapa bisa begini.
Saya yakin ada penimbun yang menyukai hewan lain, tapi rumah-rumah berantakan yang saya datangi pasti ada kucing. Yang menyebalkan adalah binatang kaki empat ini suka meninggalkan bau yang amat menyengat di seluruh rumah. Dalam kasus terburuk, saya sampai harus mengganti semua keramik yang telah dipipisin kucing.
Hal lain yang saya pelajari adalah barang timbunan mereka sangat spesifik. Baru-baru ini, saya membersihkan rumah laki-laki yang terbiasa menumpuk makanan. Jumlah pakaian di lemari masih dalam batas wajar, tapi saya harus berjalan susah payah memasuki ruang tamunya. Tampak bekas wadah makanan dan botol minuman keras menggunung setinggi pinggang.
Saya menghabiskan 120 kantong plastik saat membersihkan rumah itu, 20 lembar di antaranya untuk menampung tinja pemilik rumah. Alih-alih memanggil tukang ledeng untuk memperbaiki toilet yang tersumbat, dia lebih memilih buang hajat di pojok kamar bersama kucing-kucingnya.
Rupanya, klien saya menderita sklerosis ganda dan kecanduan alkohol. Tak ada satu pun yang akan menyangka hidup dia tidak baik-baik saja jika hanya melihat penampilan luar. Dia pegawai kantoran seperti sebagian besar orang. Namun, sepulangnya dari kantor, dia akan minum berbotol-botol dan hidup di antara tumpukan kotak pizza.
Pepatah mengatakan kerapian rumah mencerminkan kepribadian pemiliknya.
“Pepatah mengatakan kerapian rumah mencerminkan kepribadian pemiliknya.”
Sekitar setahun yang lalu, saya mulai menawarkan jasa bersih-bersih setelah putus kuliah. Kami juga menerima permintaan membersihkan tempat tinggal orang biasa, tapi secara khusus kami melayani rumah para penimbun barang. Hampir tidak ada yang menjalankan bisnis semacam ini di kota saya di Illinois.
Saya awalnya mengira tak banyak yang membutuhkan jasa ini, tapi begitu permintaan demi permintaan mulai berdatangan, saya menyadari satu hal: Kebiasaan menimbun bersembunyi di balik halaman dan deretan rumah yang rapi.
Memasuki rumah para penimbun bisa sangat antiklimaks. Kalian mungkin takkan menemukan lapisan debu tebal atau tumpukan sampah yang bercampur dengan bangkai kucing hilang, meski saya pernah menyaksikan semacam ini sebelumnya. Kalian juga akan kecewa karena keadaannya tidak seburuk yang ditampilkan di acara televisi. Sering kali, penimbun hanyalah orang-orang supel yang membutuhkan bantuan untuk membereskan rak-rak yang membengkak.
Saya baru tahu kalau ternyata siapa saja bisa memiliki kebiasaan menimbun. Jadi anggapan orang-orang yang dulu hidup seadanya akan mengembangkan sikap ini tak sepenuhnya benar. Rumah penimbun tak melulu berantakan seperti yang kita pikir selama ini. Saya beberapa kali membantu orang kaya yang koleksinya “terorganisir”. Mereka punya pembantu yang siap mengepak barang-barang dan menyembunyikannya. Seorang klien perempuan memiliki rumah besar nan rapi, tapi ada banyak sekali lemari yang berjejer menampung barang timbunan. Kami membantunya menyortir barang untuk dibuang selama seharian penuh.
Di sisi lain, orang yang tidak punya banyak uang kesulitan menutupi masalah penimbunannya. Mereka mungkin tidak bisa mempekerjakan ART untuk beres-beres rumah, atau tidak punya cukup tempat untuk menaruh semua barang yang mereka miliki. Begitu barang semakin membludak di setiap sudut rumah, mereka akan merasa muak tinggal di rumah mereka sendiri.
Walaupun terkadang saya ingin sekali menyuruh klien berhenti menimbun barang, saya tahu masalahnya tidak sesederhana malas membuang barang. Ini benar-benar sulit bagi mereka.
Seorang klien memiliki ruang bawah tanah khusus koleksi piala pameran mobil, sedangkan pasangan lansia menyimpan pernak-pernik kecil di sela-sela tembok rumah. Tak mudah bagi mereka untuk mengucapkan selamat tinggal pada barang-barang yang begitu bernilai.
Selama membersihkan rumah para penimbun, saya berkesempatan mengupas lapisan luar yang sensasional dari kondisi tersebut. Dari situ, saya belajar tentang perjuangan manusia yang mendalam dari kebiasaan yang melumpuhkan. Tak sedikit penimbun yang memiliki cerita serupa.
“Selama membersihkan rumah para penimbun, saya berkesempatan mengupas lapisan luar yang sensasional dari kondisi tersebut. Dari situ, saya belajar tentang perjuangan manusia yang mendalam dari kebiasaan yang melumpuhkan.”
Banyak dari mereka yang mengalami trauma di masa lalu. Kematian orang tersayang umum menjadi pemicu kebiasaan ini. Seorang ibu ditinggal putranya dalam kecelakaan ATV. Setelah kehilangan satu-satunya keluarga yang dimiliki, dia seperti menyerah dengan hidup dan mulai terobsesi dengan barang-barang buat hatinya. Dia mengoleksi apa pun yang mengingatkannya pada mendiang anak.
