“Rest is History” adalah seri liputan baru VICE menguak momen bersejarah yang jarang atau tak pernah diajarkan di sekolah
Mumbai disebut-sebut sebagai kota yang tak pernah tidur. Julukan itu ada benarnya, apalagi jika kita menengok betapa hiruk pikuk komunitas anjing jalanan di kota tersibuk India ini. Anjing berkeliaran bisa kalian temui dari pagi hingga dini hari saat berkunjung ke Mumbai.
Selain manusia, anjing adalah salah satu mahluk yang mendiami setiap sudut Kota Mumbai. Anjing bisa kalian temukan asyik bersantai di pinggir kuil, memperingatkan pengendara soal jalan berlubang, serta mendiami gang-gang seantero kota. Sayangnya, nasib anjing jalanan di Mumbai memiliki dua sisi. Ada yang mencintai keberadaan anjing, namun masih sering pula terjadi anjing sengaja ditabrak atau dipukuli sampai mati hanya karena dianggap mengganggu.
Siapa sangka, nasib anjing di kota ini pada masa lalu lebih muram lagi. Bahkan, kerusuhan besar pernah terjadi di Bombay, sebutan kota Mumbai pada masa penjajahan Inggris, dipicu perlakuan buruk terhadap anjing.
Di Abad 19, Inggris masih menjajah India. Pada masa itu, muncul pandangan miring pejabat kulit putih bagi orang yang memelihara anjing. Sebab, anjing dianggap sebagai penyebar rabies. Orang yang nekat memelihara anjing dianggap tidak berbudaya, bahkan masuk kategori membahayakan keselamatan umum. Alhasil, populasi anjing jalanan meningkat pesat pada zaman tersebut.
Pada 1813, muncul aturan penangkapan anjing jalanan. Satu dekade kemudian, Kepolisian Bombay membuat sistem imbalan bagi warga yang bisa menangkapi anjing, hidup atau mati.
Aparat Inggris menghargai anjing yang tertangkap pemburu setara 8 Annas, tak sampai Rp100 rupiah per ekor dengan nilai mata uang sekarang. Di masa itu, imbalan tersebut cukup untuk makan sehari-hari, sehingga banyak warga Kota Bombay beralih profesi menjadi pemburu anjing. Masalahnya, karena aturan kolonial itu hanya menjanjikan imbalan, orang seenaknya membantai anjing yang mereka temui. Anjing yang sebenarnya peliharaan pun ikut dibunuh.
Tentu saja, tidak semua kalangan masyarakat mendukung kebijakan kejam terhadap anjing. Salah satu yang paling murka adalah warga Parsi, imigran keturunan Persia yang bermukim di India.
Kaum Parsi sudah rutin bermigrasi ke India sejak Abad 7 Masehi, karena kabur dari persekusi. Mereka ingin tetap bisa menjalankan ajaran agama Zoroaster, yang dianggap bertentangan dengan Islam, agama abrahamik yang dominan di Persia (sekarang Iran) dan Jazirah Arab. Zoroaster sebetulnya adalah agama monoteistik (hanya menyembah satu Tuhan) pertama dalam sejarah, namun penganutnya seringkali mendapat stigma negatif sebagai penyembah api. Ketika Islam menjadi agama resmi di Persia, penganut Zoroaster makin banyak yang kabur ke India.
Kekaisaran India, disusul kemudian otoritas kolonial Inggris, menerima pelarian kaum Parsi, dan mayoritas dari mereka hidup di Kota Bombay menjadi pedagang. India pun membolehkan kaum Parsi untuk tetap menjalankan ajaran Zoroaster tanpa diganggu. Atas sambutan yang ramah, komunitas Parsi sangat loyal pada pemerintah India di masa itu, sampai mengadopsi gaya hidup dan busana kolonial Inggris.
Tapi, loyalitas Kaum Parsi diuji ketika pemerintah kolonial di India memprakarsai pembantaian anjing. Komunitas Parsi dikenal sangat menyayangi anjing, baik yang mereka pelihara maupun anjing liar. Sebab, dalam ajaran Zoroaster, anjing disebut sebagai binatang paling setia pada manusia, yang akan menemani setiap insan melewati jembatan menuju surga di hari akhir kelak.
Dampaknya, Kaum Parsi yang biasanya sangat tunduk pada pemerintah kolonial menggelar protes keras. Pada Juni 1832, pemkot Bombay memerintahkan penangkapan besar-besaran anjing jalanan. Kaum Parsi turun ke jalan, melawan balik para pemburu, dan memicu salah satu kerusuhan besar pada masa itu di India. Peristiwa itu tak banyak diingat oleh penduduk India masa kini.
Simak laporan lengkap soal kerusuhan demi membela hak hidup anjing jalanan di India, pada episode pertama seri Rest is History lewat tautan video di atas.
Follow Dhvani di Instagram.