Lalu ada yang menurunkan kebiasaan menimbun dari orang tua. Ini sangat umum terjadi di keluarga kaya raya. Salah seorang klien hobi mengumpulkan barang obral, padahal profesinya dokter. Dia menjadi seperti ini karena dulu hidup pas-pasan. Dia bercerita ibunya juga sering menimbun barang obral. Bagi perempuan itu, hidup berkecukupan berarti dia bebas membeli apa saja yang tak mampu dibeli di masa lalu.
Klien-klien kaya biasanya mendapatkan bantuan sebelum menjadi bola salju. Mereka berkonsultasi dengan terapis untuk menghentikan kebiasaan menimbun. Sementara itu, penimbun yang tidak memiliki dukungan profesional akan kesusahan mematahkan pola atau menyadari kebiasaan ini sangat tidak wajar. Sebagian besar waktu, di sinilah peran saya dimulai.
Sayangnya, saya tak selalu bisa menjanjikan pembenahan yang cepat. Selain banyaknya barang yang harus disingkirkan, kami juga berurusan dengan sampah berbahaya seperti feses atau bangkai hewan. Prosesnya bisa berhari-hari dan membutuhkan peralatan yang tepat untuk menggosok kotoran. Dengan demikian, biaya bersih-bersih rumah penimbun tidaklah murah.
Ada orang-orang yang tak sanggup membayar jasa bersih-bersih, meski sebetulnya mereka sangat membutuhkan itu. Saya sedih melihat keadaan mereka, tapi berusaha sebisa mungkin untuk tidak terbawa emosi. Saya punya banyak karyawan yang harus digaji, dan mustahil bagi kami melakukan tugas ini dengan bayaran murah.
Dalam kebanyakan kasus, penimbun yang membutuhkan jasa kami malu dengan keadaan rumah mereka.
Setibanya saya di rumah salah satu klien, mereka hanya membuka sedikit pintunya. Dia bersusah payah menyembunyikan ruang tamunya yang berantakan dari tamu. Pintunya baru terbuka lebih lebar ketika dia menyadari saya datang untuk memeriksa kondisi rumah dan menentukan harga. Sembari mengajak saya berkeliling, dia menceritakan kalau putrinya pergi dari rumah karena terlalu sumpek. Sudah enam bulan dia tidak mendengar kabar darinya. Saya juga pernah diminta berjanji tidak membocorkan isi rumah mereka ke orang lain, seperti pihak manajemen perumahan atau tetangga yang biang gosip. Rasa malu ini kemungkinan disebabkan oleh penggambaran tokoh penimbun yang aneh dan jorok dalam reality show.
Kadang-kadang, anggota keluarga memakai jasa saya ketika si penimbun sedang tidak ada di rumah. Seorang klien bahkan menyuruh saya membersihkan rumah orang tua saat mereka pergi berlibur. Walaupun kedengarannya menegangkan karena harus diam-diam, kami sebenarnya cuma membereskan barang-barang mereka. Kalian tak berhak membuang koleksi tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemilik. Kalian tak pernah tahu seberapa penting benda itu bagi mereka.
Proses pemilahan barang agak rumit saat melakukannya langsung bersama penimbun. Kami rembukan untuk menentukan barang mana saja yang boleh dibuang supaya koleksinya berkurang banyak. Ini bisa menjadi pengalaman emosional yang intens bagi mereka. Ada yang sampai menangis histeris atau jatuh sakit karena tak kuasa melepaskan barang tertentu.
Mengamati penderitaan mereka dari luar, saya menduga semua benda itu mengisi kekosongan dalam hidup mereka. Mungkin rasanya seperti ada yang hilang begitu mereka membuangnya. Ini pastinya sulit, terutama bagi orang-orang yang pernah mengalami kehilangan.
“Mengamati penderitaan mereka dari luar, saya menduga semua benda itu mengisi kekosongan dalam hidup mereka. Mungkin rasanya seperti ada yang hilang begitu mereka membuangnya.”
Itulah mengapa saya menahan diri untuk tidak banyak berdebat dengan mereka. Saya takkan bisa melepaskan keterikatan mereka pada tumpukan benda mati. Saya hanya seorang petugas bersih-bersih, bukan terapis. Saya tidak bisa membantu orang yang tidak dapat mengatasi masalah mereka.
Rumah mencerminkan kondisi mental pemilik. Mungkin ini sebabnya penimbun merasa lebih plong begitu rumah mereka dirapikan. Saya sering mendengar ucapan seperti, “Saya bisa bernapas lega sekarang,” “Saya bahagia,” dan “Rasanya seperti bisa menjalani hidup lagi” dari berbagai klien.
Sesulit apa pun untuk keluar dari kebiasaan menimbun, itu bukan hal yang mustahil. Setidaknya satu klien yang masih sering berhubungan dengan saya berhasil mengatasinya. Kuncinya adalah mendapat dukungan dari orang lain, baik itu keluarga, teman, terapis berlisensi maupun penimbun lainnya.
Pelajaran terakhir yang tak kalah penting adalah kebiasaan menimbun sering kali merupakan masalah kesehatan mental yang muncul dalam berbagai bentuk. Kita semua harus mengenalinya seperti itu. Kita tidak boleh meremehkannya sebagai sifat berantakan semata. Orang tak seharusnya malu dengan keadaan mereka. Mematahkan stigma akan sangat membantu mereka yang berjuang melawannya.